Share

Bab 4. Pemilik Sidik Jari

Penulis: Angga Pratama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 18:54:45

Angel terus saja melangkah keluar hingga ke bibir teras rumah, ia terus menyerukan nama Rose. Padahal aku tidak melihat apapun dan siapapun di sana.

“Angel…, jangan seperti ini,” menarik tangannya, ingin membawanya masuk.

“Kakak…, jangan berpura-pura, kakak juga bisa melihat kak Rose di sana kan,” Angel menepis tanganku, ia mendekati ayunan. Dan aku semakin merasa frustasi sekali dengan tingkah Angel seperti ini, heran juga dengan kemampuan yang biasanya bisa melihat mereka yang tak kasat mata.

“Kak Rose…, kakak, jangan pergi kak, rumah kakak di sini…,” teriak Angel berlari hingga ke halaman, aku mengedarkan pandangan yang semakin gelap. Aku membawa paksa Angel masuk ke rumah, meskipun ia berontak, namun tenagaku lebih kuat darinya.

Angel tergugu memeluk kedua kakinya yang ia lipat, tatapannya tertuju pada layar pipih di depannya, namun tatapannya kosong tidak pada televisi.

Aku tidak tahu harus berbuat apalagi, bahkan aku sempat keluar kembali ketika sudah membawa Angel masuk.

Aku ingin memastikan jika aku benar-benar tidak dapat melihat apapun di sana, bahkan aku tidak melihat satupun para hantu-hantu absurd di sana yang biasanya iseng.

Malam ini kami tidur di ruang keluarga, larut dalam pikirannya masing-masing, dengan mendekap tubuh Angel yang berguncang tergugu, entah sampai pukul berapa ia terus  menangis.

Ingin menumpahkan segalanya juga, namun aku tidak ingin kedua adikku justru merasa semakin tersakiti jika melihat aku rapuh. Berusaha terus tegar meskipun merasa dunia ini seolah telah berhenti berputar.

***

Pagi sekali aku harus mengantarkan Cello dan Angel pergi ke sekolah, meskipun kami masih berduka, tetap saja pendidikan mereka juga penting. Apalagi saat ini mereka berdua sudah di tahap akhir di sekolah menengah atas.

“Jangan keluar area sekolah atau pulang duluan sebelum kakak yang menjemput, atau Lontar,” berpesan pada kedua adik yang sebenarnya enggan ke sekolah, terpaksa.

“Angel mau kerumah sakit saja bersama mami dan papi,” ucapnya menunduk, kedua matanya bengkak karena semalaman terus menangis.

“Menurut dengan kakak, kalian harus lulus. Tidak penting dengan nilainya, setidaknya kalian memiliki ijazah SMA,” menjawab keraguan Angel akan dirinya yang mungkin sedang tidak bisa konsentrasi untuk menjawab soal-soal ujian nantinya.

Cello lebih banyak diam, setelah mencium tanganku, ia langsung melangkah pelan menuju kelasnya. Kakinya masih sakit.

“Pastikan Cello tidak berkelahi lagi, kakak percaya dengan kamu,” mencium kening Angel yang tertutupi rambutnya.

“Masuklah, nanti kakak akan sempatkan jemput,”

Sampai punggung Angel dan Cello tidak lagi terlihat, aku baru beranjak dari sana dan melajukan mobil menuju kantor kak Zayna. Tidak sabar mengetahui siapa sebenarnya pelaku yang telah berani bermain-main denganku.

***

Sesampainya di kantor kak Zayna, betapa terkejutnya aku, karena disana terdapat beberapa mobil ambulance. Tampak ada bangunan yang hancur rata dengan tanah, puing-puing bekas lalapan si jago masih terlihat, kepulan asap tipis jelas masih terlihat. 3 Mobil damkar masih belum beranjak dari sana, para petugas masih mengarahkan selang ke arah bangunan yang masih ada kobaran api.

“Astaghfirullahal’adzim…,” segera berlari memasuki kantor kak Zayna yang berada di seberang dengan bangunan yang terbakar tersebut. Suasana terlihat kacau, masih sepagi ini.

Tergesa mencari-cari keberadaan kak Zayna dan om Tristan, bau bakar sangat mengganggu indera penciuman, dan kepulan asap yang terbawa angin juga membuat indera penglihatan menjadi pedas.

Tok tok tok!

Mengetuk pintu ruangan, lama sekali pintu tidak terbuka. Sementara sudah harap-harap cemas akan keadaan kak Zayna saat ini.

“Oohh…, Elkan. Syukurlah kamu datang. Duduklah…,” ujar kak Zayna ketika baru saja membuka pintu, wajahnya tampak gelisah dan panik.

“Apa yang terjadi kak, konslet listrik atau bagaimana?” penasaran, mengikuti langkah kak Zayna.

“Bom bunuh diri, seorang pria tua dengan alasan menemani kerabatnya dan menumpang istirahat di teras,” jawab kak Zayna dengan pandangan tetap terfokus pada layar laptopnya.

“Hah! B–bom b–bu–nuh di–ri…,” terbata, entah kenapa sekilas bayangan Rose tergantung di plafon mengganggu pikiran lagi. Apapun yang terjadi selalu dikaitkan dengan kepergian Rose yang tragis dan misterius.

Sejak kejadian Ika hilang, dan kembali dengan jasad yang sudah tidak utuh lagi, keluargaku selalu saja mengalami hal yang aneh dan itu sangat mengganggu.

“Kamu mengenal pria ini?” kak Zayna mengarahkan layar laptopnya ke arahku, menarik nafas panjang. Mengamati dengan cermat, mencoba mengenali potret wajah yang tertera di layar laptop.

Pria bertato dengan angka 0-0-0 di wajahnya lalu banyaknya anting yang terpasang pada wajahnya. Hampir sekujur tubuhnya juga dipenuhi dengan tato bergambarkan organ-organ tubuh seperti ginjal, jantung kedua bola mata di lehernya.

Seketika ada yang menarik perhatianku, benda yang ia gigit. Benda tersebut sama persis seperti yang melukai Cello malam tadi.

“Kak…,” aku meletakkan benda yang mirip dengan difoto di atas meja dengan perasaan yang tidak karuan, apakah orang yang melukai Cello orang yang sama dengan yang ada di dalam foto tersebut.

“Apa ini El, dari mana kamu mendapatkan ini?” kak Zayna membeliakkan kedua matanya terkejut. Tangannya meraih benda tersebut lalu membawanya pada salah satu rekannya yang ada di sana.

“Periksa,”

“Darimana kamu mendapatkan benda itu. Lihat ini,” tunjuk kak Zayna pada foto di laptop itu, aku hanya mengangguk.

“Malam tadi ada yang mengintai kami, dan seseorang itu bergerak sangat cepat sekali. Mustahil jika itu manusia biasa, atau seseorang itu memiliki keahlian seperti seorang ninja…,” jelasku dengan dada bergemuruh, jantung tidak bisa diajak kompromi, berdegup dengan kencang.

“Tim kakak telah melacak pria yang ada di dalam foto tersebut, pria itu pemilik sidik jari pada jasad Rose. Pria ini terlibat dalam sindikat penjualan organ tubuh manusia, dan kota ini akan menjadi target mereka kali ini,” penjelasan kak Zayna membuatku semakin ingin menghabisi pria itu dengan tangan ini sendiri.

“Kak…,”

“Mmnn…,”

“Boleh aku menanganinya sendiri? Bisa jadi komplotan pria ini juga yang telah menculik Ika, kakak ingat,” meminta, karena seperti tidak akan merasa puas jika nyawa tidak dibayar dengan nyawa.

“Elkan…, kenapa kamu bersikap seperti orang tidak berpendidikan dan tidak tahu hukum. Jika kamu sudah menyerahkan semua ini pada kakak dan tim, percayakan.” ucapan kak Zayna justru semakin membuatku kuat ingin menghabisi pelaku dengan kedua tangan ini sendiri.

Mengeluarkan ponsel dan segera memotret foto pria yang ada di laptop kak Zayna, ia ingin menepis, namun urung, karena aku menatapnya dengan tajam. Entah seperti apa tatapan ini sehingga kak Zayna menghela nafas panjang dan melepaskan tangannya dari lenganku.

“Terima kasih, kak…,”

Meninggalkan kak Zayna, dan menuju ke rumah sakit. Ingin melihat kondisi mami dan papi saat ini. Ponselku terus bergetar, namun aku abai karena masih menyetir.

[Elkan…, tolong aku, sakit El…,]

Dada ini terasa sangat sesak sekali, ketika pesan yang masuk ternyata voice note dari Rose, nomor ponsel Rose.

Apalagi sebenarnya yang terjadi, bukankah Rose sudah tewas tergantung di plafon, lalu siapa yang telah mengirimkan pesan tersebut dan siapa yang membawa ponsel Rose.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 8

    "Kalian?" Seruku sangat terkejut ketika melihat mereka yang memang aku berharap dengan kehadiran mereka saat ini. "Sabar, ya El." Om Deriwa memelukku dengan erat. Mengelus punggungku lembut. "Rose, om. Rose," lirihku sambil terisak, tidak sanggup lagi menahan rasa yang begitu sakit di dalam dada ini. Sudah 1 minggu, kondisi mami juga saat ini belum juga pulih. Mami koma, belum sadarkan diri. "Tidak apa-apa, ada om di sini. Kita akan bantu menumpas siapa pelakunya," om Deriwa mencoba menenangkan diri ini yang masih larut dalam kesedihan. Bagaimana tidak, Rose pergi bersama janin di dalam rahimnya yang sudah kami nantikan. Namun, pada akhirnya berakhir tragis dan mengenaskan. Anthoni dan Reza segera ikut memelukku sebentar dan menepuk punggung ini pelan. "Lo tidak sendirian, dokter. Kita ada buat lo. Hingga darah terakhir, kita akan bantu lo menangkap para biad-ab itu," ujar Anthony bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Karena dia juga pernah kehilangan keluarganya tepat di

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 7

    #Bab7Sosok arwah wanita itu masuk begitu saja menembus pagar kawat yang tajam. Ia melambaikan tangannya, cahaya lampu menerangi wajahnya yang pucat dan terdapat noda darah yang sudah mengering.“Masuklah, mereka ada di dalam sana. Anak buahnya, teman-temanku juga sedang mempertaruhkan nyawanya saat ini,” lirihnya sambil menunjuk sebuah bangunan tidak terlalu besar yang terpisah dengan bangunan utama yang terbilang cukup besar. Namun terlihat begitu angker karena minimnya cahaya.Lagi dan lagi suara tembakan terdengar di depan sana.“Apa selanjutnya El, dari mana kita akan masuk.” Tanya om Tristan masih mengamati situasi, ekspresi wajahnya sangat panik. Ia resah dan gelisah akan keadaan timnya di depan sana.“Alpha B, alpha B…, segera bantu tim golden…,” lirih om Tristan meletakkan radio angin di mulutnya.Aku mengajak mereka ke arah pintu yang ditunjukkan arwah wanita itu. Namun, seperti ada yang salah, tiba-tiba saja hawa panas menerpa kami dan tidak sanggup menahannya.“Aarrgghh…,

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 6. Arwah Korban Menunjukkan Jalan

    Mobil terus melaju dengan kencang, suhu badan semakin panas karena kejadian barusan sangat memacu adrenalin. Aku merasakan perih pada bahu sebelah kiri, dan…“Sshh…, aargghh!” Mengerang karena pisau sudah menancap di sana, sejak kapan mereka melayangkan senjata tajam ini sehingga bisa menyarang di pundak.“Oh Tuhan…, Zayna, kotak P3K,” seru om Tristan, namun tidak panik. Ia sudah terbiasa akan hal seperti ini. Setelah mengurusi itu, aku segera mengunyah obat penghilang nyeri. Untung saja hanya menancap sedikit, tidak dalam.“Bagaimana, om? apa kita akan melanjutkan perjalanan ini?” cemas karena akan ada kejadian seperti ini lagi, personil yang dibawa om Tristan tidak terlalu banyak.“Tidak apa-apa, kamu yang tenang saja. Ikuti saja arahan saya dan Zayna,” om Tristan kembali terfokus memandang ke depan, sementara kak Zayna lebih banyak diam.Aku juga kini banyak diam, mengikuti aturan main om Tristan saja sebagai pimpinan saat ini, hampir 4 jam lebih kami mengendarai mobil hingga pada

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 5. Tyson Barack

    Dada berdegup dengan kencang, ketika aku membuka semua pesan suara dari nomor ponsel Rose.[Elkan…, tolong aku, cepat pulang. Aku takut,][El, kamu di mana? Kenapa lama sekali, aku sudah tidak pengen martabak. Kamu pulang saja,][Cepat pulang El,....]Suara Rose dipesan itu terdengar serak dan sedikit berbisik. Terekam juga suara berisik benda berjatuhan dan suara pria yang saling bicara. Tidak jelas, hanya terdengar seperti bahasa isyarat saja, suara berdehem dan batuk. Tetapi, aku bisa menebak jika itu pria dan lebih dari satu orang.Memejamkan mata sejenak, mencoba menetralisirkan perasaan ini. Seperti sulit bernafas, sudah terbayangkan bagaimana Rose begitu takut saat itu, dari suaranya yang ia rekam dan kirimkan. Akan tetapi, tunggu sebentar…Bukankah Rose sudah meninggal, lalu siapa yang telah mengirimkan pesan ini. Aku segera mengecek pesan Rose satu persatu, dan semua pesan itu baru saja terkirim. Itu berarti saat ini ponselnya sedang aktif.Tuuutt!Panggilan tersambung, namun

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 4. Pemilik Sidik Jari

    Angel terus saja melangkah keluar hingga ke bibir teras rumah, ia terus menyerukan nama Rose. Padahal aku tidak melihat apapun dan siapapun di sana.“Angel…, jangan seperti ini,” menarik tangannya, ingin membawanya masuk.“Kakak…, jangan berpura-pura, kakak juga bisa melihat kak Rose di sana kan,” Angel menepis tanganku, ia mendekati ayunan. Dan aku semakin merasa frustasi sekali dengan tingkah Angel seperti ini, heran juga dengan kemampuan yang biasanya bisa melihat mereka yang tak kasat mata.“Kak Rose…, kakak, jangan pergi kak, rumah kakak di sini…,” teriak Angel berlari hingga ke halaman, aku mengedarkan pandangan yang semakin gelap. Aku membawa paksa Angel masuk ke rumah, meskipun ia berontak, namun tenagaku lebih kuat darinya.Angel tergugu memeluk kedua kakinya yang ia lipat, tatapannya tertuju pada layar pipih di depannya, namun tatapannya kosong tidak pada televisi.Aku tidak tahu harus berbuat apalagi, bahkan aku sempat keluar kembali ketika sudah membawa Angel masuk.Aku in

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 3. Semakin Aneh

    Aku menghentikan melakukan pengejaran tersebut, bertanya ke beberapa warga jika ada yang melihat. Namun, rata-rata jawaban mereka sama, tidak melihat sama sekali seorang pria berlari dari depan rumah mereka. Padahal sangat jelas sekali pria itu berlari sangat cepat.“Serius pak?”“Sumpah, kami tidak melihat siapapun yang melintas. Baru mas nya saja yang melintas, soalnya terang begini, tidak mungkinkan kalau tidak terlihat ada orang lewat meskipun berlari kencang,” jawabnya menjelaskan dan sangat masuk akal, tetapi, bagiku pria itu yang tidak masuk akal kemana perginya. Apa mungkin pria itu sejenis jin atau…“Terima kasih ya pak,” ucapku.“Apa gerak gerik pria itu mencurigakan, mas?” tanya salah satu dari mereka, karena berita kematian Rose sudah menyebar hingga ke seluruh kota, bahkan sudah masuk ke dalam berita. Karena aku dokter yang lumayan terkenal di kota ini.“Sepertinya, saya juga tidak tahu pasti. Pria itu tiba-tiba saja muncul di depan rumah, mencurigakan sekali bukan?” para

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status