Navya tiba-tiba bangkit dengan kasar sambil mendorong dada bidangnya, membuat Al tersentak. Tanpa kata-kata, Navya menancapkan tumitnya keras-keras ke kaki Al sebelum berlari ke toilet.
"Akh! Nav! Kenapa kamu injak kaki aku?" Al memekik kesakitan sambil memegangi kakinya. Rasa nyeri menjalar dari telapak kakinya ke seluruh tubuh, tetapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan tersisih yang mulai merayap di hatinya. "Itu pelajaran buat laki-laki buaya kayak kamu, Mas!" teriak Navya dari dalam toilet. Perempuan itu mengunci pintu toilet, menutup telinga dari segala keributan di luar. Di dalam, dia berdiri mematung di depan cermin, air matanya kembali mengalir tanpa henti. Dengan tangan gemetar, dia meremas bagian dadanya yang sesak, berusaha menenangkan diri. "Aku nggak boleh kemakan rayuannya," batinnya berbisik tegas. "Ingat, Nav! Dia itu cuma anggap kamu baby sitter. Nggak akan pernah lebih dari itu! Cinta dia cuma buat Zoya!" Di luar, Al tak henti-hentinya mengetuk pintu toilet. "Navya, buka pintunya, Nav! Ayo kita obrolin ini baik-baik, please. Aku nggak akan pernah menceraikan kamu!" Akan tetapi, Navya tetap bergeming. Suara ketukan Al semakin sayup di telinganya, tenggelam oleh suara hatinya sendiri yang memaksa untuk tetap teguh. Navya kemudian menyalakan keran air, membasuh wajahnya dengan niat berwudhu setelah hatinya merasa sedikit lebih tenang. Sentuhan air dingin di wajahnya berhasil membawa sedikit kedamaian di hatinya yang bergemuruh. Setelah merasa tenang, dia membuka pintu toilet dengan perlahan. Di depan pintu, Al masih berdiri, bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya penuh harap, tapi Navya menghindari tatapannya. Al mencoba menyentuh lengannya. “Navya ...," panggilnya dengan suara rendah, penuh permohonan. Dengan cepat Navya memundurkan langkahnya sambil mengangkat kedua tangannya. “Jangan sentuh aku, aku udah wudhu.” Suaranya datar, tetapi tegas. Al mengangkat tangannya, menyerah untuk menyentuhnya. “Baiklah. Tunggu aku, ya. Aku ambil wudhu sebentar, kita shalat berjamaah.” Navya tidak menjawab. Dia hanya menggumam pelan sambil mengenakan mukenanya, tak ingin menambah drama di malam itu. Al segera berwudhu dan kembali dengan tenang untuk mengimami shalat Isya. Ketika Al mengangkat takbir, mereka berdua larut dalam shalat, meski hati masing-masing penuh dengan perasaan yang bertentangan. Selesai shalat dan berdoa, Navya langsung bangkit, melepas mukena, dan melipatnya rapi. Al, yang masih duduk di atas sajadah, mengulurkan tangannya, berharap Navya akan mencium tangannya seperti biasa. Namun, Navya bahkan tak melirik ke arahnya. Dia seolah tak lagi mengakui kehadirannya. “Navya ....” Al memanggilnya dengan nada pelan, berharap istrinya akan merespons. Tetapi Navya memilih untuk menulikan telinganya, berjalan menuju pintu kamar tanpa menoleh sedikit pun. “Kamu mau ke mana?” Al bertanya, bangkit dari duduknya dengan cepat. Navya berhenti sejenak di depan pintu, tanpa menoleh. "Aku mau tidur di kamar Axel. Mulai malam ini, aku nggak akan tidur di kamar ini lagi. Setelah kita cerai nanti, kamu bebas kalo mau bawa cinta pertama kamu itu ke kamar ini," jawabnya dingin sebelum melangkah pergi, meninggalkan Al dalam keheningan kamar yang tiba-tiba terasa begitu luas dan kosong. Al terdiam, lalu mengembuskan napasnya dengan kasar, menyaksikan punggung istrinya menghilang di balik pintu. Jarak di antara mereka kini terasa semakin lebar, dan dia tak tahu bagaimana caranya menghilangkan jarak itu. Dan, satu hal yang kini ia sadari, dia tidak tahu jika ternyata Navya sudah lama merasa diabaikan olehnya, dan dia tidak yakin bisa memperbaiki semuanya dengan begitu mudah. Al hanya bisa menatap Navya yang dengan cepat meninggalkan kamarnya, tidak lagi mencoba menghentikannya. Dalam diam, dia berpikir untuk membiarkan Navya tidur bersama Axel malam ini, meski hatinya masih bergemuruh. Mungkin ini adalah kesempatan bagi mereka berdua untuk menenangkan diri masing-masing. Akan tetapi, bagi Navya, keputusan Al untuk tidak mengejarnya justru memperkuat tekadnya. "Ternyata bener, dia sama sekali nggak peduli sedikit pun sama aku," gumamnya dalam hati seraya tersenyum getir. Langkah kakinya terasa semakin berat saat dia melangkah menuju kamar Axel, hatinya semakin mantap untuk mengakhiri pernikahan ini. Al tidak pernah mencintainya, tidak pernah melihat dirinya sebagai istri, apalagi sebagai partner hidup. Jadi, untuk apa lagi dia mempertahankan rumah tangganya? Ketika memasuki kamar Axel yang tenang, dia melihat putranya yang sudah terlelap. Axel tidur dengan damai, wajah polosnya tertutup sedikit oleh selimut yang terlipat rapi di dadanya. Navya mendekatinya perlahan. Dia duduk di tepi tempat tidur dan mulai membelai rambut Axel dengan lembut, menatap wajahnya yang tampan, yang sama persis seperti Al. Dari mulai matanya, alisnya yang tebal, bentuk hidungnya yang mancung sempurna, juga bentuk wajahnya yang oval. Sama persis seperti Al. Zoya hanya menyumbang bentuk bibirnya saja di wajah Axel. "Setelah Mama pergi nanti, Axel harus selalu tidur nyenyak kayak gini ya, Nak," bisik Navya, suaranya serak. Matanya memandang Axel dengan kasih sayang yang tulus, meski air mata mulai kembali mengalir di pipinya. Meskipun Axel bukan darah dagingnya, Navya mencintai anak itu seolah-olah dia adalah putranya sendiri. Setiap hari, dia merawat Axel dan Lexa tanpa keluhan, tanpa menuntut balasan apapun dari Al yang telah menyakitinya begitu dalam. Bahkan malam ini, luka di hatinya terasa semakin mendalam. Namun, tidak ada sedikit pun rasa benci pada anak-anaknya. Navya tetap mencintai mereka sepenuh hati, meskipun Lexa sudah tidak manja dan dekat lagi padanya setelah kedatangan Zoya. Navya tersenyum pahit saat membayangkan masa depan tanpa anak-anak itu. "Kalau aku benar-benar berpisah sama Mas Al, itu artinya, aku juga harus pisah sama mereka ... ya Allah, apa aku bisa melakukannya? Apa aku sanggup jauh dari mereka?" Pikirannya bergolak, seolah ada dua sisi yang saling bertarung. Dia ingin melepaskan pernikahan ini, tetapi kehilangan Axel dan Lexa adalah hal yang membuat hatinya terasa seperti dicabik-cabik. Dengan hati yang bergetar, Navya membelai pipi Axel. "Maafin Mama ya, Sayang. Mungkin ... keputusan ini adalah yang terbaik untuk semuanya. Untuk kebahagiaan Axel, Lexa, Papa dan Mami kandung kalian. Mama nggak mau jadi penghalang kebahagiaan kalian." "Tapi, satu hal yang perlu Axel tau, Mama nggak pernah nyesel jadi Mama Axel dan Lexa, Mama selalu sayang kalian berdua ... Mama akan selalu doain Axel dan Lexa bahagia, di mana pun Mama nanti berada," ujarnya lirih. Tiba-tiba, Axel menggeliat dalam tidurnya dan menggumamkan sesuatu yang samar. Navya menunduk, mencium kening putranya, lalu mengusap lembut punggung tangan kecilnya yang terjulur keluar dari balik selimut. Malam itu, meskipun Navya tahu keputusannya akan menghancurkan hidupnya, dia semakin yakin bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayangan Zoya, dalam pernikahan yang tidak pernah memberi tempat baginya untuk merasakan kebahagiaan dalam sebuah hubungan ikatan suci pernikahan. Navya yang terlelap di samping Axel terlihat begitu lelah. Wajahnya tenang, namun ada kerutan di dahinya, menandakan betapa mimpinya tidak membawa ketenangan. Dia bergerak sedikit, kemudian bergumam, "Capek ... hati aku sakit, Mas ... sakit ... ceraikan aku ... tolong ...." Al yang berdiri di ambang pintu kamar Axel yang dia buka sedikit, menatap pemandangan itu dengan hati yang terasa seperti teriris belati. Langkahnya terhenti, tubuhnya membeku di tempat. Kata-kata Navya, meskipun terucap dalam igauan, menghantamnya dengan begitu keras. Betapa perempuan itu telah menyimpan begitu banyak rasa sakit, begitu dalam hingga terbawa ke dalam mimpinya. Al tidak pernah menyangka bahwa kelelahan Navya begitu mendalam, jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan.Navya berdiri di sudut jalan yang sepi, sembari menggigit bibirnya cemas. Tempat ini cukup jauh dari pengawasan CCTV, namun ia terus memeriksa sekeliling dengan gelisah, takut Al akan menemukan jejaknya. Tak lama kemudian, Sean tiba, menepi dan turun dari mobilnya. Ia mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran. “Nav, kamu baik-baik aja?” Sean mengamati Navya yang terlihat lelah dan penuh kecemasan. Navya mengangguk pelan, tetapi air mata sudah menggenang di matanya. “Sean … tolong bawa aku pergi dari sini. Aku nggak sanggup lagi tinggal di rumah itu. Mereka ... mereka makin gila. Mereka udah berani mesra-mesraan di rumah itu waktu aku lagi nganter anak-anak ke sekolah.” Sean terdiam sejenak, mencoba memahami betapa seriusnya permintaan Navya. “Kalo gitu, ayo ikut aku. Kamu tinggal di apartemen aku aja. Di sana kamu aman, dan Bang Al nggak akan tau—” “Nggak bisa, Sean.” Navya langsung menyela dengan suara tegas. “Kita nggak mungkin tinggal satu atap. Kita bukan muhrim. Lagian ... aku
Setelah meninggalkan Navya yang masih menggedor pintu kamar sambil berteriak marah, Al berjalan turun dengan langkah tegas, sorot matanya penuh amarah bercampur dengan kebingungan. Saat tiba di lantai bawah, dia menemukan Mbok Ratih berdiri dengan ekspresi khawatir. “Mbok!” teriak Al memanggil, membuat Mbok Ratih segera mendekat. “Ada apa, Den Al?” tanya Mbok Ratih hati-hati, melihat raut wajah Al yang nampak kacau dan penuh emosi. Al menarik napas dalam sebelum berbicara. “Jangan biarkan Navya keluar dari kamarnya. Pastikan pintu kamar tetap terkunci. Siapkan makan siang buat dia nanti, bawa aja ke kamarnya pas jam makan siang.” Mbok Ratih terdiam, tampak ragu. “Tapi, Den Al … apa itu nggak terlalu berlebihan? Mbak Navya terlihat sangat marah tadi, nanti dia tambah ma—” Al menatap Mbok Ratih dengan sorot tajam, seakan mengunci segala bentuk protes yang keluar. “Tolong jangan bantah perintah saya, Mbok! Saya tau apa yang terbaik buat Navya.” Tanpa menunggu tanggapan lagi, Al ber
Navya mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka dan memotretnya, membuat Al dan Zoya seketika menoleh karena mendengar suara kamera, lantas suara tepuk tangan Navya menggema di ruangan itu. "Makasih, Mas ... akhirnya aku dapetin bukti buat gugat cerai kamu di pengadilan." Al terperangah dan langsung menyingkirkan Zoya dari pangkuannya. "Navya … aku bisa jelasin. Ini nggak seperti yang kamu pikir." Navya berdecih dengan senyuman sinis yang terulas di wajahnya, meski dalam hati ia hancur melihat pemandangan itu. "Kalian berdua emang pasangan yang serasi!" katanya sambil berdiri di depan mereka dengan tatapan mencemooh. "Sama-sama nggak tau malu, cocok banget!" Zoya yang sudah berdiri dekat Al yang juga bangkit berdiri, mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. "Navya, kenapa kamu tega ngomong gitu? Kamu nggak perlu bereaksi kayak gini. Ini bukan sesuatu yang serius. Tadi ... tadi aku cuma hampir jatuh, Al nahan aku, terus aku malah jatuh ke pangkuan dia." Navya menatap Zoya
Setelah kegaduhan di depan kamar tamu berakhir, Al akhirnya kembali ke kamar utama dengan langkah berat. Ia merasa kelelahan, emosional, dan tak berdaya. Sesampainya di kamar, dia memandang bantal yang biasa digunakan Navya—tempat Navya menyandarkan kepalanya setiap malam, bantal yang kini tampak kosong dan kehilangan kehangatannya. Al menghela napas, merasakan kekosongan yang menusuk hati. Dia akhirnya berbaring dan memeluk bantal itu, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam keheningan, meskipun menyadari bahwa yang ia dekap hanyalah bayangan dari sesuatu yang kini menjauh darinya. Tanpa disadari, Al terlelap dengan rasa sesal yang mendalam. Sementara itu, di kamar tamu, Navya telah selesai mandi dan mengenakan piyama. Dia menyalakan laptopnya dan membuka berkas-berkas yang dibawanya. Sudah lama dia berpikir untuk mengambil langkah ini, tapi hanya sekarang, di tengah kehancuran hatinya, dia benar-benar merasa yakin. "Keputusan aku udah bulat, Mas. Aku udah bener-bener gak sanggup
Al menarik napas dalam dan menguatkan genggamannya di tangan Navya. Bersama Axel, mereka menaiki pelaminan, melewati para tamu untuk memberikan ucapan selamat kepada Cindy dan suaminya yang tengah berbahagia. Axel, dengan senyum lebar khas anak-anak, langsung menghampiri Cindy. “Tante Cindy, selamat, ya! Aku mau foto bareng, boleh, 'kan?” seru Axel dengan polos, membuat Cindy tertawa kecil. “Of course, ganteng!” Cindy meraih tangan Axel dan memposisikannya di depannya sambil memegang kedua belah bahunya. Cindy menatap Navya dan Al, mengangguk penuh terima kasih. “Navya, Dokter Al, makasih ya udah dateng.”Navya tersenyum lembut dan mencium kedua belah pipi Cindy. “Selamat, Cindy. Kamu cantik banget MasyaAllah ... selamat menempuh hidup baru, ya. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.” "Aamiin ya Allah, Aamiin. Makasih banget doanya ya, Nav. Doa yang sama buat kamu sama Dokter Al," balas Cindy yang hanya dibalas senyuman getir oleh Navya. Dan Al menyadari itu. Al men
Axel menarik lengan Navya dengan antusias, wajahnya terlihat tidak sabar. “Ma, Kalo nunggu Papa ganti baju kelamaan! Aku mau es krim coklatnya sekarang! Papa harus cepetan ganti bajunya biar kita bisa foto terus makan es krim. Aku udah nggak sabar, tau!” Navya menunduk, menatap Axel dengan lembut. “Iya, Nak, tolong sabar ya. Nanti habis foto, kita ambil es krim coklat buat kamu, okay?” Axel mendengus kesal dan melipat tangan di depan dada. “Papa ngapain masih bengong sih? Kenapa nggak cepetan ganti baju? Nanti es krimnya keburu habis!” Mendengar celotehan Axel, Al tersenyum geli. “Iya, iya, Papa cepet, kok. Kamu tunggu di sini, ya, sama Mama. Jangan pergi ke mana-mana.” “Papa beneran cepet, 'kan?” Axel menatap Al dengan ragu, seolah menantang ayahnya untuk menepati janji. Al mengangguk sambil tertawa kecil. “Beneran cepet. Papa cuma mau ganti baju sebentar, terus kita foto bareng sama Tante Cindy sama suaminya. Setelah itu, langsung kita ambil es krim coklat buat kamu.” Axel ter
Al tiba di lobi hotel, tempat pernikahan Cindy dilangsungkan. Dengan langkah cepat, dia berjalan masuk ke hotel setelah memberikan kunci mobilnya pada petugas valet parkir. Hujan gerimis yang menyisakan jejak basah di tubuhnya membuat penampilannya semakin berantakan. Kemejanya tampak kusut, dan rambutnya yang sedikit basah terlihat acak-acakan. Wajahnya yang kusut semakin menambah kesan buruk pada imejnya yang selama ini selalu berpenampilan rapi dan berhasil menarik perhatian para wanita. Begitu tiba di depan ballroom, Al disambut tatapan heran dari para tamu yang berada di luar ruangan. Beberapa di antaranya berbisik-bisik melihat penampilannya yang jauh dari kesan profesional dan elegan yang biasanya ia tampilkan. Al tidak memperdulikannya. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal—Navya. Dia harus menemukan istrinya sebelum Navya kembali menghindarinya. Ketika hendak melangkah masuk ke dalam ruangan, dua petugas yang berjaga di pintu langsung menghentikan langkahnya. “Maaf,
Al berdiri di samping mobilnya, matanya masih terpaku pada jalanan basah oleh hujan. Gemericik suara gerimis seakan menyatu dengan rasa kacau di dalam dadanya. Dia mencoba menekan nomor Navya lagi, kali ini dengan lebih frustasi, berharap kali ini ada jawaban. Panggilan itu kembali berakhir dengan suara operator yang dingin. Ponsel Navya masih mati. Al mengumpat pelan, “Navya, kamu mau sampe kapan sih ngilang kayak gini?” Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Dia merasa seperti terjebak di dalam mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Seketika, ponselnya bergetar. Dengan cepat Al meraihnya, berharap itu adalah Navya. Namun, nama di layar bukan yang dia harapkan. Al menatap nama Axel yang tertera di layar ponselnya. Tenggorokannya tercekat, pikirannya berputar, mencari-cari alasan. Karena dia tahu siapa yang akan ditanyakan putranya itu. Siapa lagi jika bukan Navya yang sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab, berusaha
Al melangkah kembali ke mobilnya, merasa semakin tenggelam dalam kebingungan dan kekhawatiran. Sementara hujan telah berhenti, dinginnya malam seolah mencerminkan kehampaan yang dirasakannya. Dia mulai bertanya-tanya, kenapa rasa cemas dan takut ini begitu menguasainya. Apakah ini karena dia sudah mulai mencintai Navya, atau sekadar rasa bersalah yang terus menghantuinya? Ketika dia menyusuri jalan menuju rumah, pikirannya dipenuhi bayangan Navya. Setiap momen yang pernah mereka lalui bersama berputar di benaknya—wajah Navya yang ceria saat selalu menyambutnya pulang, tangannya yang selalu sibuk mempersiapkan segala keperluannya tanpa keluh kesah. Al menghela napas panjang. “Apa aku bener-bener udah mulai cinta sama dia?” tanya Al dalam hati, tanpa mampu menemukan jawabannya yang pasti. Setiap kali dia memikirkan betapa hancurnya Navya saat ini, hatinya terasa semakin tertekan. Namun, dia tidak tahu apakah tekanan itu berasal dari rasa cinta, atau hanya sekadar rasa bersalah atas