Mohon dukungannya. Jangan lupa follow dan like🙏🏻💛 Tania Azahira dituduh menjadi tersangka atas kematian mengenaskan pada sahabatnya. Membuat dia dipertemukan dengan Joshi Pratama, seorang polisi arogan dan ambisius, yang melakukan segala cara demi naik jabatan. Termasuk memaksa Tania untuk mengakui tuduhan pembunuhan tersebut. Selain berusaha menghindar dari cengkeraman Joshi, Tania juga berusaha menghindar dari hantu sahabatnya yang selalu datang meneror menginginkan kematiannya. Arwah sahabatnya seakan-akan punya dendam yang membara pada Tania. Padahal semasa hidup, hubungan persahabatan mereka selalu akrab sampai ajal menjemput. Namun, kematian sang sahabat malah menjadi teror yang mencekam bagi Tania. Dia harus berusaha menyelamatkan nyawanya dari cengkeraman sang sahabat, sekaligus berusaha menyelamatkan dirinya dari polisi ambisius, Joshi. "Kamu yakin minta tolong sama saya? Saya ini polisi, sedangkan kamu seorang kriminal!"
View MoreHujan baru saja reda setelah mengguyur semalaman dengan ditemani kilatan petir, serta embusan angin kencang. Aku membuka jendela kamar dan langsung disambut oleh angin. Walaupun hujan sudah reda, tetapi angin kencang masih berlalu-lalang. Alisku bertaut kala mencium aroma darah yang dihantarkan oleh angin itu. Namun, segera kutepis. Mungkin hanya bau besi tua.
"Huwaaa … Mamah!"Alisku kembali mengernyit kala mendengar tangisan kencang Alisa—anak sahabatku. Kebetulan rumah kami bersebelahan. Jendela kamarku tepat mengahadap dapur mereka."Alisa? Sayang, kamu kenapa?"Aku mencoba memanggil nama anak itu. Namun, dia tidak menjawab dan terus menangis kencang sambil memanggil-manggil nama ibunya. Anak itu baru berusia 3 tahun, tetapi dia sangat dekat denganku."Alina, dengar enggak, sih, kalau anakmu itu nangis? Diamin, kek!" teriakku kepada Alina, sahabatku sekaligus ibu dari balita yang menangis itu."Mamah … huwaaa … Bangun, Mah!" Lagi, Alisa menangis kencang.Aku makin kesal oleh Alina. Bisa-bisanya dia anaknya menangis, tetapi tidak dipedulikan. Dia pasti sibuk lagi berjoget ria di depan kamera."Tunggu, yah, Lis. Kakak ke sana. Biar aku tumbuk mamahmu itu!" kesalku.Aku langsung memakai jilbab kuning dan bergegas keluar kamar. Di pembelokan antara ruang keluarga dan ruang tamu, aku malah bertabrakan dengan Mamah. Membuat tubuh ini mundur beberapa langkah."Mau ke mana pagi-pagi buta begini?" tanya Mamah."Mau ke rumah Alina, Mah. Anaknya nangis mulu," jawabku."Mau ngapain? Kan ada mamahnya. Enggak baik anak perawan bertamu ke rumah orang pagi-pagi begini," ujar Mamah. Dia menatapku kesal."Iya, Mamah tau, kamu sama Alina itu sahabatan sejak kecil. Tapi, kamu harus tau juga kalau sekarang sahabatmu itu sudah berumah tangga. Jangan terlalu ikut campur dengan privasinya," lanjutnya menasehati.Aku tertunduk. Walaupun Alina 2 tahun lebih muda dariku, tetapi dia lebih cepat mendapatkan jodoh ketimbang aku yang sudah berumur 23 tahun ini."Tapi anaknya nangis mulu, Mah. Kasian. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa." Aku memelas."Ya udah, kamu boleh pergi ke sana. Tapi, jangan sampai masuk ke rumahnya. Mamah enggak suka liat tatapan Fadli ke kamu," peringat Mamah terlihat sedikit sinis. Lantas, berlalu ke dapur.Fadli adalah suami Alina. Dia terkenal sebagai pria yang ramah, sopan, juga alim. Entah kenapa Mamah tidak pernah suka dengan pria itu.Aku mengetuk pintu rumah Alina yang berwarna putih itu. Namun, sampai buku-buku jariku memerah, tidak sekali pun ada seseorang berniat membukakan pintu.Hatiku makin merasa cemas. Terlebih lagi tangisan Alisa yang belum mereda. Dia sekarang terdengar sesenggukan."Alina …!"Aku berseru keras agar orang di dalam mendengar. Namun, rumah dengan luas sekitar 8×8 itu, tidak ada tanda-tanda manusia yang berniat datang menjawab panggilanku.Aku memutari rumah Alina. Menuju ke arah dapur, di mana tangisan Alisa yang terus terdengar."Alina!" Aku kembali memanggil namanya. "Alisa!" sambungku sembari membingkai wajah sendiri, lalu menempelkannya ke jendela naco yang tertutup.Mataku membulat sempurna disertai dengan jantung yang berpacu kencang. Pasalnya, samar-samar aku melihat di dalam kaki seseorang terbaring dan penuh bercak darah. Kalau di lihat dari mulusnya kaki, itu seperti Alina.Astaga, dia kenapa? Pantas saja dia tidak menjawab panggilanku.Aku langsung mengetuk cepat pintunya. Ketakutan mulai melandaku."Alina! Kamu kenapa?" teriakku dari luar. Namun, tidak ada jawaban.Aku mencoba mendobrak pintu yang terbuat dari papan tipis ini. Terbuka!Aku terhenyak di ambang pintu dengan mata memelotot. Jantung seakan berhenti berdetak. Lututku lemas melihat kejadian di depan mata."A-Alina …." Bibirku bergetar dengan mata yang mulai mengembun.Di depan sana, tubuh Alina tergeletak bersimbah darah di lantai keramik. Keningnya terdapat luka bacok yang sangat besar, serta badannya terdapat luka sayatan yang menganga."Mamah …!"Tangisan Alisa menyadarkanku dari keterpakuan. Dengan langkah gontai serta jantung yang berdegup kencang, aku mendekati anak itu. Membawanya ke gendonganku."Tantan, Mamah …."Balita berumur 3 tahun itu, menunjuk-nunjuk sang ibu dengan tangannya yang dipenuhi darah. Sepertinya Alisa sudah sedari tadi mencoba membangunkan ibunya, atau mungkin dari semalam.Aku tidak tahu. Kapan hal ini terjadi? Siapa yang melakukannya?Dengan tangan yang bergetar dan menggigil ketakutan, aku mencoba menutup mata Alina yang memelotot sambil mengucap kalimat istirja. Air mata meluncur begitu saja melihat betapa mengenaskannya kondisi jasad Alina.Lantas, aku segera berlari keluar dengan kencang sambil menggendong Alisa yang masih terus menangis."Tolong, tolong, toloong …!" teriakku meminta pertolongan.Perumahan di sini terbilang berjauhan dengan tetangga lainnya. Rumah Alina saja hanya bertetangga denganku dan rumah Mbah Aji, orang tua yang agak pikun. Selebihnya, jarak antara rumah lainnya sekitar 20 meter."Ada apa kamu teriak-teriak, Tania?" Mamah segera keluar dari rumah. Matanya membulat kala melihat Alisa yang berlumuran darah. "Astaga … Alisa kenapa?""Ada apa, Tania?""Kenapa kamu teriak?""Ada apa dengan Alisa?""Astaga, ini darah? Alisa kenapa?"Para warga lainnya ikut berdatangan dan langsung menyerbuku dengan pertanyaan, sedangkan aku untuk bernapas saja rasanya sulit ketika membayangkan bagaimana mengenaskannya jasad Alina."Ada apa, Tania?" tanya Mamah sedikit membentak, "apa yang terjadi dengan Alisa?""Mah, A-Alina, Mah …." Aku tidak sanggup menyelesaikan kalimat, langsung menangis pilu. Tanganku gemetar menunjuk rumah Alina.Para warga langsung saja pergi memeriksa ke dalam rumah Alina."Astaghfirullah ….""Astaghfirullah ….""Astaghfirullah … siapa yang melakukan ini?"Para warga sontak beristighfar dan saling bertanya-tanya. Salah satu dari mereka berinisiatif menelepon kepolisian."Siapa, yah, kira-kira pelakunya?" tanya Bu Astuti, ratu ghibah di kampung ini."Mana saya tau, Bu. Semalam, 'kan, hujan deras banget. Jadi, saya enggak keluar setelah maghrib," timpal yang lainnya.Aku masih terus menggendong Alisa sembari berusaha mendiamkan tangisnya, juga tangisku. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan Alisa.Mamah mendekat kepadaku. "Sana, kamu mandiin dulu Alisa. Kasian, tubuhnya bercampur dengan darah," ujar Mamah yang langsung kutanggapi dengan anggukan pelan.Baru saja aku melangkah menuju rumah, suara deru motor yang sangat bising datang. Pria yang mengendarai motor itu berhenti tepat di hadapanku. Ekspresi bingung terpatri di wajah pria berkulit hitam manis itu. Di motornya, terlihat sang pria membawa alat memancing dan beberapa ekor ikan yang ditaruh di dalam keranjang kecil."Alisa kenapa sama kamu? Kalian semua kenapa ada di depan rumahku?" tanya Fadli dengan alis mengernyit.Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments