Share

BINGUNG DIPANGGIL MAMA TERUS

"Ma, makan ini," Rafa menyuapkan roti isinya ke mulut Riana.

"Ma!" Riana tergelagap dari lamunannya.

"Oh, iya, Rafa. Ada apa?"

"Makan ini," Rafa masih setia menyuapkan roti isinya ke mulut Riana.

"Haem," Riana memasang wajah bahagia sambil mengunyah roti pemberian Rafa.

"Enak, Ma?"

"Iya. Enak. Mama suka," Riana terus memasang wajah senyum. Padahal hatinya sedang gundah gulana.

Sudah hampir dua minggu dirinya tak menemui ibunya di rumah sakit. Padahal, tiap sore atau malam, dia pasti mengunjungi ibunya. Riana ingin sekali bisa keluar dari rumah ini. Lari keluar dan menuju rumah sakit menemui ibunya.

Ibu, maafin Riana….

Rafa yang sedari tadi menangkap raut sendu Riana jadi ikut sedih. Akan tetapi, bocah itu tak tahu apa yang terjadi pada Riana.

"Mama kenapa sedih?" akhirnya Rafa melontarkan rasa penasarannya.

Riana hanya menoleh. Sesaat dirinya bingung kenapa Rafa bisa bertanya seperti itu padanya.

"Mama dari tadi cuma hembusin napas doang. Makanan di piring nggak dimakan sama sekali. Mama kenapa? Mama masih sakit?" tanya Rafa penuh kekhawatiran.

Memang Riana sempat sakit beberapa hari karena stres. Ya, bagaimana mungkin seseorang masih bisa sehat setelah tahu bahwa dirinya terlilit hutang segitu besar. Terlebih lagi hutang itu bukanlah hutang yang diambil olehnya, melainkan oleh ayahnya yang entah tak jelas rimbanya sekarang.

"Ma-Mama sehat kok. Rafa mau Mama suapin?" Riana langsung mengambil sendoknya dan mulai menyuapi Rafa dengan sayuran yang ada di piring.

"Ng… Rafa nggak suka sayur bayam," tolak Rafa sambil menunduk.

"Kenapa nggak suka? Nanti Rafa gampang sakit lho. Terus nggak bisa kuat kayak Popeye," bujuk Riana. Ya, anak kecil memang rata-rata sangat pemilih soal makanan. Apalagi jika menyangkut soal sayuran.

"Siapa Popeye? Rafa nggak kenal," respon Rafa polos. " Lebih kuat mana sama Om David?"

Riana terdiam. Menyadari kesalahannya bahwa anak zaman sekarang tak mungkin tahu kartun Popeye yang dulu sangat populer di masa kecilnya.

"Lebih kuat, Om," sahut David usai menyelesaikan sarapannya. " Makan sayurmu. Nanti bisa mati kalau nggak makan sayur."

"Mati?"

"Iya. Kurang sayur bikin susah buang air besar. Nanti kamu mati kalau nggak bisa buang air besar," lanjut David santai.

Riana tahu penjelasan David itu benar. Namun, apa itu baik menjelaskan hal semacam itu pada anak kecil.

"Ma! Sini! Rafa mau makan sayurnya. Rafa nggak mau mati," rengek bocah itu secepat kilat. " Buruan Ma! Rafa nggak mau mati! Nanti Rafa nggak bisa sama Mama kalau Rafa mati!"

Ternyata berhasil. Rafa memakan dengan lahap sayur bayam yang disuapkan oleh Riana. Tak ada sisa satupun. Laki-laki ini cukup pandai mendidik anak kecil rupanya. Meski caranya memang aneh, batin Riana.

"Rafa udah kenyang," bocah itu tampak lega dan memegangi perutnya.

"Bagus. Sekarang mandi sama Mbok Shinta. Habis itu sekolah," perintah David yang langsung diiyakan oleh bocah cilik itu.

Riana pun ikut beranjak mengekori Rafa. Sudah jadi kesehariannya mengikuti kemanapun Rafa pergi.

"Tunggu! Kamu duduk dulu," David menghentikan langkah Riana.

"Hmm, iya?" Riana masih belum terbiasa dengan David. Pandangan Riana selalu tertunduk saat mengobrol dengan pria itu. Rasa takut Riana tak bisa dibendung.

"Masih sakit?" David melontarkan pertanyaan yang sama seperti Rafa.

"Ng-nggak. Aku sehat kok," jawab Riana tergagap. Suaranya masih bergetar karena takut.

"Jangan buat Rafa khawatir. Jika ada masalah, langsung bilang saja padaku."

Masalah? Tentu saja ada. Sedari awal mereka bertemu, semua ini sudah menjadi masalah bagi Riana. Namun, Riana akan mati jika mengatakan unek-uneknya secara gamblang.

Daripada mati sia-sia, bagaimana kalau mencoba peruntungan? pikir Riana.

Dengan tangan gemetar, Riana memberanikan diri bertanya," Hmm, apa... apa aku boleh ke rumah sakit? Ibuku dirawat di sana. Aku sudah lama nggak mengunjunginya. Aku takut ibuku khawatir."

"Hanya itu?"

Tanpa sadar Riana mendongakkan kepala hingga pandangannya bertemu dengan mata David yang tajam. Dia sangat kaget saat itu juga karena mata pria itu sangat tajam.

"Nanti Joni akan menemanimu. Kamu bisa ke sana usai Rafa pulang sekolah."

Riana tak menyangka akan mendapat izin semudah itu dari David. Jika tahu seperti ini, seharusnya sedari awal saja Riana memberanikan diri memohon pada pria bermata tajam itu.

"Te-terima kasih," sahut Riana lega dan bahagia.

"Jangan coba-coba kabur. Aku bisa membunuh ibumu kalau kamu kabur. Mengerti?" pesan David dengan nada mengancam.

"Iya. Aku nggak akan kabur. Kamu bisa percaya padaku," Riana menatap David dengan penuh kesungguhan.

"Ya. Pergi sana. Rafa sudah menunggu," David menyudahi percakapannya dengan Riana.

Tanpa banyak bicara, Riana langsung berjalan pergi keluar ruang makan. Diam-diam ekor mata David mengikuti gerak tubuh Riana hingga bayangannya tak lagi tertangkap lensa matanya.

"Dasar," gumam David perlahan.

Riana tak bisa menahan rasa bahagianya. Hari ini akhirnya dia bisa menemui ibunya di rumah sakit. Setelah semua hal buruk yang menimpa dirinya, setidaknya dia ingin melihat dan memeluk ibunya. Walaupun sangat tidak mungkin bagi dirinya untuk menceritakan semua kisah buruk yang sudah dialaminya. Riana tak ingin membuat ibunya khawatir. Apalagi ibunya menderita penyakit jantung. Akan lebih baik jika dirinya yang menanggung semua bara nestapa ini sendirian. Minimal fisiknya yang sehat bisa tetap bertahan.

"Mama cantik," puji Rafa sambil naik ke pangkuan Riana saat mereka berada dalam mobil. Padahal, hari ini dia berbusana seperti biasa. Tidak memakai make up juga.

"Mama cantik kalau senyum," lanjut Rafa membuat Riana gemas.

Sebenarnya Riana masih belum paham kenapa bocah di pangkuannya itu terus memanggilnya dengan sebutan 'mama'. Apalagi sejak awal bertemu Riana sudah salah menduga. Dari mengira bocah itu hantu sampai anak dari penghutang yang sedang diculik. Tak pernah dinyana kalau bocah itu malah keponakan David, si pria preman itu.

Tentang alasan dirinya dipanggil 'mama', Riana memutuskan menunggu penjelasan dari David saja. Dia tak mau ambil pusing soal itu. Lagipula pekerjaan aneh ini semata-mata untuk membayar hutang ayahnya yang brengsek itu. Haaaah, Riana ingin sekali memukul ayahnya dengan palu. Membiarkannya mati berdarah-darah. Setelah pergi meninggalkan dirinya dan ibunya, sekarang malah terlihat hutang yang nyaris membuat dirinya dijual jadi wanita penghibur. Untung saja ada malaikat kecil penolongnya.

Rafa….

Rafa berguling-guling tak jelas di pangkuan Riana. Sesekali mendusel ke dalam perutnya. Membuat Riana geli. Lucunya, Riana tersenyum sambil mengusap-usap rambut Rafa.

Riana memutuskan tutup mata terkait alasan dirinya dipanggil 'mama'. Bocah lucu ini pasti punya alasan kuat. Riana tak ingin membuat harapan Rafa kandas dengan menekan bahwa dia bukan mamanya. Riana hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan balas budi pada malaikat kecilnya itu.

"Kita sudah sampai," Joni memarkirkan mobil.

Riana segera menggandeng Rafa keluar mobil. Langkahnya semakin ringan saat berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Biasanya dia selalu sedih dan merasa berat hati jika harus melangkah ke rumah sakit sendirian. Akan tetapi, hari ini berbeda. Dia akan berjumpa dengan ibunya yang sudah lama tak dijenguk. Riana berharap ibunya akan baik-baik saja selama dirinya tak ada.

"Kamu mau ke mana? Arahnya ke sini" Joni menghentikan langkah Riana.

"Tapi kamar ibuku di sana," Riana menunjuk ke arah lain.

"Sudah ikuti aku saja," beritahu Joni setengah membentak.

Riana bingung. Namun, dia tak bisa juga melawan perintah Joni. Ah, ikuti saja sebentarlah, Riana sudah capek juga jika harus berdebat yang jelas bahwa dirinya akan kalah.

Joni membawa Riana memasuki ruangan pasien VIP. Mulut Riana melongo melihat ibunya ada di dalam ruangan itu.

Siapa yang sudah memindah ibunya di ruang itu? Biayanya pasti akan semakin membengkak! Riana ingin terjun dari jendela sekarang juga!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status