Agatha selalu percaya bahwa cinta sejati akan datang pada waktunya. Namun, siapa sangka takdir mempertemukannya dengan Bintang, pria yang di jodohkan oleh kedua orang tua mereka. Perjodohan yang awalnya hanya dianggap sebagai tradisi kuno, ternyata membuka pintu hatinya yang selama ini terkunci. Meskipun Bintang awalnya menolak, Agatha tidak pernah menyerah. Dengan segala usaha, dia mencoba memenangkan hati Bintang. Namun, bayangan cinta pertama Bintang, Aera, selalu mengintai dan menjadi penghalang. Mampukah dia meraih cinta sejati Bintang? Atau dia hanya akan menjadi pengganti yang tak di harapkan?
view more"Mas pacar!" seru seorang gadis dari tepi lapangan.
Panggilan itu sudah tak asing lagi di telinga Bintang. Aera berlari dari kejauhan menuju ke arahnya, dengan penuh semangat gadis itu memberikannya sebotol air mineral dan mengelap keringat di wajahnya. Sudah hampir tiga tahun mereka berpacaran, Bintang tidak tahu kenapa dia bisa menerima cinta gadis manja ini. Setiap kali bersamanya, Bintang seperti sedang mengurus seorang bayi. Anehnya, sikap Aera yang menggemaskan dan kekanak-kanakan justru membuatnya semakin jatuh hati pada Aera. Sebenarnya, adiknya Moona tidak begitu menyukai Aera sebagai kekasihnya. Katanya, "ngapain pacaran sama bocil?". Tetapi Bintang tidak peduli, baginya Aera adalah gadis yang paling dia sayang. "Mau makan apa, aku yang traktir hari ini," ucap Aera bersemangat. "Tidak, biar aku saja. Aku punya banyak uang," kata Bintang. "Benar, Mas kan sudah selayaknya memberiku nafkah," kata Aera menyindir. "Seharusnya kamu juga memasak untukku setiap hari, dan memastikan aku makan dengan baik," kata Bintang, mencium kening Aera dan berlari meninggalkannya. Aera tersenyum malu, memperhatikan ke sekelilingnya. Dia masih duduk di tepi lapangan sambil menunggu Bintang mengganti baju. Dosen kesayangannya itu memang senang sekali bermain basket dan mencuri perhatian para gadis, untungnya Aera berhasil menjadi pemenangnya. Setelah Bintang selesai, mereka berdua berjalan bersama sambil bergandengan tangan menuju ke kantin. Setelah memesan, makanan tiba dengan cepat. "Ah, enak sekali makanannya, aku sudah lapar sejak tadi." Aera menyantap makanannya sambil menyuapi Bintang juga. "Apa rencanamu hari ini?" tanya Bintang. "Tidak ada, aku ingin berkencan dengan Mas." "Hmm, hari ini aku harus mengajar les di rumah," kata Bintang. "Siapa? Kenapa dia harus datang ke rumah, Mas? Biasanya Mas mengajar di sekolah. Apa dia perempuan?" tanya Aera, tampak khawatir. "Itu karena dia anak dari teman papaku, jadi mau tidak mau aku harus setuju. Kamu sendiri bagaimana? Sudah belajar untuk skripsi?" balas Bintang, menatap Aera. "Untuk apa belajar? Lagi pula aku tidak ingin bekerja, biar suamiku saja yang memberiku nafkah." Aera menatap Bintang. Di usianya saat ini Aera memang sudah siap untuk menikah. Tapi Bintang? Entah mengapa sampai saat ini belum memberikan pertanda akan melamar Aera. Sebagai seorang wanita, Aera juga tidak mau meminta di nikahi lebih dulu. "Mas, apa kau pernah tidur dengan perempuan?" tanya Aera secara tiba-tiba. "Uhuk..." Bintang tersedak makanannya. "Mas, kamu enggak apa-apa?" Aera segera memberikannya minum, Bintang terkejut dengan pertanyaan Aera. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, aku kan jadi malu," wajah Bintang memerah. "Pernah?" tanya Aera, semakin penasaran. "Tidaklah, kan kamu pacar pertama Mas. Memangnya semua orang yang berpacaran harus tidur bersama? Haruskah kita melakukannya juga?" tanya Bintang, menggoda Aera. "Menurut Mas bagaimana? Orang-orang bahkan bertanya, apakah pacarku normal?" tanya Aera sedikit kesal. "Ya, tentu saja Mas normal. Tapi, Mas tidak mau membuatmu merasa tidak nyaman jika terburu-buru," ungkap Bintang dengan jujur. "Ya! Apanya yang terburu-buru?" tanya Aera sedikit tegas, "kita sudah hampir tiga tahun bersama, tapi Mas tidak pernah membicarakan soal masa depan hubungan kita!" Aera menghela nafas panjang, sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Aera, apa kamu berpikir Mas tidak serius denganmu selama ini?" tanya Bintang. "Lebih tepatnya, aku merasa seperti simpanan." Aera tampak kesal. Bintang memang sudah bertahun-tahun hidup sendiri, dan sekarang berpacaran dengan gadis polos seperti Aera. Dia masih ragu untuk mengenalkan Aera pada keluarganya, ia juga takut akan mengganggu kuliah dan mimpi-mimpi Aera selama ini. "Aera!" panggil seseorang sambil melambai ke arah mereka berdua. "Oh, hai, Ky! Lo balik kapan?" Aera balik menyapanya, pria itu datang menghampiri mereka dan bergabung di meja yang sama. "Wah, Lo makin cantik ya sekarang. Apa kabar?" tanya Rocky, mengulurkan tangan. "Bisa aja Lo, kabar gue baik kok." Aera meraih tangan Rocky. "Ehem!" Bintang berdehem cukup keras, karena Rocky tidak segera melepaskan tangannya dari kekasihnya. "Siapa?" tanya Rocky, menatap Bintang. "Kenalkan, ini Mas Bintang, cowok gue!" kata Aera, menatap Bintang yang tersenyum bangga. "Hah? Serius? Lo punya pacar? Gue kira Lo enggak suka sama cowok, ha ha ha," ucapnya dengan diiringi suara tawa yang renyah sambil menepuk bahu Aera. "Ya! Tidak perlu sentuh-sentuh seperti itu!" Bintang menyingkirkan tangan Rocky dari pundak Aera. "Oh, oke!" Rocky mengangkat tangannya, "tapi kita berdua cukup dekat loh," lanjutnya. "Aera?" Bintang menatap Aera dengan tajam. Aera tersenyum, dia selalu merasa dicintai begitu besar ketika melihat raut wajah Bintang yang cemberut itu. Dengan bibir yang sedikit condong ke depan, dan kerutan di kedua alisnya, sudah jelas sekali Bintang sedang cemburu. Tidak ingin memperpanjang masalah, Aera segera menghentikan pembicaraan dan berpamitan pada Rocky untuk pergi. Bintang mengajak Aera ke rumahnya, karena Aera terus memaksa ingin ikut les bersamanya. "Aku harus memastikan siapa yang akan les denganmu. Laki-laki atau perempuan, cantik atau tidak, dan yang pasti aku harus menjagamu dari gadis yang mencoba mendekatimu seperti di kampus." Aera terlihat sangat percaya diri. "Mas juga tidak tahu siapa yang akan kita temui, ini adalah hari pertamaku mengajarnya. Sebenarnya malas, tapi karena ada kamu, Mas jadi semangat. Kamu tidak akan membuatnya kesulitan karena cemburu kan?" tanya Bintang. "Apa? Cemburu? Sudah jelas Mas yang cemburu padaku tadi, benar kan?" tanya Aera, di balas oleh anggukan oleh Bintang. Setiba di rumahnya, Bintang pergi ke dapur untuk membuatkan Aera minuman dan membawakan beberapa camilan. Rumahnya tampak sepi karena tak ada siapa pun di rumah. Adiknya Moona selalu pulang malam seperti biasa, dan orang yang akan belajar dengannya belum tiba. Bintang terus memperhatikan Aera yang asyik menonton tanpa menghiraukannya lagi, ia mulai memberanikan diri untuk bersandar di pundaknya dan mengelus tangan Aera lembut. Dia bahkan tidak pernah bersikap romantis sebelumnya. "Hm, bukankah tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk berciuman? Bahkan kita bisa melakukan lebih dari itu," kata Aera, menatap Bintang. Tanpa aba-aba, Bintang mencium bibir Aera cukup lama. Aera menjatuhkan makanan yang ada di tangannya, sepertinya dia terkejut. Dengan cepat, Bintang melepaskan ciumannya dan merasa bersalah. "Aera, apa aku lancang?" tanya Bintang. "Mas?" panggil Aera dengan lembut, sambil menyentuh ujung bibirnya. "Hem?" jawab Bintang sambil menatapnya dalam, jantungnya berdebar lebih cepat. Aera memegang kedua bahu Bintang dan mendorong tubuhnya ke sofa, Bintang menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Aera. Kali ini, dia juga dapat mendengar detak jantung Aera yang berdebar lebih cepat. "Aera?" Bintang menatapnya dalam, memastikan apakah Aera baik-baik saja. "Mas," ucap Aera semakin mendekat, Bintang bahkan bisa merasakan embusan nafasnya. "Aera, mau melakukannya sekarang?" Bintang menarik lehernya Aera, sehingga tak lagi ada jarak di antara mereka berdua. "Eum," bisik Aera di telinga Bintang, suaranya begitu lembut, membangkitkan sesuatu yang tak terlihat. Bintang kembali mencium bibir Aera lebih berani dari sebelumnya, rasanya begitu hangat, mereka mulai memainkan lidahnya. Menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri seperti dalam drama yang sedang mereka tonton. "Ah," sesekali Aera memberikan helaan nafas lembut di telinga Bintang. Melihat Aera yang tak melakukan penolakan, aktivitas Bintang terus berlanjut. Bintang semakin ingin melakukan lebih dari pada ciuman. Dia bangkit dari posisinya, dan kini berbalik mendorong Aera berada di bawah kendalinya. Bintang membuka satu persatu kancing kemejanya dan memperlihatkan tubuh kekarnya di hadapan Aera. Ia semakin berani menciumi bagian tubuh Aera yang lainnya, dan Aera pun tetap pasrah. "Ah," Aera kembali menghela nafas. Baginya itu cukup menggelitik, tetapi menyenangkan. Aera melingkarkan kedua tanganku di leher Bintang. "Mas, apa aku boleh menyentuhnya?" tanya Aera, menatap ke arah bagian bawah Bintang. Bintang menurunkan tangan Aera dari lehernya dan menyentuhkannya dengan nakal, membuat sensasi yang tak terbendung. Sepertinya Aera tidak bisa dihentikan lagi sekarang. Dia mulai menurunkan ritsleting milik Bintang dan berusaha memasukkan tangannya ke dalam, tetapi.... Tok! Tok! Tok! Mereka mendengar suara pintu rumah di ketuk dan juga suara wanita yang berdehem dari seberang. Aera dan Bintang segera merapikan pakaian mereka dan berusaha duduk dengan benar. Mereka menoleh ke arah pintu, dan melihat bayangan seseorang di luar. "Ah, Sial. Aku lupa menguncinya!" gumam Bintang pelan. Dengan nafas tertahan, Bintang berdoa agar kedua orang tuanya tidak pulang lebih awal. Namun, saat dia mempersilakan orang tersebut untuk masuk, dia berharap semoga orang itu tidak melihat apa yang sedang mereka berdua lakukan. Bintang bertanya-tanya, "siapa gadis yang baru dia lihat ini?" Namun, lamunannya terpecah saat Aera menghampiri gadis itu keluar. Apa yang akan Aera lakukan?"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments