Setelah selesai mandi, Bintang bersiap untuk turun ke bawah. Dia membuka jendela dan melihat mobil orang tuannya sudah terparkir rapi di garasi. Kedatangan Moona sebelumnya tidak membuatnya curiga, tapi kali ini dia merasakan ada sesuatu yang tak biasa.
Bintang keluar dari kamarnya dan melihat ke ruang tamu. Dia berdiri di depan tangga, langkahnya terhenti saat melihat Agatha berada di antara kedua orang tuanya. Dia menarik nafasnya dan menghempaskannya perlahan. Jantungnya kembali berdebar. "Mas, kenapa berdiri di sini?" seseorang menepuk bahunya. Bintang berteriak kaget, mengambil alih perhatian mereka yang sedang bicara di bawah. Dia menatap orang yang baru saja menyentuhnya dengan jengkel, dia adalah Moona. Adiknya itu selalu muncul secara tiba-tiba. Semua mata kini menatap ke arah mereka berdua yang masih berdiri di atas tangga. Kedua orang tuanya sedang duduk di sofa bersama sepasang orang tua yang baru saja Bintang lihat wajahnya. Bintang tidak mengenal siapa mereka. Bintang dan Moona segera turun ke bawah dan bergabung bersama mereka, Papa Bintang meminta putranya untuk duduk di samping Agatha. Kedua orang tua lainnya tersenyum ke arah Bintang, dia tidak mengenal siapa mereka. Bintang yang tidak tahu apa-apa, hanya diam menutup mulutnya. "Ada acara apa ini?" tanya Bintang penasaran. "Bintang, perkenalkan, ini Paman Jinwoo dan Bibi Shinta. Mereka berdua adalah sahabat lama papa. Dan ini putrinya, Agatha. Kalian sudah kenal kan?" jelas Mama Bintang. "Ah, dia siswi yang aku ajar hari ini kan?" kata Bintang dengan santai. "Bicara apa kamu ini, Agatha adalah calon istrimu," timpal papanya. "Calon istri?" Bintang terkejut. Bintang berdiri, dan menatap mereka semua dengan tidak yakin. Bagaimana mungkin, Bintang akan menikahi perempuan yang baru saja bertemu dengannya hari ini? Sementara dia sudah memiliki seseorang yang dia cintai. "Bintang, ayo duduk yang sopan!" Mama Bintang menarik tangan putranya. "Sebenarnya, perjodohan ini sudah kami rencanakan sejak jauh-jauh hari. Maaf, karena baru memberitahu kalian berdua," ucap pria yang disebut paman Jinwoo itu. "Maaf, paman sebelumnya. Tapi, saya sudah punya—" Bintang menghentikan ucapannya saat kakinya diinjak oleh Moona. Adiknya pasti ingin dia menutup mulut tentang Aera. "Sepertinya, Mas Bintang butuh waktu untuk berpikir." Moona menyambung. "Oh, tentu saja. Tidak perlu buru-buru. Kapan pun mereka berdua siap, kita akan atur tanggal pernikahannya." Bu Shinta tersenyum ke arah Bintang. "Bintang, kamu kan sudah mapan, sudah siap untuk menikah. Pekerjaan juga sudah ada, apa lagi yang perlu di pikirkan? Kamu hanya butuh seorang istri untuk mengurusmu di rumah," kata papanya. "Pa, bukan itu masalahnya," kata Bintang, berusaha menjelaskan dalam situasi yang sulit. "Pa, sepertinya Mas Bintang dan Agatha harus lebih banyak mengobrol agar semakin dekat lagi." Moona menatap ke arah mereka, sepertinya dia sengaja agar Bintang tidak bicara lebih jauh. "Oh, tentu. Silakan kalian mengobrol," kata Mama Bintang. Agatha tiba-tiba saja berdiri dan berjalan ke arah Bintang, dia mengulurkan tangannya dengan sopan. Namun, Bintang tak segera meraih tangannya karena ragu. Ia menolak tangan Agatha dan berjalan sendiri ke luar rumah. "Maaf Agatha, apa maksud dari semua ini? Kenapa kamu diam saja?" tanya Bintang dengan nada sedikit kesal. "Ya, terus aku harus bagaimana, Mas?" tanyanya seperti tak ada beban. "Kamu kan bisa bilang ke mereka kalau kamu tidak mau. Kamu juga terpaksa kan terima perjodohan ini?" ucap Bintang, dengan tegas. "Aku suka!" seru Agatha. "Maksud kamu?" tanya Bintang mulai frustrasi. "Aku suka perjodohan ini, bukannya lebih menantang untuk di coba. Kayaknya seru juga," kata Agatha. "Agatha, kamu pikir menikah itu buat main-main? Aku sudah punya pacar!" Bintang menurunkan nada bicaranya, khawatir akan terdengar ke dalam. "Pacar yang mana? Yang tadi?" Agatha menertawakan Bintang. "Agatha, tolong hentikan perjodohan ini," kata Bintang dengan tegas. "Kamu kan bisa hentikan sendiri, kenapa meminta padaku?" tanya Agatha. Mereka berdua terdiam sejenak, suasana tegang terasa di antara mereka. Bintang kemudian menatap Agatha dengan serius, ekspresinya menjadi lebih lembut. Agatha membalas tatapan itu dengan berani, tak ada rasa canggung dalam dirinya. "Aku bisa jadi istri yang baik buat Mas, kok." Agatha menatap Bintang penuh percaya diri. "Agatha, ini bukan tentang bisa atau tidaknya kamu menjadi istri yang baik. Ini tentang kenyataan bahwa aku sudah punya seseorang yang aku cintai," kata Bintang, terus berusaha membuatnya mengerti. Agatha menghela napas, mengangkat bahu seolah tidak peduli. "Mas Bintang, kadang cinta yang direncanakan oleh orang tua bisa lebih kuat daripada cinta yang tumbuh begitu saja." Bintang berusaha menghindari tatapannya, tapi ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Pertahanannya seketika melemah oleh kecantikan Agatha, belum lagi suaranya yang lembut itu pasti akan terdengar indah saat mendesah. Fantasi liarnya terus bermunculan setiap kali melihat Agatha, apalagi jarak mereka sekarang begitu dekat. Saat Agatha semakin mendekatinya, Bintang merasakan kehangatan nafas Agatha di wajahnya. Rasanya sulit menolak pesona yang begitu kuat, tapi dia juga harus membentengi diriku sendiri. Sama seperti dia menahan keinginan selama tiga tahun ini kepada Aera. "Agatha, hentikan," ujar Bintang dengan suara bergetar. Agatha menatap Bintang sebentar, kemudian melangkah mundur dengan senyum penuh kemenangan. Bintang memandangnya dengan tatapan marah dan bingung, seolah mengatakan, "apa yang sebenarnya dia pikirkan? Apa dia benar-benar serius dengan perjodohan ini?" "Agatha, menikah saja tidak cukup jika kita tidak saling mencintai." Bintang memutar tubuhnya menjauh. "Cinta bisa datang seiring berjalannya waktu. Ayo kita menikah minggu depan?" ucap Agatha, terdengar bercanda namun serius. "Hah? Kamu gila!" Bintang memutar kembali tubuhnya dan menatap Agatha semakin emosi. "Kenapa? Mas takut jatuh cinta sama aku, terus melupakan pacar Mas yang baik itu?" tanya Agatha, membuat Bintang semakin memanas. Bintang meninggalkan Agatha di luar dan kembali masuk ke dalam rumah. Dia masih merasakan denyutan jantungnya yang berdegup kencang akibat insiden tadi. Kenapa ada perempuan seberani Agatha? "Bintang, bagaimana perbincangan kalian di luar? tanya papanya. "Pa, atur pernikahanku secepatnya!" kata Bintang sambil memandang Agatha yang baru saja masuk ke dalam rumah. Bintang melihat senyum tipis tersungging dari bibir Agatha, wajah kedua orang tua mereka juga berseri-seri. Setelah pembicaraan selesai, Bintang kembali ke kamarnya. Dengan langkah gugup, dia duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya kacau dan bercampur menjadi satu. "Ah, aku harus bagaimana sekarang? Kenapa aku menerima perjodohan ini begitu saja? Bagaimana jika aku benar-benar menikahi Agatha? Bagaimana dengan pacarku Aera, aku tidak bisa mengatakan padanya jika aku akan menikah dengan orang lain. Dia pasti akan sangat terluka," gumam Bintang dengan perasaan serba salah. Belum lama dia memikirkan hal itu, ponselnya berdering di atas meja. Ia terkejut menerima panggilan dari Aera, sejak tadi Bintang tak membalas pesan darinya. "Mas, kamu baik-baik saja? Aku sangat menyesal soal tadi," suaranya terdengar cemas. "Tidak masalah. Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya Bintang, berusaha terdengar tenang. "Oh itu, biasalah. Nilai ujianku sepertinya kembali buruk," kata Aera dengan lemah. "Jangan khawatir, kamu pasti bisa mengatasinya. Aera, sepertinya untuk beberapa minggu ke depan kita tidak bisa bertemu dulu," ucap Bintang. "Ah, kenapa? Apa terjadi sesuatu? Aku tidak bisa! Aku pasti akan sangat merindukanmu. Tolong bawa aku juga," kata Aera merajuk. "Tidak, kali ini tidak bisa. Aku pasti akan segera menemuimu setelah pekerjaanku selesai, oke?" Bintang berusaha menenangkan Aera. "Lakukan panggilan video, aku ingin memastikan kalau Mas baik-baik saja." Bintang segera menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar, melihat wajah Aera yang saat ini sedang cemberut. "Ah, Mas Bintang, aku merindukanmu." "Aku juga merindukanmu," jawab Bintang. "Mas, kenapa kamu tidak seperti biasanya? Ada yang Mas sembunyikan?" tanya Aera curiga. "Tidak, Mas harus segera mandi. Sebentar lagi hari akan gelap," ucap Bintang, berbohong. "Kalau begitu, ayo mandi bersama." Aera menunjukkan dirinya yang akan pergi mandi, ia menyampirkan handuk di pundaknya dan berjalan memasuki kamar mandi. "Apa kamu sedang menggodaku, Aera?" Bintang segera beranjak dari tempat tidur. "Ampun, aku hanya bercanda. Tapi, apa Mas menyukai yang tadi?" Aera terlihat malu. "Kamu sudah dewasa sekarang, ya? Oh iya, sebentar lagi ulang tahunmu yang ke-23. Apa yang kamu inginkan dari Mas?" tanya Bintang. "Menikahlah denganku, Mas," jawab Aera. Bintang terkejut sampai ponsel yang berada di genggamannya terjatuh. Aera, di layar, masih menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Mas, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu terkejut?" tanya Aera. "Aku... aku baik-baik saja, Aera. Maaf, aku hanya terkejut dengan jawabanmu tadi," ucap Bintang dengan gugup. Aera tampak bingung, "Jawabanku? Aku serius, Mas. Aku ingin menikah denganmu. Aku tidak ingin kehilanganmu." Jantung Bintang berdegup kencang. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Aera. Dia ingin melepaskan diri dari perjodohannya, tetapi dia juga tidak ingin mengecewakan keluarganya. Dia juga tidak mau melibatkan Aera ke dalam masalahnya. "Aera, aku... Aku akan berbicara denganmu nanti, mengerti?" ucap Bintang dengan nada ragu. "Baiklah, Mas. Aku akan menunggumu. Jaga dirimu baik-baik selama kita berjauhan. Aku mencintaimu," kata Aera lembut sebelum memutuskan panggilan video tersebut. Bintang duduk terdiam, merenungkan segala sesuatunya. Bagaimana dia bisa menyelesaikan semua ini tanpa melukai hati orang-orang terdekatnya?"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks