"Ayah Tuan meminta Anda kembali ke rumah dan mengambil alih pekerjaan beliau."
Mendengar hal itu, Arsenio terkejut setangah mati. Meskipun dia memliki begitu banyak keraguan, dalam hati, Arsenio ingin percaya. Oleh karena itu, sekarang Arsenio hanya bisa menuruti apa yang dikatakan oleh pria yang menjemputnya barusan.
Saat ini, keduanya sedang menuju rumah sakit. Awalnya ia tidak mau, lantaran takut akan masuk ke hal-hal aneh, tetapi pria bernama Bastian itu, memaksa dan menceritakan sedikit kisah yang sama sekali tidak pernah Arsenio ketahui.
***
Sky Blue Hospital, Distrik S98.
Tring!
Notifikasi muncul sebelum Arsenio memasuki ruangan.
[Misi Baru: Kalahkan Organisasi Hitam.]
[Tingkatan Kesulitan: 10-12.]
[Hadiah: 20 Juta Dollar dan Mobil.]
[Keuntungan Tambahan: Mendapatkan 20 Poin Aksi dan 70 Poin Kemenangan.]
[Skill: 20%/100]
[Stamina: 40%/100]
Notifikasi pun menghilang sendiri, sesaat setelah Bastian mempersilahkan Arsenio untuk masuk ruangan lebih dulu karena sebagai mestinya, anak buah tunduk kepada Tuannya.
"Mengapa kau bertuduk padaku?" tanya Arsenio kebingungan. Merasa tidak pantas diperlakukan layaknya majikan.
Bastian mengerjapkan matanya, "Anda adalah Tuan Muda. Sudah sepantasnya saya menghormati Anda, dan saya berjalan mengikuti Anda di belakang." ucapnya dengan tenang. Tangan pria itu masih menempel di dadanya, menunjukkan rasa hormat.
Arsenio semakin kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Terlebih lagi, Bastian selalu memanggilnya dengan sebutan 'Tuan Muda' yang tidak bisa Arsenio artikan sepenuhnya.
"Baiklah." Arsenio melangkah dengan penuh kewaspadaan. Takut-takut, sudah disiapkan jebakan untuk menjeratnya di dalam sana.
Meskipun ini rumah sakit, tetapi ruangan tersebut lebih layak disebut kamar hotel, sebab tampilannya yang mewah dan tidak tercium aroma khas rumah sakit. Setidaknya itulah yang Arsenio lihat dan rasakan.
Arsenio melangkah lebih jauh. Di ruangan tersebut, sudah ada dua pria gagah berpakaian serba hitam dan mengenakan kacamata hitam sedang berdiri tegap, selang sedetik keduanya membungkukkan badan, memberi hormat setibanya Arsenio di sana.
Arsenio mengangguk ragu. Sungguh ia seakan dibawa masuk ke dunia novel, yang di dalamnya mengisahkan para konglomerat, yang dikawal oleh orang-orang khusus.
"Ayah Anda ada di sebelah sana, Tuan Muda." Bastian menunjuk ke arah pria yang seluruh rambutnya sudah memutih. Pria tua itu terbaring lemas tak berdaya. Alat medis pun terpasang di tangan serta hidungnya.
Dari kejauhan, Arsenio dapat melihat, sudah banyak kerutan di wajah pria itu.
"Apakah dia benar-benar ayahku? Aku tidak yakin." Arsenio bertanya dengan penuh keraguan. Langkahnya terhenti sejenak, kira-kira lima meter dari pria tua itu terbaring di tempatnya.
Bastian mengangguk dan berkata, "Betul, Tuan Muda. Dia adalah Tuan Alexander Guan. Sedangkan Anda, Arsenio Bagas Guan. Putra Tunggal Alexander Guan, yang akan mewarisi seluruh kekayaan keluarga Guan."
Arsenio menelan ludahnya pelan-pelan. Penjelasan dari Bastian, sungguh sulit dipercaya semudah itu. "Benarkah itu? Haruskah aku mempercayainya?"
"Bastian ..."
Sebelum Bastian dapat menjawab pertanyaan Arsenio, terdengar suara lirih memanggil.
"Iya, Tuanku." Bastian buru-buru menghampiri pria bernama lengkap Alexander Guan itu.
"Di mana putraku? Apa kau berhasil mengajaknya untuk menemuiku? Aku sungguh ingin bertemu dengannya," ungkap Alexander Guan berat karena suaranya terhalang selang yang terpasang di mulutnya.
"Tentu, Tuanku. Tuan Muda Arsenio, saat ini sudah ada di sini." Bastian menjatuhkan pandangnya ke arah Arsenio.
"Tuan Muda, Tuan Alex ingin bertemu dengan Anda," pintanya kemudian.
Arsenio lagi-lagi menelan ludahnya berat. Oh, sungguh, dirinya sangat gugup. Bahkan tangannya sampai berkeringat dingin.
Langkah demi langkah Arsenio ambil. Ragu dan takut, tetapi berselimut penasaran. Ia coba untuk mempercayai kenyataan yang ada di depan matanya sekarang.
"Ayah ..." Arsenio bersuara pelan. Percayalah! Dia ragu untuk menyebut Alexander Guan dengan sebutan 'Ayah' karena bagi Arsenio, ayahnya telah mati beberapa tahun yang lalu.
"Arsenio." Alexander mengarahkan pandangannya. Ditatapnya sangat dalam putra satu-satunya itu.
"Arsenio ... Anakku. Kemarilah." Alex mengangkat sebelah tangannya. Terasa lemas dan tak bertenaga. Namun, ia tetap berusaha demi menyentuh anaknya yang selama ini, tidak pernah tinggal satu atap dengannya.
Arsenio mendekatkan wajahnya. "Iya, Ayah. Aku di sini. Arsenio senang bertemu dengan Ayah. Bagaimana kabar Ayah?" tanyanya sebagai basa-basi belaka.
Lain di bibir, lain pula di hati. Arsenio mengakui Alexander sebagai ayahnya di bibir karena ia belum yakin sepenuhnya. Walau Arsenio akui, ia senang bertemu dengan ayah kandungnya.
Alexander mengusap kepala Arsenio dan berkata, "Setelah ini, seluruh kekayaan keluarga Guan, jatuh ke tanganmu. Termasuk beberapa perusahaan besar, Property dan organisasi. Bastian akan menjadi asistenmu. Dia yang bertanggung jawab untuk mengurus seluruh keperluanmu," beber Alex secara gamblang.
Arsenio melirik, sedangkan Bastian mengerjapkan matanya disertai anggukan kepala pelan, mengartikan bahwa ucapan Alexander benar adanya.
Arsenio, menghela napas panjang. "Baik, Ayah. Aku akan mengurus semuanya, seperti yang Ayah inginkan."
Arsenio pun mengulas senyum, dalam semalam kehidupannya berubah drastis, layaknya dalam sebuah novel.
'Tunggu, pembalasan dendamku ... Elisha, Felix, Hendry.' Arsenio tersenyum miring, mengingat orang-orang yang selama ini telah memperlakukannya dengan buruk.
***
Malam harinya. Arsenio pun diajak ke kediaman keluarga Guan. Mansion mewah yang memiliki halaman luas layaknya lapangan sepak bola.
Mobil mewah terparkir rapi di sana. Arsenio memandang takjub apa pun yang ada di depan matanya. Para pengawal pun sudah berbaris guna menyambut kedatangan Arsenio, seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya.
Tepat sesaat mobil yang Arsenio naiki terparkir di sana. Mereka lantas memberi hormat, yang membuat Arsenio semakin merasa seperti orang berkuasa.
"Selamat datang, Tuan Muda Arsenio!" seru mereka serentak, sesaat setelah Arsenio keluar dari mobil.
"Mari, Tuan Muda!" ajak Bastian tanpa berbasa-basi lagi. Arsenio pun mengangguk.
Arsenio memasuki mansion. Menatap takjub seisi ruangan yang luar biasa. "Apakah aku sedang bermimpi?" ucapnya sampai tidak berkedip.
"Anda sedang tidak bermimpi, Tuanku. Ini adalah rumahmu. Tuan Axel, bahkan sudah memindahkan hak kepemilikan rumah ini, menjadi milik Anda."
Arsenio melotot dan melihat ke arah Bastian. "Apakah aku ini sungguh anak dari Alexander Guan?" tanyanya memastikan.
Bastian mengangguk dengan penuh keyakinan. "Tentu, Tuanku. Tuan Alex melakukan semua ini guna melindungi Anda, sebagai pewaris satu-satunya keluarga Guan."
Arsenio menyimak serius seraya mengikuti langkah Bastian, yang mengarah pada anak-anak tangga.
"Sesaat setelah Nyonya Clarissa melahirkan Anda, Nyonya tak sadarkan diri dan detak jantungnya seketika berhenti. Tuan Axel tidak percaya dengan kematian janggal itu. Setelah ditelusuri, ternyata ada seseorang yang telah menyusup ke rumah sakit dan menyamar sebagai perawat ... Perawat itu yang telah membunuh ibu Anda. Dirasa keselamatan Anda terancam, maka Tuan Axel menyerahkan Anda kepada Daren ..."
Keduanya melangkah bersama-sama, menaiki setiap anak tangga.
"Sebenarnya, sudah sejak lama Tuan Axel ingin mengajak Anda pulang. Terutama ketika mendengar Daren telah mati. Tuan Axel benar-benar berduka saat itu. Namun, dirinya tidak bisa berbuat banyak karena pertarungan di dunia bisnis sedang memanas," beber Bastian berterus terang.
"Lalu, mengapa, Ayah ingin aku pulang sekarang?" Arsenio menjatuhkan pertanyaannya, yang lantas dijawab Bastian dengan senyuman tipis.
"Saya melihat Anda, ketika di restoran, saat Tuan Muda berhasil menghajar pemilik restoran dan laki-laki itu ..."
"Maksudnya, Felix?" tebak Arsenio ragu.
Bastian mengangguk, "iya. Saya melihat semuanya, kejadian di restoran itu. Mendapati fakta bahwa Tuan Muda berhasil membuat mereka tidak berdaya, saya berpikir sudah waktunya Tuan Muda Arsenio untuk pulang. Maka dari itu, saya memberitahukannya kepada Tuan Axel."
"Apa selama ini, kau selalu mengikutiku?" Arsenio melebarkan matanya, sedangkan Bastian hanya tersenyum tipis disertai anggukan kepala. "Tuan Axel sendiri yang memerintahkan saya untuk terus mengawasi dan melaporkan seluruh kegiatan Tuan Muda."
Arsenio pun tersedak napasnya sendiri setelah mengakuan yang keluar dari mulut Bastian. Jadi, selama ini Bastian selalu mengawasinya atas perintah Alexander. Dengan kata lain, semua hinaan yang acap kali diterimanya, diketahui oleh Axel? Ada perasaan malu, tetapi Arsenio juga kesal karena baik Axel maupun Bastian tidak ada yang mau membantu disaat mendapatkan kesulitan.
Arsenio mengehentikan langkahnya, tepat di anak tangga terakhir. "Apakah kau bisa mencari informasi tentang, Organisasi Hitam?"
Hari berikutnya. Arsenio menaklukkan X One di Bandara internasional, yang hendak melarikan diri ke luar negeri. Di hari itu juga, Organisasi yang selama ini dipimpin X One pun ditaklukkan. Mereka tidak bisa berkutik lantaran pemimpin mereka telah ditangkap.Pada akhirnya, Arsenio pun menjadi penguasa Tiga Wilayah Bagian, seperti yang telah kakeknya janjikan. Sebagaimana seharusnya, pewaris utama keluarga Guan, yang akan memimpin Tiga Wilayah Bagian. Sejak hari itu, Arsenio mulai berbenah. Dia membentuk Organisasi Naga Merah yang lebih kuat lagi, kokoh dan sedikit berbeda dari yang dipimpin Alexander Guan sebelumnya.Arsenio membuat banyak perubahan di mana-mana. Berkat kontribusinya itu, semua orang di Tiga Wilayah Bagian tersenyum. Tidak ada yang tidak mengenal Arsenio sekarang.Arsenio pun mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Anindira. Tepat dua bulan setelah Luke Mallory tiada. Pernikahan yang telah nantikan itu akan segera terwujud.Satu hari sebelum pernikahan. Malam harinya
"Kejutan!" Suara Elsa begitu nyaring dan sangat melekat di telinga Arsenio.Siapa yang menduga, bom yang dimaksud Luke Mallory sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, adalah Elsa. Arsenio tidak habis pikir. Jika ia tahu, mungkin gadis itu sudah berpindah dunia kemarin. "Ada apa dengan ekspresimu, Kak? Apa kau terkejut melihatku seperti ini?" sambungnya berpura-pura polos, seolah tak terjadi apa-apa.Dia memah pandai bermain sandiwara. Kemarin Elsa berlagak layaknya seseorang yang sangat menderita. Mampu, menarik simpati Arsenio dan yang lainnya. Namun, sekarang? Elsa seperti serigala yang menyusup ke dalam gerombolan domba, lalu siap menerkam mereka.Arsenio bergeming. Dia terlalu cepat untuk mempercayai seseorang tanpa mencari tahu asal usulnya lebih jauh. Sampai akhirnya ia berada di ujung jurang karena rasa kepercayaannya itu, tapi semua ini tidak bisa ia sesali terus menerus. "Kenapa kau diam, Kak? Bukankah kau selalu saja banyak bicara ini dan itu? Kau terus saja berkata, b
Arsenio berlari ke ruang perawatan. Dia mendapat kabar bahwa Elsa telah sadar. Dia bersyukur karena operasi pengangkatan cip itu berhasil. Bruk ...Pintu dibuka secara kencang, hingga menciptakan suara nyaring, sontak membuat dua gadis di dalamnya tersentak kaget."Arsenio ...""Kak Arsenio ..."Keduanya menyebut nama sang pria di waktu bersamaan. Terdengar kompak. Arsenio bernapas lega setelahnya. Lantaran dua wanita yang ia sayangi, ternyata baik-baik saja.Terutama saat melihat senyuman Anindira, selalu membuat hatinya tenang. "Kalian baik-baik saja bukan?" tanya Arsenio pada keduanya. "Iya, Kak Arsenio."Anindira ingin menjawab juga. Namun, dia kalah cepat dengan Elsa yang sudah lebih dulu berucap. Anindira pun hanya diam dan menunggu giliran ia berkata.Pandangan Arsenio lurus pada Anindira dan begitu juga senyuman. Ya, meskipun tangannya mengelus kepala Elsa."Lantas bagaimana dengan Kak Arsenio? Apa kakak berhasil menyelamatkan teman-temanku? Aku mendengar cerita Kak Anindir
"Kapan pengirimannya?" Terlihat Luke Mallory sedang berada di sebuah ruangan, lebih disebut sebagai gudang karena banyak tumpukan kardus terbengkalai di sana.Jaring laba-laba menjadi penghias di setiap sudut ruangan. Lubang angin pun sudah tertutup debu yang sangat tebal.Lantai yang dipijak pun bukan dari keramik, melainkan masih lapisan pasir. "Pengirimannya akan dilakukan sore ini, Bos. Ketua Bulan Darah, yang akan mengantarnya sendiri," jawab salah satu anak buahnya, tertunduk ke bawah."Bagus. Para investor kita sudah banyak menanyakan soal anak-anak itu, yang akan mereka pekerjaan sebagai penari di club-club malam."Luke Mallory tersenyum sinis. Mengayunkan kakinya santai sambil menyesap sepuntung rokok yang hendak habis."Lantas, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang Arsenio?"Tiba-tiba dia membahas soal Tuan Muda keluarga Guan itu. Setiap saat dirinya tidak bisa tidur, terus saja terbayang-bayang bajah pemuda tiga puluh tahun, yang telah membunuh Leonardo. "Kami be
"Sebenarnya, Kak Arsenio ini, siapa? Mengapa kakak bisa masuk ke rumah besar itu? Memangnya rumah itu, milik kakak juga?"Pertanyaan Elsa, sontak membuat Arsenio menghela napas berat. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan identitasnya yang tidak lain adalah Pewaris Utama Keluarga Guan, dari Elsa. Namun, sepertinya keadaan yang telah memaksa ia untuk berkata jujur."Rumah mewah itu milik ayahku. Sebenarnya aku ini, pewaris utama keluarga Guan. Arsenio Bagas Guan. Putra satu-satunya Alexander Guan," beber Arsenio ragu. Dia tidak yakin momentumnya pas untuk mengungkapkan identitas. Elsa menatapnya sangat lama dan tanpa kata, seolah kalimat tadi adalah mantra yang mengutuknya menjadi patung batu. "Elsa?" Panggilan Arsenio menyadarkan gadis cantik dua puluh tahun itu, dari diamnya. "Mengapa sejak awal Kak Arsenio tidak jujur padaku?" Elsa mengubah posisi duduknya yang semula sedikit menghadap Arsenio, kini melihat keluar jendela."Aku tidak suka orang yang berkata bohong," sambungnya kesa
Arsenio pun kembali ke rumah. Kemarin malam ia tidak pulang karena menemani Elsa. "Tuan Muda. Kemana saja Anda kemarin malam?" tanya Bastian, yang langsung mencecar. "Tuan, terus mencari Anda. Mengapa ponsel Anda tidak aktif? Sebenarnya pergi kemana Anda, Tuan Muda?"Arsenio menghela napas panjang, "ada hal yang sedang kuurus. Sekarang aku minta padamu untuk mencari informasi tentang Organisasi Bulan Darah.""Bulan Darah?" Bastian menautkan sebelah alisnya. "Bukankah organisasi itu sudah hilang. Lantas, untuk apa, Anda mencari informasi tentang mereka lagi?""Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, aku ingin menemui ayah. Di mana Ayah?" "Tuan Alexander ada di ruangannya." Setelah mendengar kalimat itu, Arsenio buru-buru menaiki anak-anak tangga, menuju lantai dua.Arsenio pun langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintunya lebih dulu."Ayah," kata Arsenio terkesan buru-buru."Arsenio. Kemana saja kamu, Nak?" tanya Alexander Guan cemas. Sampai bangu dari tempat duduknya. "Aku ber