Perlahan, Al melangkah mendekat, berdiri di samping tempat tidur Axel. Dia melihat Navya yang masih memeluk putranya dengan erat, seperti mencari perlindungan dari kesakitan yang dia rasakan.
Al menelan ludah, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya, tetapi wajah Navya yang penuh kelelahan dalam tidurnya membuat dadanya semakin sesak. "Navya," bisik Al pelan, meski dia tahu istrinya tidak bisa mendengarnya. Hati Al mencelos saat melihat air mata tiba-tiba mengalir di kedua belah sudut mata Navya, bahkan dalam tidurnya. Dia berlutut di samping tempat tidur, kakinya terasa lemas, seluruh darahnya berdesir dan menghantam dadanya. Ia menatap wajah perempuan yang dulu dia pikir hanya akan menjadi ibu dari anak-anaknya, wanita yang akan menjadi pusat dunianya. Namun, kini ... menyadari bahwa Navya adalah lebih dari sekadar pengasuh anak-anaknya, lebih dari apa yang pernah dia pikirkan, lebih dari dunianya. Dia adalah sosok yang telah memberikan hatinya sepenuh-penuhnya untuknya dan juga kedua anaknya, Navya adalah surga baginya. Tetapi, dia sendiri yang tidak pernah benar-benar menyadarinya. "Kenapa aku nggak pernah lihat ini sebelumnya?" gumam Al, meremas jemarinya. "Kenapa aku membiarkan dia merasa sendirian selama ini?" lirih Al, merasa sangat bersalah. Dia tatap dalam wajah Navya yang tampak lelah. Navya tiba-tiba bergerak lagi, tubuhnya menggeliat dalam pelukan Axel. Dengan suara lirih dan serak, dia kembali berbisik, "Maaf ... Axel ... maafin Mama ya, Nak." Pilu, terdengar suara Navya, semakin menyayat hati. Al merasa seakan dihantam oleh ribuan ton beban yang menghujani hatinya. Dia tahu sekarang bahwa ini bukan hanya tentang dirinya yang mengecewakan Navya. Ini tentang bagaimana dia telah mengabaikan semua cinta dan pengorbanan yang diberikan perempuan itu. Navya sudah terlalu lama terluka, dan mungkin kini dia tak punya banyak waktu lagi untuk memperbaikinya. Pantas saja perempuan berhati lembut itu tiba-tiba meminta cerai padanya. Al dengan hati-hati duduk di tepi tempat tidur, menundukkan kepala, membiarkan perasaannya tercurah dalam keheningan. Dia ingin memeluk Navya, membisikkan permintaan maaf, mengatakan bahwa dia tidak ingin pernikahan ini berakhir. "Maafkan aku, Nav. Aku, ingin kita tetap bertahan, bilang sajabaku egois, tendang aku, marah aku, aku terima. Asal jangan bercerai, Nav," bisik Al. Tetapi dia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa menghapus semua luka yang telah Navya rasakan selama ini. Saat Al berdiri lagi, matanya tertuju pada Navya yang masih terisak pelan dalam tidurnya. "Besok ...," bisik Al, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Besok aku harus ngomong sama dia. Aku harus minta maaf secara langsung dan aku akan pastikan dia tau betapa pentingnya dia buat aku dan anak-anak." Meskipun, dalam hatinya, dia tahu bahwa kata-kata saja tidak akan cukup untuk menyembuhkan hati Navya yang sudah mendapatkan banyak luka karenanya. Melihat wajah Navya yang terus terlihat gelisah, disentuhnya kening Navya yang ternyata terasa sangat panas. "Dia demam?" gumamnya cemas. Dia segera membuka laci nakas di samping tempat tidur putranya itu, mengambil termometer infrared, dan mengarahkannya ke dahi istrinya. "Hah? Tiga puluh sembilan derajat?" Al terkejut saat melihat angka yang tertera pada layar kecil termometernya. "Pantesan panas banget. Aku ambil obat sama kompresan dulu, sabar Nav, sabar." Al bergegas keluar dari dalam kamar putranya, dan berlari kecil menuruni anak tangga menuju dapur, mengambil baskom dan air untuk mengompres dahi Navya. Kemudian kembali lagi ke kamar Axel, mencari handuk kecil untuk mengompres Navya di lemari pakaian Axel. "Lepas, jangan ... Aku sudah lelah," lirih Navya yang kembali mengigau, membuat Al menatap sendu wajah istrinya itu. "Nav, aku kompres dulu ya. Kamu demam, Nav. Sudah, jangan memberontak lagi, sini biar aku kompres dulu," bujuk Al, Navya sempat membuka kedua matanya, sebelum akhirnya memejamkan kembali. Setelah memastikan kepala Navya terkompresi dengan sempurna. Dengan telaten, Al mencoba mengangkat kepala Navya, membangunkan Navya yang masih setia memejamkan matanya. "Minum obat dulu yah, Nav. Buka mulut mu, ini minumnya pakai sedotan aja, biar nggak keselek," titah Al lembut dan memasukkan satu butir obat paracetamol ke dalam mulutnya. "Ayo, minum dulu, Nav," ucap Al kembali memintanya untuk meminum air putih untuk mendorong obatnya. Navya pun menurut meskipun dalam keadaan setengah sadar dan kedua matanya yang terpejam. "Pusing," lirih Navya seperti orang mengigau, seluruh wajahnya tampak merah akibat panasnya yang tinggi. "Iya, kamu pasti pusing. Tidur yah, Nav," ucap Al lembut. Lalu dia usap Surai lembutnya Navya dengan menatap penuh kasih sayang. Hatinya menyesal, kenapa baru sekarang dia menyadari betapa dirinya sangat mencintai wanita ini. Kenapa juga, baru kali ini, dia memperhatikan pengorbanan yang sudah diberikan oleh Navya. Lihatlah, bagaimana kacaunya dirinya saat ini. Saat istrinya mengucapkan kata cerai. Bagaimana hancurnya hatinya, saat melihat Navya sakit dan tidak berdaya. Untuk pertama kalinya, sepanjang malam, Al merawat Navya dengan penuh perhatian. Dia bahkan tidak dapat tidur dan hanya terus terjaga, untuk memastikan Navya baik-baik saja. *** Keesokan paginya, Navya terbangun dengan handuk kecil setengah basah yang terlipat di atas dahinya. Dia mengernyitkan dahi sambil meraih handuk kecil itu dan mengambilnya. Menatap handuk kecil yang sudah setengah kering itu. "Kenapa aku dikompres? Emangnya aku demam, ya?" gumamnya heran. "Pasti ini ulah Axel deh. Kenapa sikapnya selalu manis kayak gini sih? Beda banget sama Papanya yang kayak boneka salju. Eh ... tapi boneka salju terlalu lucu." "Dia lebih mirip sama manekin yang terbuat dari es, lebih cocok sama muka galaknya dia," lanjutnya menggerutu, lalu menatap jam yang bertengger di dinding kamar yang didominasi warna putih itu. Kedua matanya terbuka sempurna saat melihat jarum pendek itu terarah ke angka 6, dan jarum panjangnya di angka 5. "Astagfirullah! Udah jam segini?" pekiknya kaget, langsung bergegas bangun dari tempat tidur Axel dengan tubuhnya terhuyung seraya memegang kepalanya, karena masih merasakan sakit di kepalanya. "Kenapa kepala aku pusing begini sih?" gumam Navya, sambil memegang pelipisnya dan satu tangan tampak bertumpu di tembok. Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali untuk sedikit meredakan sakit kepalanya, dia bergegas pergi ke toilet untuk membersihkan tubuhnya. Beruntung kemarin sore, sebelum dia membahas masalah perceraian dengan Al, dia sudah mengambil beberapa pakaiannya, dan meletakkannya di lemari pakaian Axel. Setelah berpakaian rapi yang menutupi auratnya, dengan hijab pasmina berwarna nude yang ia kenakan untuk menutupi kepalanya, dia segera turun ke lantai bawah, bergegas untuk mengantar Axel ke sekolah. Namun, pemandangan menyakitkan di bawah sana, berhasil membuat langkah kakinya terhenti, Navya melihat Zoya sedang memasangkan dasi di leher suaminya dengan tatapan penuh cinta.Navya berdiri di sudut jalan yang sepi, sembari menggigit bibirnya cemas. Tempat ini cukup jauh dari pengawasan CCTV, namun ia terus memeriksa sekeliling dengan gelisah, takut Al akan menemukan jejaknya. Tak lama kemudian, Sean tiba, menepi dan turun dari mobilnya. Ia mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran. “Nav, kamu baik-baik aja?” Sean mengamati Navya yang terlihat lelah dan penuh kecemasan. Navya mengangguk pelan, tetapi air mata sudah menggenang di matanya. “Sean … tolong bawa aku pergi dari sini. Aku nggak sanggup lagi tinggal di rumah itu. Mereka ... mereka makin gila. Mereka udah berani mesra-mesraan di rumah itu waktu aku lagi nganter anak-anak ke sekolah.” Sean terdiam sejenak, mencoba memahami betapa seriusnya permintaan Navya. “Kalo gitu, ayo ikut aku. Kamu tinggal di apartemen aku aja. Di sana kamu aman, dan Bang Al nggak akan tau—” “Nggak bisa, Sean.” Navya langsung menyela dengan suara tegas. “Kita nggak mungkin tinggal satu atap. Kita bukan muhrim. Lagian ... aku
Setelah meninggalkan Navya yang masih menggedor pintu kamar sambil berteriak marah, Al berjalan turun dengan langkah tegas, sorot matanya penuh amarah bercampur dengan kebingungan. Saat tiba di lantai bawah, dia menemukan Mbok Ratih berdiri dengan ekspresi khawatir. “Mbok!” teriak Al memanggil, membuat Mbok Ratih segera mendekat. “Ada apa, Den Al?” tanya Mbok Ratih hati-hati, melihat raut wajah Al yang nampak kacau dan penuh emosi. Al menarik napas dalam sebelum berbicara. “Jangan biarkan Navya keluar dari kamarnya. Pastikan pintu kamar tetap terkunci. Siapkan makan siang buat dia nanti, bawa aja ke kamarnya pas jam makan siang.” Mbok Ratih terdiam, tampak ragu. “Tapi, Den Al … apa itu nggak terlalu berlebihan? Mbak Navya terlihat sangat marah tadi, nanti dia tambah ma—” Al menatap Mbok Ratih dengan sorot tajam, seakan mengunci segala bentuk protes yang keluar. “Tolong jangan bantah perintah saya, Mbok! Saya tau apa yang terbaik buat Navya.” Tanpa menunggu tanggapan lagi, Al ber
Navya mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka dan memotretnya, membuat Al dan Zoya seketika menoleh karena mendengar suara kamera, lantas suara tepuk tangan Navya menggema di ruangan itu. "Makasih, Mas ... akhirnya aku dapetin bukti buat gugat cerai kamu di pengadilan." Al terperangah dan langsung menyingkirkan Zoya dari pangkuannya. "Navya … aku bisa jelasin. Ini nggak seperti yang kamu pikir." Navya berdecih dengan senyuman sinis yang terulas di wajahnya, meski dalam hati ia hancur melihat pemandangan itu. "Kalian berdua emang pasangan yang serasi!" katanya sambil berdiri di depan mereka dengan tatapan mencemooh. "Sama-sama nggak tau malu, cocok banget!" Zoya yang sudah berdiri dekat Al yang juga bangkit berdiri, mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. "Navya, kenapa kamu tega ngomong gitu? Kamu nggak perlu bereaksi kayak gini. Ini bukan sesuatu yang serius. Tadi ... tadi aku cuma hampir jatuh, Al nahan aku, terus aku malah jatuh ke pangkuan dia." Navya menatap Zoya
Setelah kegaduhan di depan kamar tamu berakhir, Al akhirnya kembali ke kamar utama dengan langkah berat. Ia merasa kelelahan, emosional, dan tak berdaya. Sesampainya di kamar, dia memandang bantal yang biasa digunakan Navya—tempat Navya menyandarkan kepalanya setiap malam, bantal yang kini tampak kosong dan kehilangan kehangatannya. Al menghela napas, merasakan kekosongan yang menusuk hati. Dia akhirnya berbaring dan memeluk bantal itu, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam keheningan, meskipun menyadari bahwa yang ia dekap hanyalah bayangan dari sesuatu yang kini menjauh darinya. Tanpa disadari, Al terlelap dengan rasa sesal yang mendalam. Sementara itu, di kamar tamu, Navya telah selesai mandi dan mengenakan piyama. Dia menyalakan laptopnya dan membuka berkas-berkas yang dibawanya. Sudah lama dia berpikir untuk mengambil langkah ini, tapi hanya sekarang, di tengah kehancuran hatinya, dia benar-benar merasa yakin. "Keputusan aku udah bulat, Mas. Aku udah bener-bener gak sanggup
Al menarik napas dalam dan menguatkan genggamannya di tangan Navya. Bersama Axel, mereka menaiki pelaminan, melewati para tamu untuk memberikan ucapan selamat kepada Cindy dan suaminya yang tengah berbahagia. Axel, dengan senyum lebar khas anak-anak, langsung menghampiri Cindy. “Tante Cindy, selamat, ya! Aku mau foto bareng, boleh, 'kan?” seru Axel dengan polos, membuat Cindy tertawa kecil. “Of course, ganteng!” Cindy meraih tangan Axel dan memposisikannya di depannya sambil memegang kedua belah bahunya. Cindy menatap Navya dan Al, mengangguk penuh terima kasih. “Navya, Dokter Al, makasih ya udah dateng.”Navya tersenyum lembut dan mencium kedua belah pipi Cindy. “Selamat, Cindy. Kamu cantik banget MasyaAllah ... selamat menempuh hidup baru, ya. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.” "Aamiin ya Allah, Aamiin. Makasih banget doanya ya, Nav. Doa yang sama buat kamu sama Dokter Al," balas Cindy yang hanya dibalas senyuman getir oleh Navya. Dan Al menyadari itu. Al men
Axel menarik lengan Navya dengan antusias, wajahnya terlihat tidak sabar. “Ma, Kalo nunggu Papa ganti baju kelamaan! Aku mau es krim coklatnya sekarang! Papa harus cepetan ganti bajunya biar kita bisa foto terus makan es krim. Aku udah nggak sabar, tau!” Navya menunduk, menatap Axel dengan lembut. “Iya, Nak, tolong sabar ya. Nanti habis foto, kita ambil es krim coklat buat kamu, okay?” Axel mendengus kesal dan melipat tangan di depan dada. “Papa ngapain masih bengong sih? Kenapa nggak cepetan ganti baju? Nanti es krimnya keburu habis!” Mendengar celotehan Axel, Al tersenyum geli. “Iya, iya, Papa cepet, kok. Kamu tunggu di sini, ya, sama Mama. Jangan pergi ke mana-mana.” “Papa beneran cepet, 'kan?” Axel menatap Al dengan ragu, seolah menantang ayahnya untuk menepati janji. Al mengangguk sambil tertawa kecil. “Beneran cepet. Papa cuma mau ganti baju sebentar, terus kita foto bareng sama Tante Cindy sama suaminya. Setelah itu, langsung kita ambil es krim coklat buat kamu.” Axel ter
Al tiba di lobi hotel, tempat pernikahan Cindy dilangsungkan. Dengan langkah cepat, dia berjalan masuk ke hotel setelah memberikan kunci mobilnya pada petugas valet parkir. Hujan gerimis yang menyisakan jejak basah di tubuhnya membuat penampilannya semakin berantakan. Kemejanya tampak kusut, dan rambutnya yang sedikit basah terlihat acak-acakan. Wajahnya yang kusut semakin menambah kesan buruk pada imejnya yang selama ini selalu berpenampilan rapi dan berhasil menarik perhatian para wanita. Begitu tiba di depan ballroom, Al disambut tatapan heran dari para tamu yang berada di luar ruangan. Beberapa di antaranya berbisik-bisik melihat penampilannya yang jauh dari kesan profesional dan elegan yang biasanya ia tampilkan. Al tidak memperdulikannya. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal—Navya. Dia harus menemukan istrinya sebelum Navya kembali menghindarinya. Ketika hendak melangkah masuk ke dalam ruangan, dua petugas yang berjaga di pintu langsung menghentikan langkahnya. “Maaf,
Al berdiri di samping mobilnya, matanya masih terpaku pada jalanan basah oleh hujan. Gemericik suara gerimis seakan menyatu dengan rasa kacau di dalam dadanya. Dia mencoba menekan nomor Navya lagi, kali ini dengan lebih frustasi, berharap kali ini ada jawaban. Panggilan itu kembali berakhir dengan suara operator yang dingin. Ponsel Navya masih mati. Al mengumpat pelan, “Navya, kamu mau sampe kapan sih ngilang kayak gini?” Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Dia merasa seperti terjebak di dalam mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Seketika, ponselnya bergetar. Dengan cepat Al meraihnya, berharap itu adalah Navya. Namun, nama di layar bukan yang dia harapkan. Al menatap nama Axel yang tertera di layar ponselnya. Tenggorokannya tercekat, pikirannya berputar, mencari-cari alasan. Karena dia tahu siapa yang akan ditanyakan putranya itu. Siapa lagi jika bukan Navya yang sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab, berusaha
Al melangkah kembali ke mobilnya, merasa semakin tenggelam dalam kebingungan dan kekhawatiran. Sementara hujan telah berhenti, dinginnya malam seolah mencerminkan kehampaan yang dirasakannya. Dia mulai bertanya-tanya, kenapa rasa cemas dan takut ini begitu menguasainya. Apakah ini karena dia sudah mulai mencintai Navya, atau sekadar rasa bersalah yang terus menghantuinya? Ketika dia menyusuri jalan menuju rumah, pikirannya dipenuhi bayangan Navya. Setiap momen yang pernah mereka lalui bersama berputar di benaknya—wajah Navya yang ceria saat selalu menyambutnya pulang, tangannya yang selalu sibuk mempersiapkan segala keperluannya tanpa keluh kesah. Al menghela napas panjang. “Apa aku bener-bener udah mulai cinta sama dia?” tanya Al dalam hati, tanpa mampu menemukan jawabannya yang pasti. Setiap kali dia memikirkan betapa hancurnya Navya saat ini, hatinya terasa semakin tertekan. Namun, dia tidak tahu apakah tekanan itu berasal dari rasa cinta, atau hanya sekadar rasa bersalah atas