Share

LUKA LEBAM DI TUBUH RAFA

"Masuk," perintah David.

Riana masih berdiri mematung. Bingung. Seharusnya yang mengantarnya hari ini menjemput Rafa kan Joni? Kenapa yang muncul malah David?

"Mana Joni?"

"Masuk sekarang atau kutarik paksa?" David menatap tajam Riana dalam mobil. Glek! Riana langsung membuka pintu penumpang dan duduk manis di sisi David.

Mulut Riana terkunci rapat-rapat. Tak lagi ingin berkata aneh pada pria di sampingnya. Di situasi seperti ini, kata mutiara diam adalah emas adalah hal terbaik yang pernah Riana dapat seumur hidup.

Sambil menyetir, David mulai memberondong Riana dengan beragam pertanyaan.

"Rafa menyusahkanmu waktu di rumah sakit?"

"Nggak. Dia anak manis. Ibuku suka Rafa."

"Ibu sehat berarti?"

"Ya. Kondisinya tak seburuk biasanya."

"Kamu suka dengan ruangannya?"

"Ruangan itu menguras dompetku," Riana menundukkan wajah sedih. “Apa kamu nggak bisa kembaliin ibuku ke ruang semula? Kami sudah terbiasa dengan pelayanan rakyat jelata. Kamu nggak perlu susah payah membantuku."

"Sudah kubilang kan. Biaya itu masuk ke hutangmu."

"Kalau gitu aku minta gaji yang lebih besar juga. Apa bisa?"

"Mau berapa?"

"Dua puluh juta per bulan?"

"Hutang bungamu 80%," respon David sambil memarkirkan mobilnya.

"Banyak sekali! Ini pemerasan namanya."

"Ini usahaku. Aku juga tak mau rugi," David mematikan mesin. “Kalau tak sanggup, kamu bisa bayar dengan tubuhmu."

Muka Riana langsung memerah seketika. Bisa-bisanya orang ini masih berpikir untuk menjual dirinya. "A-aku akan bekerja keras! Akan kurawat Rafa sampai dia dewasa!"

"Ya. Lakukanlah sebaik mungkin," David keluar dari mobil. Riana pun ikut keluar. Bahkan, dia berjalan mendahului David untuk menjemput Rafa.

"Mama!" teriak Rafa senang saat melihat Riana datang menjemput. Riana langsung memeluk bocah itu dan mengecup pipinya.

"Aow!" teriak Rafa kesakitan. Riana heran. Apalagi Rafa memegangi lengannya yang tertutup seragam. Refleks Riana langsung menyingkap kain lengan Rafa. Tampak sebuah luka biru lebam.

"Kok luka? Kenapa?" selidik Riana khawatir.

"Jatuh," Rafa menunduk. Tak berani menatap Riana.

"Anak laki-laki biasa jatuh. Tak usah khawatir," komentar David di belakang Riana.

"Nggak. Pasti ada yang mukul kamu? Iya, kan?" Riana tak percaya dengan jawaban Riana.

"Nggak kok. Rafa jatuh."

"Jangan bohong, Rafa."

"Rafa nggak bohong," bocah itu terus menunduk. Tak berani melihat Riana. Membuat Riana yakin 100% bahwa Rafa memang berbohong.

"Ayo ikut, Mama. Kita ngobrol sama guru sebentar," Riana langsung menggendong Rafa masuk ke ruang guru.

David bingung dengan sikap Riana. Akan tetapi, dia mencoba tenang dan melihat apa yang sebenarnya ingin dilakukan Riana.

"Permisi," Riana masuk ke ruang guru. Seorang guru datang menghampiri.

"Iya. Ada apa?"

"Saya ingin mengobrol dengan wali kelas dua. Apa bisa?"

"Oh, iya. Kebetulan saya sendiri," jawab si Bapak Berkacamata. “Ada perlu apa ya?"

"Ini anak saya lengannya luka lebam. Apa benar karena jatuh?"

Si guru memperhatikan Rafa sejenak. “Oh, tadi ada pertengkaran di kelas. Sepertinya tadi kena pukul di lengan,” jawab si guru.

"Pertengkaran karena apa?"

"Biasa, Bu. Anak kecil. Ledek-ledekan orang tua."

"Benar gitu Rafa?" tanya Riana pada Rafa.

Rafa mengangguk perlahan. “Si Noval sama gengnya bilang Rafa nggak punya Mama sama Papa," cicit Rafa tak terima.

Hati Riana langsung hancur mendengar jawaban Rafa. Bagaimana mungkin anak sekecil Rafa harus menerima ejekan seperti itu dari teman-temannya? Lagipula apa salahnya juga kalau tidak punya orang tua? Selama masih bisa berprestasi dan jadi anak baik, bukannya itu sudah cukup bagus?

"Pak, saya minta ditemukan dengan orang tua anak yang mengejek anak saya. Minggu ini harus ketemu. Permisi," Riana menarik Rafa keluar ruang guru. Si bapak guru tampak bingung dengan sikap menuntut Riana.

David masih mengikuti Riana dan Rafa hingga masuk ke dalam mobil. Riana duduk di bagian belakang kursi penumpang bersama Rafa.

"Rafa, sudah berapa lama digituin sama temen-temen di sekolah?" selidik Riana.

"Hng….. nggak tahu. Lupa."

"Rafa, kalau ada yang nakal ke Rafa, bilang sama orang rumah. Kalau tiap hari ada luka di badan, itu bikin Mama sedih. Ngerti?" Riana mencoba tegas pada bocah itu.

"Tapi waktu itu di rumah belum ada Mama," tutur Rafa. “Om juga sibuk kerja."

"Rafa…." Riana memeluk lembut bocah itu. “Sekarang udah ada Mama. Jangan bohong lagi kalau ada yang nakal sama Rafa. Ya?"

"Iya."

Sepanjang perjalanan pulang, David tak bicara apapun. Hanya sesekali melihat Riana dari kaca depan mobil. Tampak perempuan itu sedang mengelus-elus kepala keponakannya yang sudah tertidur lelap di pangkuannya.

"Habis ini kita langsung ke rumah sakit. Hari ini jadwal menjenguk ibumu, bukan?" tanya David.

"Iya,” jawab Riana singkat.

Setiap tiga hari sekali, David mengizinkan Riana menjenguk ibunya. Tentu dengan pengawasan dari Joni. Rafa juga ikut mengekori Riana.

"Kamu yakin dengan pertemuan orang tua murid di sekolah?" tanya David.

"Yakin kok. Memang seharusnya diberitahu orang tuanya. Biar bisa bener didik anaknya,” terang Riana teguh.

"Tapi kamu bukan mamanya Rafa."

"Siapa peduli? Rafa sudah panggil aku mama juga. Kamu juga setuju kan kalau aku jadi Mama Rafa? Aku lagi kerjain tugasku sebagai Mama Rafa dengan baik. Kamu nggak boleh menghalangiku, David."

"Ya. Baiklah," David hanya mengiyakan ucapan Riana.

Sekilas Riana merasa David tersenyum. Entahlah. Mungkin salah lihat, batin Riana.

Sesampainya di rumah sakit, seperti biasa Riana datang menyapa ibunya. David menunggu Riana di luar sambil menggendong Rafa yang masih tertidur pulas.

"Aku udah selesai," Riana keluar kamar rawat ibunya. “Kita mampir beli obat ya? Buat luka Rafa."

"Bukannya lebam cuma dibiarkan aja?" balas David.

"Nggak tahu juga sih. Cuma bisa tanya dokter. Siapa tahu ada obatnya."

"Oke. Terserah kamu saja," pungkas David.

Walaupun David ini ketua preman penagih hutang, Riana merasa David tak cukup buruk sebagai seorang manusia. Pasalnya, David cukup menghargai orang-orang di sekitarnya. Bahkan, David terhitung cukup sayang dengan ponakannya. Ya, meskipun caranya terkadang aneh.

"Heh! Jangan melamun! Cepat jalan!" gertak David yang ternyata sudah cukup jauh di depan Riana.

"Iya. Tunggu sebentar," Riana berjalan cepat mengejar David.

BRUK!

"Aduh," Riana terjatuh. Seseorang menabraknya dengan kencang.

"Maaf. Sini saya bantu," suara si penabrak sangat familiar.

"Jo?" Riana terbengong saat tahu yang menabraknya tak lain dan tak bukan adalah Jo.

"Ayo," Jo mengulurkan tangannya pada Riana.

"Makasih," Riana berdiri tanpa menerima uluran tangan dari Jo. Membuat Jo harus menarik tangannya dengan wajah kecewa.

"Mau ke mana? Jenguk ibumu?"

"Pulang. Mari," Riana menundukkan kepala sebagai tanda ucapan perpisahan. Tak ada keinginan untuk berlama-lama dengan Jo. Pokoknya satu-satunya yang ingin dilakukan oleh Riana adalah menghindari Jo. Entah bagaimana caranya.

"Ayo, kita ke apotek," Riana langsung menggandeng David. Seketika David tersentak bingung saat jemari mungil Riana merengkuh jemarinya.

"Riana!" panggil Jo tak mau ketinggalan. Jo tetap mengejar Riana. Membuat David tak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Jo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status