LOGINAngel terus saja melangkah keluar hingga ke bibir teras rumah, ia terus menyerukan nama Rose. Padahal aku tidak melihat apapun dan siapapun di sana.
“Angel…, jangan seperti ini,” menarik tangannya, ingin membawanya masuk. “Kakak…, jangan berpura-pura, kakak juga bisa melihat kak Rose di sana kan,” Angel menepis tanganku, ia mendekati ayunan. Dan aku semakin merasa frustasi sekali dengan tingkah Angel seperti ini, heran juga dengan kemampuan yang biasanya bisa melihat mereka yang tak kasat mata. “Kak Rose…, kakak, jangan pergi kak, rumah kakak di sini…,” teriak Angel berlari hingga ke halaman, aku mengedarkan pandangan yang semakin gelap. Aku membawa paksa Angel masuk ke rumah, meskipun ia berontak, namun tenagaku lebih kuat darinya. Angel tergugu memeluk kedua kakinya yang ia lipat, tatapannya tertuju pada layar pipih di depannya, namun tatapannya kosong tidak pada televisi. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi, bahkan aku sempat keluar kembali ketika sudah membawa Angel masuk. Aku ingin memastikan jika aku benar-benar tidak dapat melihat apapun di sana, bahkan aku tidak melihat satupun para hantu-hantu absurd di sana yang biasanya iseng. Malam ini kami tidur di ruang keluarga, larut dalam pikirannya masing-masing, dengan mendekap tubuh Angel yang berguncang tergugu, entah sampai pukul berapa ia terus menangis. Ingin menumpahkan segalanya juga, namun aku tidak ingin kedua adikku justru merasa semakin tersakiti jika melihat aku rapuh. Berusaha terus tegar meskipun merasa dunia ini seolah telah berhenti berputar. *** Pagi sekali aku harus mengantarkan Cello dan Angel pergi ke sekolah, meskipun kami masih berduka, tetap saja pendidikan mereka juga penting. Apalagi saat ini mereka berdua sudah di tahap akhir di sekolah menengah atas. “Jangan keluar area sekolah atau pulang duluan sebelum kakak yang menjemput, atau Lontar,” berpesan pada kedua adik yang sebenarnya enggan ke sekolah, terpaksa. “Angel mau kerumah sakit saja bersama mami dan papi,” ucapnya menunduk, kedua matanya bengkak karena semalaman terus menangis. “Menurut dengan kakak, kalian harus lulus. Tidak penting dengan nilainya, setidaknya kalian memiliki ijazah SMA,” menjawab keraguan Angel akan dirinya yang mungkin sedang tidak bisa konsentrasi untuk menjawab soal-soal ujian nantinya. Cello lebih banyak diam, setelah mencium tanganku, ia langsung melangkah pelan menuju kelasnya. Kakinya masih sakit. “Pastikan Cello tidak berkelahi lagi, kakak percaya dengan kamu,” mencium kening Angel yang tertutupi rambutnya. “Masuklah, nanti kakak akan sempatkan jemput,” Sampai punggung Angel dan Cello tidak lagi terlihat, aku baru beranjak dari sana dan melajukan mobil menuju kantor kak Zayna. Tidak sabar mengetahui siapa sebenarnya pelaku yang telah berani bermain-main denganku. *** Sesampainya di kantor kak Zayna, betapa terkejutnya aku, karena disana terdapat beberapa mobil ambulance. Tampak ada bangunan yang hancur rata dengan tanah, puing-puing bekas lalapan si jago masih terlihat, kepulan asap tipis jelas masih terlihat. 3 Mobil damkar masih belum beranjak dari sana, para petugas masih mengarahkan selang ke arah bangunan yang masih ada kobaran api. “Astaghfirullahal’adzim…,” segera berlari memasuki kantor kak Zayna yang berada di seberang dengan bangunan yang terbakar tersebut. Suasana terlihat kacau, masih sepagi ini. Tergesa mencari-cari keberadaan kak Zayna dan om Tristan, bau bakar sangat mengganggu indera penciuman, dan kepulan asap yang terbawa angin juga membuat indera penglihatan menjadi pedas. Tok tok tok! Mengetuk pintu ruangan, lama sekali pintu tidak terbuka. Sementara sudah harap-harap cemas akan keadaan kak Zayna saat ini. “Oohh…, Elkan. Syukurlah kamu datang. Duduklah…,” ujar kak Zayna ketika baru saja membuka pintu, wajahnya tampak gelisah dan panik. “Apa yang terjadi kak, konslet listrik atau bagaimana?” penasaran, mengikuti langkah kak Zayna. “Bom bunuh diri, seorang pria tua dengan alasan menemani kerabatnya dan menumpang istirahat di teras,” jawab kak Zayna dengan pandangan tetap terfokus pada layar laptopnya. “Hah! B–bom b–bu–nuh di–ri…,” terbata, entah kenapa sekilas bayangan Rose tergantung di plafon mengganggu pikiran lagi. Apapun yang terjadi selalu dikaitkan dengan kepergian Rose yang tragis dan misterius. Sejak kejadian Ika hilang, dan kembali dengan jasad yang sudah tidak utuh lagi, keluargaku selalu saja mengalami hal yang aneh dan itu sangat mengganggu. “Kamu mengenal pria ini?” kak Zayna mengarahkan layar laptopnya ke arahku, menarik nafas panjang. Mengamati dengan cermat, mencoba mengenali potret wajah yang tertera di layar laptop. Pria bertato dengan angka 0-0-0 di wajahnya lalu banyaknya anting yang terpasang pada wajahnya. Hampir sekujur tubuhnya juga dipenuhi dengan tato bergambarkan organ-organ tubuh seperti ginjal, jantung kedua bola mata di lehernya. Seketika ada yang menarik perhatianku, benda yang ia gigit. Benda tersebut sama persis seperti yang melukai Cello malam tadi. “Kak…,” aku meletakkan benda yang mirip dengan difoto di atas meja dengan perasaan yang tidak karuan, apakah orang yang melukai Cello orang yang sama dengan yang ada di dalam foto tersebut. “Apa ini El, dari mana kamu mendapatkan ini?” kak Zayna membeliakkan kedua matanya terkejut. Tangannya meraih benda tersebut lalu membawanya pada salah satu rekannya yang ada di sana. “Periksa,” “Darimana kamu mendapatkan benda itu. Lihat ini,” tunjuk kak Zayna pada foto di laptop itu, aku hanya mengangguk. “Malam tadi ada yang mengintai kami, dan seseorang itu bergerak sangat cepat sekali. Mustahil jika itu manusia biasa, atau seseorang itu memiliki keahlian seperti seorang ninja…,” jelasku dengan dada bergemuruh, jantung tidak bisa diajak kompromi, berdegup dengan kencang. “Tim kakak telah melacak pria yang ada di dalam foto tersebut, pria itu pemilik sidik jari pada jasad Rose. Pria ini terlibat dalam sindikat penjualan organ tubuh manusia, dan kota ini akan menjadi target mereka kali ini,” penjelasan kak Zayna membuatku semakin ingin menghabisi pria itu dengan tangan ini sendiri. “Kak…,” “Mmnn…,” “Boleh aku menanganinya sendiri? Bisa jadi komplotan pria ini juga yang telah menculik Ika, kakak ingat,” meminta, karena seperti tidak akan merasa puas jika nyawa tidak dibayar dengan nyawa. “Elkan…, kenapa kamu bersikap seperti orang tidak berpendidikan dan tidak tahu hukum. Jika kamu sudah menyerahkan semua ini pada kakak dan tim, percayakan.” ucapan kak Zayna justru semakin membuatku kuat ingin menghabisi pelaku dengan kedua tangan ini sendiri. Mengeluarkan ponsel dan segera memotret foto pria yang ada di laptop kak Zayna, ia ingin menepis, namun urung, karena aku menatapnya dengan tajam. Entah seperti apa tatapan ini sehingga kak Zayna menghela nafas panjang dan melepaskan tangannya dari lenganku. “Terima kasih, kak…,” Meninggalkan kak Zayna, dan menuju ke rumah sakit. Ingin melihat kondisi mami dan papi saat ini. Ponselku terus bergetar, namun aku abai karena masih menyetir. [Elkan…, tolong aku, sakit El…,] Dada ini terasa sangat sesak sekali, ketika pesan yang masuk ternyata voice note dari Rose, nomor ponsel Rose. Apalagi sebenarnya yang terjadi, bukankah Rose sudah tewas tergantung di plafon, lalu siapa yang telah mengirimkan pesan tersebut dan siapa yang membawa ponsel Rose.Waktu terus berjalan, seakan luka-luka masa lalu perlahan terbalut oleh waktu. Elkan akhirnya mengambil keputusan besar dalam hidupnya—ia mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit, tempat yang dulu dipimpin oleh Prof. Ismael. Keputusan itu sempat membuat Arga kaget, namun Elkan menjelaskan dengan tegas bahwa dirinya tidak lagi ingin terikat pada tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Untuk sementara, Elkan memilih tidak bekerja. Baginya, saat ini keluarga adalah yang paling utama. Ia ingin fokus mengurus Aziel, putra kecilnya yang kini sudah berusia tiga tahun. Bocah itu tumbuh menjadi anak yang sangat menggemaskan, penuh tawa riang, dan selalu membawa keceriaan ke dalam rumah.Setiap pagi, Elkan sering terlihat duduk di teras rumah, memangku Aziel di pangkuannya sambil membacakan cerita-cerita kecil. Kadang, ia mengajaknya berlari di halaman, mengejar kupu-kupu, atau sekadar bermain bola kecil. Tawa Aziel yang nyaring membuat semua orang di rumah itu merasa hidup kemb
Elkan mengusap wajahnya dengan kasar, napas yang sedikit terengah, seolah beban berat yang selama ini menghimpit dadanya mulai terangkat. Arga menepuk bahunya pelan. Pria paruh baya itu tahu jika saat ini Elkan pasti melihat sosok Rose.“Sudah selesai, Elkan. Keadilan untuk Roselea akhirnya berpihak pada kita. Doakan saja agar Rose tenang di sana,” ucapnya dengan suara mantap.Elkan hanya mengangguk. Meski wajahnya tegar, ada kilatan basah di matanya. Ia mengusap wajahnya sebentar.“Sekarang… saatnya kita kabarkan ini pada Mami. Mami harus tahu kalau semua pengorbanan ini tidak sia-sia. Papi juga harus tahu, jika Aziel memiliki seorang kembaran yang cantik seperti Ibunya,” ucap Elkan tidak bisa menahan Isak tangisnya, ketika ia melihat ke arah taman itu lagi, sosok Rose dan putri kecil mereka sudah tidak ada lagi.“Benarkah? Kamu sangat beruntung sekali. Tapi sebaiknya kita segera ke rumah sakit, dan kamu harus istirahat,”Tanpa menunda waktu, keduanya segera menuju rumah sakit. Mobil
Sidang Kedua Prof. IsmaelHari itu, suasana di gedung pengadilan terasa lebih mencekam daripada sidang pertama. Jalan menuju ruang sidang dipenuhi wartawan, masyarakat, bahkan mahasiswa yang ingin menyaksikan kelanjutan kasus besar ini. Polisi memperketat penjagaan, sebab beredar kabar bahwa hari ini akan ada bukti baru yang tidak bisa terbantahkan.Elkan duduk di kursi pengunjung dengan wajah serius. Ia tidak banyak bicara sejak pagi. Matanya hanya terpaku ke pintu ruang sidang, menunggu segalanya berakhir. Di sampingnya, Ardi Prakoso sang pengacara setia menatap tenang, namun Elkan bisa merasakan ketegangan itu nyata.Tidak lama, pintu terbuka. Prof. Ismael masuk dengan langkah angkuh, seolah sidang sebelumnya tidak menggoyahkan dirinya sedikit pun. Ratna menempel di sisinya, wajahnya dingin penuh kebencian, sementara Dio berjalan di belakang dengan mata tajam ke arah Elkan.“Sidang perkara terdakwa Prof. Ismael dengan tuduhan pembunuhan berencana terhadap Roselea, dinyatakan dibuka
Keesokan harinya, gedung pengadilan negeri sudah dipadati orang. Pagi itu matahari memang bersinar, tapi hawa tegang terasa menusuk begitu seseorang melangkah memasuki halaman gedung. Polisi berjaga di pintu masuk, wartawan dengan kamera mereka siap mengabadikan setiap momen, sementara masyarakat yang penasaran berkerumun, membicarakan kasus besar yang menyeret nama seorang profesor ternama: Prof. Ismael.Elkan berdiri di tangga gedung pengadilan dengan wajah pucat tapi tatapan matanya tajam. Di sampingnya, duduklah pengacaranya, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat bernama Ardi Prakoso, yang terkenal jujur dan idealis. Ardi menepuk bahu Elkan seolah memberi semangat.“Tenang, dokter Elkan. Semua bukti sudah kita persiapkan. Jangan goyah walau pihak lawan mencoba menjatuhkan anda."Elkan hanya mengangguk, namun di dadanya, amarah dan luka lama kembali menyeruak. Bayangan wajah Rosela saat terakhir kali ia melihat istrinya, tergantung lemah di plafon kamar mereka sendiri, bibi
Pembalasan Terhadap Ismael DimulaiElkan kembali memikirkan kata-kata Mbah Karto sebelum ajalnya. “Prof. Ismael...,” nama itu terus terngiang di kepalanya. Setelah pemakaman Rose, Elkan mulai mencari informasi tentang profesor tersebut. Dengan bantuan Lima Madu Pahit, para kunti yang kocak namun loyal, Elkan menyusun rencana untuk menyerang Ismael di kediamannya, yang ternyata terletak di sebuah vila tua nan mencekam di pinggiran kota.Saat malam tiba, Elkan mengendarai mobilnya menuju vila, ditemani Kunkun, Kutu Kupret, dan Bungkring yang sibuk berdebat di kursi belakang.“Awas, jangan banyak gerak! Gue lagi fokus nih,” Elkan memperingatkan.Kunkun tertawa, “Santai aja, El. Lo tau, gue tuh pernah nyetir pakai sepatu roda di gunung! Ini mah kecil.”“Sepatu roda? Gunung? Ya ampun, Kunkun, lu makin ngaco aja!” Kutu Kupret tertawa terbahak-bahak.Elkan memijat pelipisnya. Perjalanan ini bakal panjang kalau mereka terus begini.Ketika mereka tiba di vila, suasana berubah menjadi sunyi. Po
Mbah Karto menatap lekat ke arah Elkan yang kini sedang mencengkram dengan kuat rahangnya, ia meringis kesakitan, nafasnya memburu, jantungnya berdegup dengan kencang. Mbah Karto tidak menyangka Torman bakal mengkhianatinya, sebab ia sudah membantu banyak pria ceking tersebut.“Arghk!” Erang Mbah Karto menggelengkan kasar kepalanya, berharap cengkraman tangan Elkan terlepas, karena rasa perih dan berdenyut mulai menjalar hingga ke telinganya.“Apa susahnya untuk bicara, katakan siapa yang telah memerintahkan kalian untuk melukai R-Rose?” Elkan seperti tidak sanggup mengucapkan nama sang istri, sepertinya rasa sakit itu masih ia rasakan.“L-le-pas-kan…” gerak manik mata Mbah Karto mengarah pada tangan Elkan, berharap dokter muda tersebut melepaskannya cengkramannya.Brugh!Tiba-tiba saja Kunkun datang bersama dengan Torman dengan keadaan kedua tangan terikat, mulut di lakban.“El, cepat tanyakan sama dia, dimana menyembunyikan Gindo dan Liana? Mereka bisa mati dua kali kalau seperti in







