LOGINDiselingkuhi dan dijual ke mucikari oleh suaminya. Membuat Lusi secara tak sengaja bertemu dengan seorang pria tampan, kaya, dan matang. Pria itu entah kenapa membelinya dari mucikari dan membawanya ke kediamannya. Namun hal yang baru Lusi tau, ternyata pria itu adalah Aron--mantan ayah mertuanya yang sudah lama bercerai dengan mantan ibu mertuanya. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Lusi yang awalnya ingin melepaskan diri dari bahaya, malah terjebak dengan Aron yang terlanjur menginginkannya. "Bagaimana Sayang, mau aku suntik di tangan atau di tempat lain?" "Aaaaaa!" Setelah kejadian itu, Lusi harus terikat dengan Hot Duda yang jadi incaran para wanita. Pria yang berprofesi sebagai dokter, dominan, dan misterius itu terus menghujaninya dengan perhatian, hingga ia tak bisa lepas darinya. Lalu apakah Lusi akhirnya luluh pada pria itu? Atau tetap memilih pergi darinya?
View More"Jangan, Mas! Jangan jual aku, Maaaas… ampun!”
Suara Lusi pecah, tersendat oleh tangis. Ia berpegangan pada kusen pintu rumah kontrakan, berusaha menahan tubuhnya agar tak diseret. Tapi tangan Rangga lebih kuat. Suaminya yang dulu ia percaya sebagai imam rumah tangga, kini menatapnya dengan sorot mata penuh amarah bercampur putus asa. “Diam kau, Lusi!” Rangga menarik kerudung istrinya kasar, hingga jilbab itu terlepas dan terjatuh ke lantai. Rambut hitam Lusi yang selalu ia tutup rapat kini terurai berantakan. “Kamu pikir doa bisa melunasi hutang-hutangku?! Para penagih hampir membunuhku tadi siang. Kalau kamu sadar kamu istriku, kamu juga harus tanggung beban ini!” “Mas… aku istrimu… aku berhijab demi menjaga kehormatanku. Jangan kau seret aku ke jalan hina…” Lusi berlutut, memeluk kaki suaminya, memohon dengan suara parau. Namun Rangga seolah kesetanan. Bau alkohol tercium jelas, bercampur dengan asap rokok yang menempel pada bajunya. Wajahnya keras, matanya merah. “Cukup! Malam ini kamu akan bayar hutangku. Kamu akan melayani orang-orang di luar sana. Tubuhmu milikku. Istri harus nurut sama suami!” Jerit Lusi pecah lagi. Rangga menarik rambutnya, memaksanya masuk ke mobil butut yang sudah menunggu di depan rumah. Mobil melaju kencang di jalan kota yang dipenuhi lampu-lampu neon. Lusi menatap keluar jendela dengan mata sembab, tubuhnya gemetar. Ia masih tak percaya suaminya sendiri menyeretnya ke jalan ini. “Mas… aku mohon… jangan bawa aku ke tempat maksiat. Kalau aku berdosa, biarlah Allah yang menghukumku. Jangan kamu yang menyeretku ke neraka…” “Cukup, Lusi!” bentak Rangga. Tangannya menghantam setir hingga mobil oleng sebentar. “Kamu kira aku mau begini? Aku nggak punya pilihan! Kalau bukan kamu, aku sudah mati digebukin rentenir. Kamu mau lihat aku mati?!” Air mata Lusi tak berhenti mengalir. “Aku rela kalau Mas sakit, kalau Mas jatuh miskin… asal jangan jual aku. Aku bukan barang, Mas…” Tapi Rangga pura-pura tuli. Mobil berhenti di depan gedung dengan lampu neon terang. Dari luar saja, dentuman musik sudah memekakkan telinga. Diskotik. “Keluar!” Rangga membuka pintu dan menarik tangan Lusi. “Aku nggak mau! Aku mohon, Mas…” Lusi berusaha bertahan di kursi, namun satu tamparan mendarat di pipinya. Tubuhnya terhuyung, lalu ditarik kasar. Dress hitam ketat sudah disiapkan. Rangga menyeretnya ke ruangan belakang gedung, memaksa Lusi melepas gamis panjangnya. Hijabnya direbut, dilempar begitu saja. “Mas! Jangan! Aku malu… jangan buka pakaianku…” Lusi berusaha menutup dada dengan tangan, air matanya terus mengalir. Rangga menatapnya dengan sinis. “Lusi, kamu cantik. Tubuhmu akan bikin mereka gila. Semakin seksi, semakin mahal hargamu. Jangan bikin aku marah.” Dengan paksa, tubuh Lusi diselipkan ke dalam dress berkilau yang menempel di kulit. Bahunya terbuka, pahanya terekspos. Sepatu hak tinggi dipaksa masuk ke kakinya yang gemetar. Saat menatap cermin, Lusi hampir tak mengenali dirinya sendiri. Wajah yang biasanya teduh dengan jilbab kini terlihat muram, berlinang air mata, dalam balutan pakaian yang membuatnya seperti orang asing. Musik keras, lampu strobo berputar, orang-orang menari dan mabuk. Asap rokok bercampur dengan aroma parfum menyengat. Lusi merasa sesak. Tangannya dingin, tubuhnya gemetar. Rangga menyalami seorang pria punk bertato. “Ini barang yang gue janjiin, Bos,” katanya sambil mendorong Lusi. Pria itu menyeringai, menatap Lusi dari ujung kepala sampai kaki. “Lumayan. Malam ini pasti rame yang mau coba.” “Bayar dulu hutang gue.” Pria itu mengisyaratkan pada dua temannya yang berbadan besar. Mereka mendekat, meraih lengan Lusi. “Mas! Tolong aku! Jangan tinggalkan aku! Maaaas Ranggaaa!” jeritnya. Tapi musik keras menelan suaranya. Rangga sudah pergi. Ia meninggalkan istrinya demi segepok uang. Ruangan belakang lebih gelap. Lusi dikelilingi pria-pria berwajah liar. Salah satunya menuangkan minuman ke gelas lalu menyodorkannya. “Minum dulu, manis. Biar rileks.” “Aku nggak mau…” Lusi menggeleng keras. Namun mulutnya dipaksa terbuka, cairan pahit masuk ke tenggorokannya. Seketika kepalanya pening. Tubuhnya panas, wajahnya merah. Napasnya tak teratur. Ia sadar—minuman itu sudah dicampur sesuatu. Obat. “Jangan… jangan sentuh aku…” Lusi mundur, menempel ke dinding. Pria berbadan besar mendekat, menaruh tangan di dinding, mengurungnya. “Santai, manis. Malam ini kau akan jadi milik kami.” Air mata Lusi jatuh. Ia berdoa dalam hati. “Ya Allah, selamatkan aku…” Dengan sisa tenaga, Lusi menendang kaki pria itu lalu berlari keluar. Hak tingginya membuatnya terhuyung, tapi ia terus memaksa. Musik dan keramaian menutup jeritannya. Orang-orang mabuk menertawakannya, mengira ia bagian dari hiburan. Lorong sempit di sisi gedung menjadi jalannya keluar. Nafasnya terengah, tubuhnya panas karena obat, tapi ia tak berhenti. Tiba-tiba— Brak! Ia menabrak seseorang. Seorang pria tinggi, tegap, dengan setelan jas rapi. Wajahnya dingin, rahang kokoh, sorot mata juga tajam. Dua pria lain ada di belakangnya, tapi langkah mereka berhenti karena tabrakan itu. Lusi jatuh tersungkur di kakinya. “Tolong… aku mohon… selamatkan aku…” suaranya serak, tangannya gemetar mencengkeram celana pria itu. Pria itu menatapnya lama. Biasanya ia tak peduli pada perempuan di tempat seperti ini. Namun wajah pucat dengan mata penuh air itu membuatnya ragu. Tiga pria berbadan besar muncul dari belakang, berteriak. “Lepas, itu barang milik kami!” Pria itu—Aron—menyampirkan jaket kulitnya ke pundak Lusi. Ia merangkul bahunya, dan menegakkan tubuhnya. “Berapa?” Aron bertanya dingin. “Dua ratus juta,” jawab salah satu dari mereka sambil tertawa mengejek. Aron mengeluarkan dompet, lalu mencatat nominal di dalam cek dan melemparkan pada ketiga preman itu. “Ambil. Sekarang dia milikku.” Pria-pria itu saling pandang, lalu menerima cek itu dengan senyum rakus. Aron menunduk, membopong Lusi yang hampir tak sadarkan diri. “Tenang,” katanya lirih, “kamu bersamaku sekarang.” Kedua rekan Aron bingung, tapi tak menghentikannya. Mereka malah tersenyum penuh kemenangan. Mobil hitam mewah melaju. Di dalamnya, Lusi bersandar lemah di bahu Aron. Tubuhnya panas, wajahnya memerah karena obat. “Jangan… jangan biarkan mereka menyentuhku lagi…” gumamnya. Aron menatap wajah rapuh itu. Ia tahu obat apa yang bekerja di tubuh wanita ini. Sebagai dokter, ia bisa menolong. Namun anehnya, ia sendiri merasakan sesuatu yang janggal. Tubuhnya ikut panas, jantungnya berdegup cepat. Minumannya tadi juga sudah dicampuri obat oleh seseorang sebelum bertemu Lusi. “Brengsek,” Aron bergumam.Lusi menjalani kegiatan hariannya dengan baik. Ia sudah mulai semnuh dari trauma yang ia alami. Ia memang tak secantik para artis, tapi ia cukup cantik memang. Andai ia menerima perawatan sedikit saja, kecantikannya pasti terpancar. Tubuhnya juga seksi, kalau saja tidak ditutup pakaiannya yang rapat, ia akan menjadi primadona. Di mansion yang megah itu, Lusi tetap mencoba membantu pekerjaan kecil meski para pembantu menolak. Sementara itu saat tidak ada yang bisa ia lakukan, ia lebih banyak melamun, menenangkan diri, sesekali membaca buku atau membantu di dapur. Aron, meski sibuk dengan bisnisnya, selalu menyempatkan waktu untuk menemaninya makan malam atau sekadar berbincang saat di mansion. Meski semua seolah tampak baik-baik saja, hidup Lusi tetap tidak mudah. Ia masih berusaha mencari pekerjaan baru yang bisa memberinya penghasilan. meski sedikit. Beberapa lowongan ia datangi, tapi hasilnya selalu sama, ditolak. Seminggu berlalu, Lusi semakin bingung. Hingga akhirnya i
Kini, Lusi merasakan kelegaan yang sudah lama tak ia miliki. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia tidak lagi terikat pada pria yang selalu menyakitinya. “Alhamdulillah…” ucapnya pelan ketika sidang memutuskan perceraiannya sah. Air matanya jatuh, bukan karena sedih, melainkan karena lega. Setelah hampir dua bulan tinggal di mansion milik Aron, Lusi akhirnya memutuskan untuk keluar seperti yang direncanakan. Pindah ke apartemen Aron yang dipinjamkan untuknya. Ia merasa tidak pantas terus-menerus bergantung pada pria itu. Aron sudah terlalu banyak memberikannya bantuan. Proses perceraian dengan Rangga pun selesai berkat campur tangan Aron. Ia tidak mungkin lagi pulang ke kontrakan lama, apalagi setelah tahu Rangga masih sering berkeliaran di sana. Syukurlah ia dapat pekerjaan lagi di sebuah toko baju di pusat kota. Mereka membuka lowongan sebagai penjaga sekaligus host untuk siaran live di platform jual-beli online. “Meski gajinya tidak besar, tapi sudah term
Lusi keluar dari kamar setelah bersih-bersih. Ia langsung menghampiri Aron yang duduk menunggunya sambil membaca buku di ruang tamu. "Maaf, Pak. Membuat Anda menunggu lama." Aron melepas kacamata bacanya, lalu menatap Lusi dengan tatapan santai. "Sudah merasa lebih baik?" tanyanya. Lusi mengangguk sambil tersenyum canggung. "Iya, Pak." Aron diam sejenak mengamati Lusi yang terlihat gelisah. Entah apa yang dipikirkannya sehingga ia terlihat ingin lari dari sana. "Jujur saja Lusi, saya gak bisa membiarkan kamu tinggal lama di sini." Lusi sudah menduganya, pasti Aron akan mengusirnya dari sana. Ia hanya diam tanpa menanggapi apa-apa. Namun wajahnya sudah memberikan respon, ia terlihat sedih. "Namun saya juga tidak bisa membiarkan kamu keluar dalam keadaan tak memiliki persiapan apapun." Wajah Lusi sudah terlihat ingin menangis. Itu membuat Aron merasa sangat kasihan, tapi juga tak bisa mengabaikan pandangan masyarakat. "Saya tidak tau kalau gosip tentangmu akhir
Malamnya di kamar, Lusi memeluk bantalnya erat. “Ya Allah… kenapa Pak Aron baik banget sih? Jangan sampe aku ngelunjak punya perasaan sama dia, dia masih ayah mertuaku. Bagaimanapun kami tidak diperbolehkan bersama selamanya” Ia menutup mata, tapi bayangan Aron yang makan kuenya terus menghantui pikirannya. . Di sisi lain, Aron berdiri di balkon kamarnya, menatap langit malam. Wanita itu, ia sederhana yang dulu ia kenal hanya sebagai menantu, kini hadir dengan cara berbeda. Aron tahu ia sedang bermain dengan api. Tapi semakin ia mencoba menjauh, semakin ia ingin mendekat. Ia takut jika ini sudah terlambat untuk mundur. ••• Hari itu kedai kopi ramai oleh pengunjung. Suara mesin espresso, denting sendok, dan percakapan pelanggan bercampur jadi satu. Lusi, dengan seragam hitam polos dan celemek, sibuk membersihkan meja serta mengantar pesanan. Ada rasa lega tiap kali ia bisa mengalihkan pikiran dari semua masalah rumah tangganya. Namun, siang itu suasana tenang seketika
Keputusan Lusi untuk meninggalkan Rangga, memang sudah benar. Tanpa ia sadari, keputusan itu akan menjeratnya semakin dalam pada pria bernama Aron. Pria yang merupakan mantan ayah mertuanya. Pagi-pagi sekali, Lusi terbangun di kamar luas itu. Ia membuka mata dengan kepala berat. Beberapa hari sudah ia berada di rumah Aron, dan setiap kali ia menatap langit-langit bercat putih itu, ada rasa bersalah yang menusuk ulu hatinya. Lusi hanyalah seorang perempuan berhijab yang dulunya hidup sederhana bersama suaminya, kini terjebak di sebuah mansion luas bak istana. Bukan dengan suaminya, melainkan dengan mantan ayah mertuanya sendiri. “Ya Allah, sampai kapan aku harus di sini?” bisiknya pada diri sendiri. Di rumah itu, segala kebutuhan sudah tersedia. Ada pembantu yang menyiapkan makanan, membersihkan kamar, bahkan menyetrika pakaian. Lusi tak pernah diizinkan menyentuh satu pun pekerjaan rumah. Padahal, di kontrakan kumuh dulu, tangannya tak pernah berhenti bekerja. Ia yang menc
Mansion megah berdiri anggun di pinggir kota. Lampu taman menyala, gerbang terbuka. Mobil masuk, dan berhenti di halaman luas. Aron turun, menggendong Lusi ala Bridal Style ke dalam Interior megah dengan chandelier kristal berkilau menyambut mereka. Namun Lusi hanya bisa merintih, tubuhnya goyah di pelukan Aron. “Tolong… jangan tinggalkan aku…” gumamnya. Aron menatap wajah itu. Hatinya berdebar, sebagai dokter, ia tahu harus menenangkan pasien. Tapi malam ini berbeda. Tubuhnya sendiri tak bisa ia kendalikan. Dengan suara rendah dan mata yang tajam, Aron berbisik di telinganya. “Bagaimana, Sayang… mau aku suntik di tangan… atau di tempat lain?”Aron melempar Lusi di atas kasur membuat wanita itu kaget. “Aaaaaa!” Lusi menjerit, tubuhnya gemetar, sementara Aron menatapnya dengan sorot tajam yang sulit ditebak. Dan malam itu menjadi awal jeratan yang mengikat di antara mereka berdua. ••• Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar yang luas itu. Suasana begitu hening, h






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments