Aku menghentikan melakukan pengejaran tersebut, bertanya ke beberapa warga jika ada yang melihat. Namun, rata-rata jawaban mereka sama, tidak melihat sama sekali seorang pria berlari dari depan rumah mereka. Padahal sangat jelas sekali pria itu berlari sangat cepat.
“Serius pak?” “Sumpah, kami tidak melihat siapapun yang melintas. Baru mas nya saja yang melintas, soalnya terang begini, tidak mungkinkan kalau tidak terlihat ada orang lewat meskipun berlari kencang,” jawabnya menjelaskan dan sangat masuk akal, tetapi, bagiku pria itu yang tidak masuk akal kemana perginya. Apa mungkin pria itu sejenis jin atau… “Terima kasih ya pak,” ucapku. “Apa gerak gerik pria itu mencurigakan, mas?” tanya salah satu dari mereka, karena berita kematian Rose sudah menyebar hingga ke seluruh kota, bahkan sudah masuk ke dalam berita. Karena aku dokter yang lumayan terkenal di kota ini. “Sepertinya, saya juga tidak tahu pasti. Pria itu tiba-tiba saja muncul di depan rumah, mencurigakan sekali bukan?” para warga mengangguk setuju. “Bagaimana kalau kita melakukan ronda saja, mas. Nanti saya akan usul pada pak RT,” saran salah satu dari mereka. “Boleh juga, terima kasih bapak-bapak. Saya harus kerumah sakit lagi,” berpamitan. Sesampainya dirumah sakit, aku langsung menemui Tomy sebagai dokter otopsi senior di sini bersama dua rekannya. Hari ini hasilnya keluar, aku benar-benar harus kuat mental untuk mendengarkan hasilnya. Tok tok tok! Mengetuk ruangan prof. Ismael, mereka berempat berkumpul di sana. Karena apa yang akan kami bahas pribadi. "Masuk." Suara prof. Ismael mempersilahkan. Segera mendorong pintu pelan, menarik nafas panjang terlebih dahulu. "Selamat malam, semuanya…," tersenyum getir, karena bagaimana aku bisa tersenyum bahagia. Istri mati secara misterius tergantung, mami kritis. "Duduk El…, gue mau langsung saja." Tomy mendorong menarik kursi mendekatkan dengan dirinya. Kenapa tidak ada basa basi sih, agar aku bisa mempersiapkan diri. Aku lihat di sana ada Selena dan Wawa menatap cemas ke arahku. "Jangan tatap gue seperti itu, Sel. Gue tidak seprihatin itu, hanya saja tidak seberuntung yang lain bisa bahagia bersama anak dan istrinya," lirih sambil menunduk, sesak tentu saja. "El…," Tomy mencekal lenganku, nafasnya yang kasar menerpa wajahku sehingga rambut yang menutupi wajah bergoyang. "Gue akan bantu lo, gue janji." Perasaan ini semakin tidak enak dengan ucapan Tomy, menatapnya risau dengan degup jantung semakin berdentum. "Bukan hanya Tomy, kita semua di sini akan bantu kamu, El." Sambung prof. Ismael mencoba memberikan semangat. "Terima kasih. Bagaimana hasilnya? Apakah ada yang menunjukkan tanda-tanda siapa pelakunya," penasaran, meskipun hasilnya mungkin akan menyesakkan dada. Tomy mulai mengeluarkan berkas-berkas yang ia bawa. Menjelaskan apa hasil otopsi, saat Tomy menjelaskan bahwa Rose juga mengalami pelec-ehan, dan pelakunya bukan hanya satu orang, aku tidak kuasa menahan tangis. Membuang harga diri sejenak di depan rekan-rekan kerjaku. Seperti ada tangan tak kasat mata merem-as dada sebelah kiri ini, sakit sekali. Tomy mengatakan jika rahim Rose mengalami kerusakan parah, dan pendarahan. Anak kami juga meninggal didalam perut, karena pelec-ehan itu membuat kontraksi hebat, bayi mencari jalan keluar namun tidak ada respon dari sang ibu. Itu sebabnya bayi terjepit di pintu keluar dan menyebabkan tidak bisa bernafas. Bayangan tubuh Rose yang buncit tergantung di plafon kembali mengganggu pikiran ini. "Kami menemukan salah sidik jari," Aku langsung mendongak dengan keadaan wajah yang sembab. Bahkan air mata masih membasahi pipi. "S–si–dik ja–ri," terbata, dan seakan ini sedikit pencerahan. Aku tidak akan menyerahkannya ke aparat, dan akan menghabisinya sendiri, dengan kedua tangan ini. Sebagaimana mereka menghabisi Rose. "Ya, Rose juga kehilangan ginjalnya," kedua mata semakin membola, kedua tangan mengepal geram. Secepat itu mereka menyakiti Rose, hanya selang beberapa menit saja sejak kami habis saling bicara melalui sambungan seluler. “Ya Allah, dosa besar apa yang telah gue lakukan, Tom. Sehingga cobaan ini begitu menyakitkan,” semakin terisak, Rose pergi dengan keadaan tidak utuh. Namun, ada harapan dengan sidik jari yang tertinggal pada jasad Rose. Malam ini aku tidak bisa memejamkan mata, terus bergerak gelisah karena terus kepikiran dengan hasil sidik jari yang sedang diselidiki tim kak Zayna dan om Tristan. Bahkan, aku juga sengaja menyewa beberapa tim penyidik dari Jakarta yang masih rekan kak Zayna dan om Tristan untuk membantu mereka dalam penyidikan ini. “Kak…,” panggil Angel kini sudah berdiri didepan pintu kamarku, ia mendekap boneka teddy bear pemberian Rose saat ulang tahunnya kemaren yang tujuh belass tahun, kedua matanya membengkak. Aku segera bangkit dan menghampirinya, harus tegar dan kuat didepan mereka. Angel masih sangat membutuhkan kami. “Tidak apa-apa, ada kakak disini. Sstt…!” mendekap Angel agar dia merasa lebih baik. Namun, Angel semakin tergugu, bahuku sudah basah oleh air matanya. “Siapa yang telah melakukan semua itu pada kak Rose, siapa kak?” lirihnya dengan suara serak, tidak dapat menjawab pertanyaan Angel. Hanya bisa semakin mengeratkan dekapan, karena aku juga benar-benar tidak tahu. Terdengar suara derap kaki menuruni anak tangga dengan cepat. “Ada apa, Cel?” Cemas, karena melihat Cello tergesa. “Seperti ada orang yang sedang mengintai rumah kita kak, ada dua orang,” jawabnya segera berlari kedepan. Aku segera mengikuti langkah Cello, tidak lupa memegang tangan Angel, tidak ingin meninggalkannya sendirian. Cello segera membuka pintu dengan lebar tanpa rasa takut. “Woy…! keluar lo, jangan beraninya dibelakang, ayo keluar!” Bentak Cello, berlari ke halaman. “Cello…,” aku ikut mengedarkan pandangan ke sekitar area rumah, mengamati dengan seksama tanpa melepaskan tangan Angel. Grosaakk! Suara seperti menjatuhkan sebuah pot bunga di dekat gerbang, Cello segera berlari tanpa rasa takut, sekelebat bayangan hitam tampak berlari keluar dari gerbang dan menjauh. Kami terus ikut mengejarnya, namun sepertinya yang kami kejar bukan orang biasanya, karena gerakannya sangat cepat. Wuusshh! “Aarrgghh…!” Cello mengerang kesakitan dan ambruk di tanah, ia terguling sambil memegangi kakinya. “Cello…, Cello…,” pekik Angel berlari semakin cepat. Aku segera membopong tubuh Cello, membawanya pulang. Mengurungkan mengejar seseorang yang bergerak sangat cepat tersebut. Dengan nafas ngos-ngosan aku membaringkan tubuh Cello diatas sofa. Darah sudah tercecer di lantai, segera aku menuju dimana kotak P3K. Senjata tajam berbentuk bintang yang biasa ninja gunakan untuk menyerang musuh. Aku mencoba mengingat siapa teman-teman yang pandai akan ilmu silat. “Kak Rose…, kakak…,” seru Angel tiba-tiba bangkit dan berlari kecil menuju depan. “Angel…, tunggu Angel,” segera mengikutinya, hingga kedepan. Bagaimana bisa aku tidak dapat melihat sosok Rose. “Itu kak Rose, kak. Kak Rose…,” panggil Angel lagi, menunjuk ke arah teras, akan tetapi aku tidak melihat siapapun di sana. Para hantu-hantu absurd itu pun tidak ada yang terlihat satupun, seperti ada yang mengurung mereka. Apa sebenarnya yang terjadi? apakah sosok Rose ingin menunjukkan sesuatu pada Angel? lalu kenapa Elkan tidak dapat melihat sosok Rose, padahal Elkan biasanya dapat melihat arwah-arwah orang lain yang sudah meninggal."Kalian?" Seruku sangat terkejut ketika melihat mereka yang memang aku berharap dengan kehadiran mereka saat ini. "Sabar, ya El." Om Deriwa memelukku dengan erat. Mengelus punggungku lembut. "Rose, om. Rose," lirihku sambil terisak, tidak sanggup lagi menahan rasa yang begitu sakit di dalam dada ini. Sudah 1 minggu, kondisi mami juga saat ini belum juga pulih. Mami koma, belum sadarkan diri. "Tidak apa-apa, ada om di sini. Kita akan bantu menumpas siapa pelakunya," om Deriwa mencoba menenangkan diri ini yang masih larut dalam kesedihan. Bagaimana tidak, Rose pergi bersama janin di dalam rahimnya yang sudah kami nantikan. Namun, pada akhirnya berakhir tragis dan mengenaskan. Anthoni dan Reza segera ikut memelukku sebentar dan menepuk punggung ini pelan. "Lo tidak sendirian, dokter. Kita ada buat lo. Hingga darah terakhir, kita akan bantu lo menangkap para biad-ab itu," ujar Anthony bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Karena dia juga pernah kehilangan keluarganya tepat di
#Bab7Sosok arwah wanita itu masuk begitu saja menembus pagar kawat yang tajam. Ia melambaikan tangannya, cahaya lampu menerangi wajahnya yang pucat dan terdapat noda darah yang sudah mengering.“Masuklah, mereka ada di dalam sana. Anak buahnya, teman-temanku juga sedang mempertaruhkan nyawanya saat ini,” lirihnya sambil menunjuk sebuah bangunan tidak terlalu besar yang terpisah dengan bangunan utama yang terbilang cukup besar. Namun terlihat begitu angker karena minimnya cahaya.Lagi dan lagi suara tembakan terdengar di depan sana.“Apa selanjutnya El, dari mana kita akan masuk.” Tanya om Tristan masih mengamati situasi, ekspresi wajahnya sangat panik. Ia resah dan gelisah akan keadaan timnya di depan sana.“Alpha B, alpha B…, segera bantu tim golden…,” lirih om Tristan meletakkan radio angin di mulutnya.Aku mengajak mereka ke arah pintu yang ditunjukkan arwah wanita itu. Namun, seperti ada yang salah, tiba-tiba saja hawa panas menerpa kami dan tidak sanggup menahannya.“Aarrgghh…,
Mobil terus melaju dengan kencang, suhu badan semakin panas karena kejadian barusan sangat memacu adrenalin. Aku merasakan perih pada bahu sebelah kiri, dan…“Sshh…, aargghh!” Mengerang karena pisau sudah menancap di sana, sejak kapan mereka melayangkan senjata tajam ini sehingga bisa menyarang di pundak.“Oh Tuhan…, Zayna, kotak P3K,” seru om Tristan, namun tidak panik. Ia sudah terbiasa akan hal seperti ini. Setelah mengurusi itu, aku segera mengunyah obat penghilang nyeri. Untung saja hanya menancap sedikit, tidak dalam.“Bagaimana, om? apa kita akan melanjutkan perjalanan ini?” cemas karena akan ada kejadian seperti ini lagi, personil yang dibawa om Tristan tidak terlalu banyak.“Tidak apa-apa, kamu yang tenang saja. Ikuti saja arahan saya dan Zayna,” om Tristan kembali terfokus memandang ke depan, sementara kak Zayna lebih banyak diam.Aku juga kini banyak diam, mengikuti aturan main om Tristan saja sebagai pimpinan saat ini, hampir 4 jam lebih kami mengendarai mobil hingga pada
Dada berdegup dengan kencang, ketika aku membuka semua pesan suara dari nomor ponsel Rose.[Elkan…, tolong aku, cepat pulang. Aku takut,][El, kamu di mana? Kenapa lama sekali, aku sudah tidak pengen martabak. Kamu pulang saja,][Cepat pulang El,....]Suara Rose dipesan itu terdengar serak dan sedikit berbisik. Terekam juga suara berisik benda berjatuhan dan suara pria yang saling bicara. Tidak jelas, hanya terdengar seperti bahasa isyarat saja, suara berdehem dan batuk. Tetapi, aku bisa menebak jika itu pria dan lebih dari satu orang.Memejamkan mata sejenak, mencoba menetralisirkan perasaan ini. Seperti sulit bernafas, sudah terbayangkan bagaimana Rose begitu takut saat itu, dari suaranya yang ia rekam dan kirimkan. Akan tetapi, tunggu sebentar…Bukankah Rose sudah meninggal, lalu siapa yang telah mengirimkan pesan ini. Aku segera mengecek pesan Rose satu persatu, dan semua pesan itu baru saja terkirim. Itu berarti saat ini ponselnya sedang aktif.Tuuutt!Panggilan tersambung, namun
Angel terus saja melangkah keluar hingga ke bibir teras rumah, ia terus menyerukan nama Rose. Padahal aku tidak melihat apapun dan siapapun di sana.“Angel…, jangan seperti ini,” menarik tangannya, ingin membawanya masuk.“Kakak…, jangan berpura-pura, kakak juga bisa melihat kak Rose di sana kan,” Angel menepis tanganku, ia mendekati ayunan. Dan aku semakin merasa frustasi sekali dengan tingkah Angel seperti ini, heran juga dengan kemampuan yang biasanya bisa melihat mereka yang tak kasat mata.“Kak Rose…, kakak, jangan pergi kak, rumah kakak di sini…,” teriak Angel berlari hingga ke halaman, aku mengedarkan pandangan yang semakin gelap. Aku membawa paksa Angel masuk ke rumah, meskipun ia berontak, namun tenagaku lebih kuat darinya.Angel tergugu memeluk kedua kakinya yang ia lipat, tatapannya tertuju pada layar pipih di depannya, namun tatapannya kosong tidak pada televisi.Aku tidak tahu harus berbuat apalagi, bahkan aku sempat keluar kembali ketika sudah membawa Angel masuk.Aku in
Aku menghentikan melakukan pengejaran tersebut, bertanya ke beberapa warga jika ada yang melihat. Namun, rata-rata jawaban mereka sama, tidak melihat sama sekali seorang pria berlari dari depan rumah mereka. Padahal sangat jelas sekali pria itu berlari sangat cepat.“Serius pak?”“Sumpah, kami tidak melihat siapapun yang melintas. Baru mas nya saja yang melintas, soalnya terang begini, tidak mungkinkan kalau tidak terlihat ada orang lewat meskipun berlari kencang,” jawabnya menjelaskan dan sangat masuk akal, tetapi, bagiku pria itu yang tidak masuk akal kemana perginya. Apa mungkin pria itu sejenis jin atau…“Terima kasih ya pak,” ucapku.“Apa gerak gerik pria itu mencurigakan, mas?” tanya salah satu dari mereka, karena berita kematian Rose sudah menyebar hingga ke seluruh kota, bahkan sudah masuk ke dalam berita. Karena aku dokter yang lumayan terkenal di kota ini.“Sepertinya, saya juga tidak tahu pasti. Pria itu tiba-tiba saja muncul di depan rumah, mencurigakan sekali bukan?” para