Hari berikutnya. Arsenio pun masih tertidur lelap di atas ranjang empuk, super lembut yang baru pertama kali ia rasakan.
"Selamat pagi, Tuan Muda." Bastian telah berdiri di samping tempat tidur Arsenio, menyapa dengan penuh hormat, tapi tetap berwibawa.
Arsenio perlahan-lahan membuka matanya. Ia terkejut mendapati Bastian telah berdiri di depannya, beserta dua pria lain yang berpenampilan layaknya pelayan.
"Ada apa ini?" Arsenio buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk. Membulatkan matanya karena terkejut.
"Selamat pagi, Tuan Muda. Bagaimana tidur Anda? Apakah nyenyak?" tanya Bastian seramah mungkin.
Arsenio mengangguk pelan. "Iya. Lalu, apa yang kalian lakukan di sini?"
"Letakkan makanannya di sini!" titah Bastian, kepada salah satu pelayan yang membawa baki berisikan makanan.
Pelayan itu mengangguk, lalu meletakkan baki tersebut di atas ranjang, tepat di hadapan Arsenio.
"Aku tidak mengerti semua ini," celetuk Arsenio sambil mengerutkan keningnya.
"Saya membawakan sarapan untuk Anda. Tidak itu saja. Ini setelan jas untuk Tuan Muda, karena hari ini Tuan harus menghadiri pertemuan di perusahaan. Tuan Axel meminta saya untuk mengumumkan kepada seluruh petinggi perusahaan, atas kembalinya Tuan Muda Arsenio," terang Bastian santai.
"Apa? Pertemuan perusahaan?" Arsenio terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna seakan ingin keluar dari tempatnya.
"Betul, Tuanku. Agenda hari ini adalah bertemu dengan para petinggi perusahaan. Maka dari itu, saya sudah menyiapkan seluruh kebutuhan Tuan."
Arsenio menelan ludahnya berat-berat. Makanan itu belum ia sentuh sama sekali, tetapi perutnya sudah merasa kenyang. Aneh ... tapi kenyataannya demikian.
Pagi-pagi ia biasa sibuk, menyiapkan makanan sendiri dan bergegas pergi ke restoran untuk bekerja, tetapi sekarang. Tanpa melakukan apa pun, makanan sudah tersedia. Pakaian mewah telah disiapkan. Oh, sungguh kehidupan yang luar biasa.
***
All Start Group.
Perusahaan game ternama, terbaik di Sky Blue City. Gedung pencakar langit yang memiliki 50 lantai, dengan kapasitas karyawan mencapai 1000 orang. Banyak orang bermimpi, bisa berkerja di All Start Group, termasuk Arsenio.
Arsenio pun dibuat terpana, ketika keluar dari mobil dan berdiri tepat di depan pintu masuk All Start Group. Perusahaan yang selama ini ia mimpikan. Arsenio selalu berharap bisa bekerja di sana. Namun, kenyataannya, All Start Group, perusahaan milik ayahnya.
"Mari, Tuan Muda. Para petinggi perusahaan sudah menunggu, Anda," ucap Bastian, yang menyadarkan Arsenio dari lamunannya.
"Baiklah."
Arsenio pun mengayunkan kakinya. Memasuki ruangan yang sebelumnya hanya terlintas dalam bayangannya saja.
Langkah demi langkah, Arsenio ambil. Matanya sungguh enggan berkedip. Terpesona akan kemewahan dari All Start Group.
Ada banyak orang yang berlalu lalang di sini. Pakaian mereka sangat rapi dan modern, lalu sibuk dengan urusan masing-masing.
"Ruangan rapatnya ada di lantai 20. Mari, Tuan Muda." Bastian mengarahkan dan Arsenio mengangguk.
Dengan dikawal tiga bodyguard, Arsenio yang ditemani Bastian pun segera pergi ke lantai dua puluh menggunakan lift VVIP, yang biasa digunakan untuk staf tinggi saja.
***
Lantai dua puluh. Di dalam ruangan full AC, para petinggi perusahaan telah berkumpul. Ketika pintu terbuka, mereka buru-buru berdiri, merapikan jas masing-masing supaya terlihat rapi di depan Arsenio, selaku pewaris perusahaan ini.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa mereka serentak sambil membungkuk.
Arsenio terkejut. Namun, segera ia mengendalikan pikirannya.
"Selamat pagi semuanya. Terima kasih atas sambutan kalian," balas Arsenio sedikit gugup. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan berwibawa, seperti yang sudah Bastian ajarkan sebelumnya.
"Baik, semuanya. Sebelumnya perkenalkan namaku, Arsenio Bagas Guan. Mungkin kalian sudah mengetahui kabar tentang diriku dari Tuan Alexander Guan. Di sini saya akan menjadi wakil dari Presdir, yaitu Tuan Axel Guan, yang saat ini sedang sakit. Saya berharap kalian bisa bekerja sama. Mari kita membangun perusahaan ini lebih baik lagi."
Arsenio pun memberikan kata sambutannya, lalu membungkuk kemudian sebagai bentuk hormatnya selaku pemimpin yang baru.
Mereka yang ada di sana bertepuk tangan. Seketika ruangan menjadi ramai. Arsenio mengangkat wajahnya dengan bangga, lalu tersenyum penuh kemenangan karena setelah ini, tidak akan ada lagi orang yang bisa menghinanya. Entah, seperti apa reaksi Elisha nanti? Arsenio sungguh menantikannya.
Selang satu jam. Selesai pertemuan dengan para staf penting. Di ruangan Arsenio. Ia hanya berdua, dengan Bastian.
"Apa kau sudah mencari informasi tentang Organisasi Hitam?" tanya Arsenio serius. Ia berpikir, bahwa ini waktu yang tepat untuk memulai misinya.
Bastian yang berdiri tepat dihadapannya itu, langsung menjawab. "Sudah, Tuanku. Organisasi Hitam, menduduki dua wilayah, yaitu distrik Cucumber dan L45. Pemimpin mereka bernama Keenan Matthew. Sedangkan anaknya bernama Felix ..."
"Felix?" potong Arsenio cepat. Kemudian alisnya naik sebelah dan mengerutkan kening, ketika nama Felix keluar dari mulut Bastian.
"Benar, Tuanku. Felix, yang tempo hari dibuat takluk oleh Tuanku, di restoran."
Arsenio tersenyum miring mendengar pengakuan Bastian. "Bagus ... Dengan begitu, akan sangat mudah bagiku, balas dendam kepada Felix. Aku ingin membuat perhitungan dengannya karena telah merebut kekasihku ...." geram Arsenio sambil mengepalkan tangan kanan, lalu ditatapnya dengan penuh kemarahan.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke wilayah itu. Apa kau bisa mengantarku ke sana?"
Bastian mengangguk, tanpa keraguan, "tentu. Saya akan mengantar Tuanku kemana pun Tuanku, inginkan."
Arsenio mengulas senyuman tipis, lalu beranjak pergi dari tempat duduknya. Bastian pun, mengekor di belakang, memastikan keselamatan Arsenio, bagaimanapun juga.
***
Sementara itu, di lokasi berbeda. Lebih tepatnya di kediaman keluarga Felix. Mansion mewah yang memiliki arsitektur clasic dan elegant.
Di salah satu ruangannya.
"Bodoh! Dasar tidak berguna! Sebenarnya, apa saja yang kalian kerjakan, ah?! Mencari tikus kecil saja kalian tidak bisa!" bentak Felix, pada dua pria bertubuh kekar yang tertunduk di hadapannya.
"Maaf, Bos. Kami sudah berusaha keras untuk mencari informasi tentang Arsenio, tetapi tidak ada satupun informasi yang kami dapatkan. Bahkan apartemennya sudah kosong, saat kami sampai di sana," tutur salah satu pria tergagap, yang tetap tertunduk karena tidak berani menatap mata Felix secara langsung.
PLAK!
Tidak terima dengan pengakuan tersebut. Felix pun melayangkan tamparan keras kepada kedua anak buahnya. "Bodoh! Dasar tidak berguna! Seharusnya kalian berusaha lebih keras lagi! Apa susahnya mencari tikus kecil itu, ah?!" sungutnya kemudian.
Suaranya semakin tinggi, membentak, meninju kedua anak buahnya kemudian sampai babak belur. Meluapkan segala emosi yang ada. Menjadikan kedua orang tersebut, sebagai pelampiasan kemarahannya terhadap Arsenio.
"Sekarang, kalian pergi! Cepat, cari informasi tentang Arsenio! Aku tidak mau tahu, bagaimanapun caranya juga kalian harus menemukan, Arsenio! Jika kalian gagal, maka diriku sendiri yang akan memenggal kepala kalian. Mengerti?!" ancamnya disertai tatapan nanar dan tajam.
"Mengerti, Bos!"
Kedua pria itu, buru-buru meninggalkan ruangan tersebut. Lari terbirit-birit karena tidak mau sampai Felix memenggal kepala masing-masing.
"Keparat!" Felix pun berteriak sekencang-kencangnya. Dia menjatuhkan seluruh benda yang ada di atas meja. Menyapunya dengan kedua tangan. Wajahnya kelabu dan napasnya memburu, menandakan emosi sedang membumbung tinggi.
"Arsenio! Tidak akan kubiarkan kau hidup lebih lama setelah ini!" erangnya kemudian, sambil mengusap tepi tepi bibirnya yang masih dibalut plester itu.
Bekas pukulan yang Arsenio berikan di wajah Felix pun, masih terlihat jelas. Biru dan bengkak.
Hari berikutnya. Arsenio menaklukkan X One di Bandara internasional, yang hendak melarikan diri ke luar negeri. Di hari itu juga, Organisasi yang selama ini dipimpin X One pun ditaklukkan. Mereka tidak bisa berkutik lantaran pemimpin mereka telah ditangkap.Pada akhirnya, Arsenio pun menjadi penguasa Tiga Wilayah Bagian, seperti yang telah kakeknya janjikan. Sebagaimana seharusnya, pewaris utama keluarga Guan, yang akan memimpin Tiga Wilayah Bagian. Sejak hari itu, Arsenio mulai berbenah. Dia membentuk Organisasi Naga Merah yang lebih kuat lagi, kokoh dan sedikit berbeda dari yang dipimpin Alexander Guan sebelumnya.Arsenio membuat banyak perubahan di mana-mana. Berkat kontribusinya itu, semua orang di Tiga Wilayah Bagian tersenyum. Tidak ada yang tidak mengenal Arsenio sekarang.Arsenio pun mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Anindira. Tepat dua bulan setelah Luke Mallory tiada. Pernikahan yang telah nantikan itu akan segera terwujud.Satu hari sebelum pernikahan. Malam harinya
"Kejutan!" Suara Elsa begitu nyaring dan sangat melekat di telinga Arsenio.Siapa yang menduga, bom yang dimaksud Luke Mallory sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, adalah Elsa. Arsenio tidak habis pikir. Jika ia tahu, mungkin gadis itu sudah berpindah dunia kemarin. "Ada apa dengan ekspresimu, Kak? Apa kau terkejut melihatku seperti ini?" sambungnya berpura-pura polos, seolah tak terjadi apa-apa.Dia memah pandai bermain sandiwara. Kemarin Elsa berlagak layaknya seseorang yang sangat menderita. Mampu, menarik simpati Arsenio dan yang lainnya. Namun, sekarang? Elsa seperti serigala yang menyusup ke dalam gerombolan domba, lalu siap menerkam mereka.Arsenio bergeming. Dia terlalu cepat untuk mempercayai seseorang tanpa mencari tahu asal usulnya lebih jauh. Sampai akhirnya ia berada di ujung jurang karena rasa kepercayaannya itu, tapi semua ini tidak bisa ia sesali terus menerus. "Kenapa kau diam, Kak? Bukankah kau selalu saja banyak bicara ini dan itu? Kau terus saja berkata, b
Arsenio berlari ke ruang perawatan. Dia mendapat kabar bahwa Elsa telah sadar. Dia bersyukur karena operasi pengangkatan cip itu berhasil. Bruk ...Pintu dibuka secara kencang, hingga menciptakan suara nyaring, sontak membuat dua gadis di dalamnya tersentak kaget."Arsenio ...""Kak Arsenio ..."Keduanya menyebut nama sang pria di waktu bersamaan. Terdengar kompak. Arsenio bernapas lega setelahnya. Lantaran dua wanita yang ia sayangi, ternyata baik-baik saja.Terutama saat melihat senyuman Anindira, selalu membuat hatinya tenang. "Kalian baik-baik saja bukan?" tanya Arsenio pada keduanya. "Iya, Kak Arsenio."Anindira ingin menjawab juga. Namun, dia kalah cepat dengan Elsa yang sudah lebih dulu berucap. Anindira pun hanya diam dan menunggu giliran ia berkata.Pandangan Arsenio lurus pada Anindira dan begitu juga senyuman. Ya, meskipun tangannya mengelus kepala Elsa."Lantas bagaimana dengan Kak Arsenio? Apa kakak berhasil menyelamatkan teman-temanku? Aku mendengar cerita Kak Anindir
"Kapan pengirimannya?" Terlihat Luke Mallory sedang berada di sebuah ruangan, lebih disebut sebagai gudang karena banyak tumpukan kardus terbengkalai di sana.Jaring laba-laba menjadi penghias di setiap sudut ruangan. Lubang angin pun sudah tertutup debu yang sangat tebal.Lantai yang dipijak pun bukan dari keramik, melainkan masih lapisan pasir. "Pengirimannya akan dilakukan sore ini, Bos. Ketua Bulan Darah, yang akan mengantarnya sendiri," jawab salah satu anak buahnya, tertunduk ke bawah."Bagus. Para investor kita sudah banyak menanyakan soal anak-anak itu, yang akan mereka pekerjaan sebagai penari di club-club malam."Luke Mallory tersenyum sinis. Mengayunkan kakinya santai sambil menyesap sepuntung rokok yang hendak habis."Lantas, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang Arsenio?"Tiba-tiba dia membahas soal Tuan Muda keluarga Guan itu. Setiap saat dirinya tidak bisa tidur, terus saja terbayang-bayang bajah pemuda tiga puluh tahun, yang telah membunuh Leonardo. "Kami be
"Sebenarnya, Kak Arsenio ini, siapa? Mengapa kakak bisa masuk ke rumah besar itu? Memangnya rumah itu, milik kakak juga?"Pertanyaan Elsa, sontak membuat Arsenio menghela napas berat. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan identitasnya yang tidak lain adalah Pewaris Utama Keluarga Guan, dari Elsa. Namun, sepertinya keadaan yang telah memaksa ia untuk berkata jujur."Rumah mewah itu milik ayahku. Sebenarnya aku ini, pewaris utama keluarga Guan. Arsenio Bagas Guan. Putra satu-satunya Alexander Guan," beber Arsenio ragu. Dia tidak yakin momentumnya pas untuk mengungkapkan identitas. Elsa menatapnya sangat lama dan tanpa kata, seolah kalimat tadi adalah mantra yang mengutuknya menjadi patung batu. "Elsa?" Panggilan Arsenio menyadarkan gadis cantik dua puluh tahun itu, dari diamnya. "Mengapa sejak awal Kak Arsenio tidak jujur padaku?" Elsa mengubah posisi duduknya yang semula sedikit menghadap Arsenio, kini melihat keluar jendela."Aku tidak suka orang yang berkata bohong," sambungnya kesa
Arsenio pun kembali ke rumah. Kemarin malam ia tidak pulang karena menemani Elsa. "Tuan Muda. Kemana saja Anda kemarin malam?" tanya Bastian, yang langsung mencecar. "Tuan, terus mencari Anda. Mengapa ponsel Anda tidak aktif? Sebenarnya pergi kemana Anda, Tuan Muda?"Arsenio menghela napas panjang, "ada hal yang sedang kuurus. Sekarang aku minta padamu untuk mencari informasi tentang Organisasi Bulan Darah.""Bulan Darah?" Bastian menautkan sebelah alisnya. "Bukankah organisasi itu sudah hilang. Lantas, untuk apa, Anda mencari informasi tentang mereka lagi?""Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, aku ingin menemui ayah. Di mana Ayah?" "Tuan Alexander ada di ruangannya." Setelah mendengar kalimat itu, Arsenio buru-buru menaiki anak-anak tangga, menuju lantai dua.Arsenio pun langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintunya lebih dulu."Ayah," kata Arsenio terkesan buru-buru."Arsenio. Kemana saja kamu, Nak?" tanya Alexander Guan cemas. Sampai bangu dari tempat duduknya. "Aku ber
Entah mengapa, Arsenio merasa ingin berlama-lama di tempat ini. Seolah sesuatu sedang menunggunya dan takdir ingin dirinya menemukan itu.Arsenio pun mengunjungi ayahnya dan mengatakan bahwa ia akan pulang setelah makan siang. Sesaat setelah itu, Arsenio melihat sesuatu yang membuat aliran darahnya mendidih lagi. "Hei, kalian yang berkelahi di sana! Apa yang kalian lakukan di depan umum seperti ini?!" "Ayo cepat pergi!!" ucap seorang pelaku mendorong rekannya untuk kabur dari sana.Arsenio berseru. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan aksinya, dua pria yang lagi-lagi sedang mengeroyok anak kecil itu, pergi. Kali ini bukan gadis yang Arsenio selamatkan sebelum."Hei kalian--Ck!!" Arsenio berdecak dengan kepalan tangan meninju udara. Tindakannya itu, mendapat teguran dari dua pria berseragam keamanan. Dari yang Arsenio lihat, sepertinya mereka sedang melakukan patroli rutin. "Kau?! Lagi-lagi membuat keributan di sini, apa tak kapok?!" ucap salah seorang petugas keamanan itu yang ter
Hari berikutnya. Arsenio pun melaju dengan kecepatan tinggi dengan motornya. Sudah cukup lama ia tidak berpacu di atas kuda besinya itu. Semenjak menjadi Tuan Muda keluarga Guan, ia tidak lagi mengendarai motor.Arsenio membelah keramaian kota Sky Blue City. Menyalip kendaraan yang ada di depannya dengan mudah.Setelah berpacu kecepatan di jalanan selama tiga puluh menit, Arsenio pun menghentikan laju motornya tepat di depan gerbang pemakaman keluarga. Arsenio turun dari motor, tidak lupa dia membawa satu buket bunga mawar putih yang sangat indah dan harum.Arsenio berjalan memasuki makam dan berhenti tepat di samping pusaran yang bertuliskan nama Clarissa di atasnya. Dia membuka kacamata hitam yang sedari tadi melekat di wajahnya. "Selamat pagi, Bu. Maafkan Arsenio yang baru mengunjungi ibu lagi."Arsenio meletakkan buket bunga itu di atas makam Clarissa. Sekuat tenaga dia memendung emosi, yang coba menerobos pertahanannya."Ibu suka mawar putih bukan? Kali ini Arsenio bawakan mawa
Satu Minggu berikutnya. Kondisi Arsenio telah pulih sepenuhnya. Bastian pun mengajak Arsenio untuk menemui anak-anak di tempat sosial, yang dibangun oleh Alexander Guan.Arsenio berjalan santai sambil melihat-lihat sekelilingnya, yang dipenuhi suara tawa anak-anak. Koridor ini, mengingatkan Arsenio pada sekolah dasarnya dulu. Hanya saja, saat ia bersekolah tidak ada tawa yang seperti ini. Setiap kali dirinya berjalan, maka teman-teman sebayanya langsung menghindar. Seolah dirinya monster yang tidak pantas untuk didekati. Melihat anak-anak bisa tertawa lepas tanpa beban, meskipun tidak memiliki orang tua, membuat Arsenio merasa tenang. Ada kebahagiaan yang sulit ia gambarkan dalam lembaran kata-kata. Setidaknya di tempat ini, mereka tidak merasa kesepian. "Tuan Alexander Guan membangun tempat ini, tepat satu bulan setelah meninggalnya Nyonya Clarissa. Tuan Alexander Guan, sangat terluka saat itu, terlebih lagi dia harus berpisah dengan putranya, yaitu Anda, Tuan Muda. Sebelum memban