Share

KETEMU MANTAN

"Riana?" panggil Ibu Riana.

"Ah, Ibu…." Riana secara otomatis berlari menghampiri ibunya. Walaupun sekarang pikirannya acak adul tak karuan. Dia harus tetap bisa tersenyum. Jangan sampai ibu khawatir, tekad Riana.

Sebuah pelukan hangat Riana dapatkan dari ibunya. Sangat hangat. Membuat air mata Riana meleleh perlahan.

"Aduh, kenapa kamu nangis? Ibu kan sehat!"

"Hmmm, nggak Bu. Mata Riana cuma kena debu," Riana mengusap air matanya.

"Anak kecil ini siapa?" ibu Riana menatap Rafa yang bersembunyi di belakang rok tutu hitam panjang Riana.

"Namanya Rafa, Bu. Ayo Rafa kenalan sama Nenek," Riana mendorong pelan Rafa agar mendekat ke ibunya.

"Halo Rafa," sapa ibu Riana ramah.

"Halo Nek. Aku Rafa. Salam kenal," Rafa meraih tangan ibu Riana dan menciumnya. Membuat ibu Riana tergelak dalam tawa.

"Nenek mamanya Mama?" tanya Rafa membuat ibu Riana mengerutkan dahi.

"Mama? Maksudmu Riana?" ibu Riana menunjuk Riana. Rafa mengangguk kuat.

Riana menggelengkan kepala dan berbisik pelan," Anak bos."

Ibu Riana paham dan mengangguk-angguk. "Iya."

"Waaah, Nenek. Bisa cium pipi Rafa? Rafa mau sama Nenek," bocah cilik itu sangat bahagia. Menganggap ibu Riana adalah nenek aslinya.

Riana membantu Rafa naik ke ranjang. Bocah itu langsung nemplok di pelukan ibu Riana. Untungnya ibu Riana tipe orang yang menyukai anak kecil. Jadi, perempuan tua itu sangat menikmati kebersamaannya dengan Rafa.

"Bu, Riana keluar bentar ya. Rafa sama Nenek dulu ya," pesan Riana sebelum keluar kamar.

Riana mendekati Joni yang berjaga di luar. Seperti biasa, Joni selalu tampak sigap berjaga.

"Joni, umm, apa aku boleh minta ditelponkan David? Ada hal yang harus kutanyakan," pinta Riana.

Joni tak menjawab. Tangannya langsung menekan tombol di ponsel dan memberikannya pada Riana.

"Ya?" terdengar suara David menjawab telepon.

"Oh, um, David, ini aku. Riana."

"Ada apa?"

"Kamu yang pindahin ibuku ke ruang VIP?"

"Kenapa? Tidak suka?"

"Bukan…. Bukan itu. Mmm…. Biayanya. Aku nggak punya banyak uang buat itu."

"Aku sudah memasukkannya ke daftar hutangmu."

"APA!?!" teriak Riana untuk pertama kalinya.

"DAVID AKU NGGAK PUNYA….."

TUT…. TUT…. TUT…..

"Aaaaah!" Riana menghentakkan kaki kesal. Bagaimana mungkin David dengan santainya berbuat sesuka hati seperti itu. Masukkan ke daftar hutang katanya?! ORANG GILA! SIAPA YANG MAU BERHUTANG PADANYA?!

INGIN MATI RASANYA! tangis Riana dalam hati.

"Mana?" Joni sudah berdiri di depan Riana. Meminta ponselnya kembali.

"Ini," Riana memberikan ponsel itu pada Joni.

Dengan langkah lunglai Riana berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar mandi. Dirinya tak ingin terjebak lebih banyak hutang. Namun, David membuatnya semakin terjerat lebih dalam.

"Astaga! Kenapa sih hidupku harus kayak gini banget?" racau Riana.

Perlahan Riana menatap dirinya di cermin wastafel. Mukanya sangat acak adul. Dihiasi derai air mata kekesalan dan putus asa. Haaaaah, lagi-lagi dirinya menghela napas.

"Nggak boleh putus asa Riana! Nggak boleh! Kamu udah bisa sejauh ini. Pasti bakal ada jalan keluarnya nanti," Riana mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Dinyalakannya kran air. Dibasuhnya muka kusutnya. Riana tak ingin membuat ibunya khawatir. Kunjungan ini penting baginya. Dia harus tampil ceria seperti biasanya.

Usai mencuci muka, Riana langsung kembali lagi ke kamar ibunya. Saat membuka pintu kamar, tampak seorang dokter didampingi suster sedang mengecek ibunya. Riana pun mendekat. Ingin mendengar bagaimana perkembangan penyakit ibunya.

"Bagaimana kondisi ibu saya Dok?" tanya Riana.

Si dokter menyelesaikan suntikannya dan menoleh ke arah Riana," Ibu Anda …."

Tuk!

Suntikan yang dipegang dokter itu terjatuh. Wajahnya menegang menatap Riana. Begitu pula dengan Riana.

"Ah, maaf," si dokter langsung menunduk mengambil suntikan yang dijatuhkannya. Riana juga refleks menunduk ke bawah untuk mengambil suntikan tersebut.

Jemari Riana bersentuhan dengan jemari si dokter. Sesaat mereka saling tatap. Antara bingung dan canggung.

"Ah, maaf," buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Sementara itu, si dokter mengambil suntikannya yang terjatuh di lantai.

"Ehem," si dokter berdeham. " Saya perlu membicarakan sesuatu dengan Anda. Apa Anda bisa ikut ke ruangan saya?"

"Hah?" Riana tak paham dengan maksud si dokter itu.

"Mari ikut saya," tanpa basa-basi lagi si dokter berjalan keluar kamar. Si suster mengikutinya dari belakang. Sementara Riana masih terbengong dengan apa yang baru saja terjadi.

"Riana, cepat sana. Kasihan kalau dokternya sibuk," tegur ibu Riana.

"Ah, iya," Riana tersadar lalu segera keluar mengejar si dokter.

"Ma, tunggu! Rafa ikut," si kecil Rafa berlari mengekori langkah Riana yang terburu-buru. Riana langsung menggendong Rafa agar bocah itu tak kecapekan.

"Hah," Riana terengah-engah sesaat sebelum masuk ke dalam ruangan si dokter itu.

"Duduk," ujar si dokter itu.

Riana menuruti ucapan si dokter. Kini dia duduk sambil memangku Rafa. Seperti biasa Rafa selalu menggelendot manja pada dirinya.

Si dokter muda yang ada di hadapannya itu masih memeriksa berkas. Riana tahu benar siapa dokter itu. Mereka sudah saling kenal lama. Bahkan sejak masa kuliah.

"Riana…."

"Jo…."

Mereka berdua berhenti sesaat setelah saling memanggil lama dalam waktu yang bersamaan. Riana menggigit bibir bawah. Bingung bagaimana memulai percakapan canggung dengan Jo, si dokter muda sekaligus mantan calon tunangannya itu.

Riana dan Jo dulunya pasangan serasi. Walaupun beda fakultas, mereka bisa tetap menjaga hubungan sampai hari kelulusan. Pertemuan mereka pun tak muluk-muluk, sebatas pertemuan senior dan junior di organisasi pers kampus. Karena sering mengobrol dan  ada kecocokan mereka menjalin hubungan. Mungkin karena hubungan mereka yang awetlah, hampir semua junior di organisasi kampus mereka mendambakan hubungan seperti hubungan mereka. Terlebih lagi, mereka akhirnya memiliki rencana bertunangan dua tahun setelah kelulusan. Tepat ketika Jo menyelesaikan kuliah praktiknya.

Jo melirik Rafa. Bocah di pangkuan Riana itu tampak menempel lekat. Usianya sekitar usia sekolah dasar.

"Kamu menikah?" Jo langsung menembak pertanyaan pada intinya.

"Hah?" Riana bingung sesaat. Akan tetapi langsung tersadar saat melihat Rafa yang sedari tadi memainkan tangannya.

"Dengan duda?" lanjut Jo. Ada rasa penasaran yang semakin dalam di setiap pertanyaan Jo.

"Hah?" Riana tercengang mendapati semua pertanyaan Jo barusan. "Kamu menyuruhku mengikutimu dengan terburu-buru hanya untuk menanyakan ini?"

Riana langsung berdiri dari kursi. “Maaf Jo, umm, maksudku Dokter Jo. Aku tidak punya waktu jika harus menjawab pertanyaan personal. Jika memang tak ada hal baru terkait perkembangan penyakit ibuku, aku undur diri dulu."

Riana berjalan keluar dari ruangan Jo. Entah kenapa hatinya menjadi panas. Padahal, hubungan mereka sudah lama kandas. Hanya saja perasaannya seperti tak bisa dibohongi bahwa dirinya memang masih menyukai Jo.

Tenanglah, Riana. Semuanya sudah berlalu. Jangan ingat-ingat lagi dia, Riana mencoba menenangkan bara di dadanya yang sudah lama padam. Matanya mulai berkaca-kaca. Membuatnya sangat benci pada perasaannya pada Jo yang tak bisa kunjung padam walau waktu sudah lama berlalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status