9“Pemilik rumah? Siapa maksud kalian?” Elsa menatap tajam semua orang itu dengan kening yang berkerut. Pun dengan Adrian yang sudah menyusul.“Aku pemilik rumah ini. Ini rumah suamiku. Aku bahkan bisa menunjukkan surat-surat resminya.” Elsa nyolot. Tentu saja ia tidak terima tiba-tiba diusir dari rumahnya sendiri. Oleh orang-orang asing pula yang ia yakin mereka bodyguard. Terlihat dari perawakannya yang mirip satu sama lain.“Kami tidak perlu mengatakannya. Silakan pergi dari sini. Kami sudah membereskan barang-barang Anda semua.” Salah satu dari mereka yang menjadi perwakilan menunjuk beberapa koper yang ditumpuk asal.“Enak saja kalian bicara. Aku pastikan tidak akan pergi dari rumah ini. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian atas tindakan ini!” Elsa mulai tersulut emosi. Lelah jiwa raga membuatnya cepat terpancing. Wanita itu ingin merangsek masuk, mencoba menembus para pengawal itu. Sayangnya mereka tidak memberi jalan, bahkan salah satunya ingin menyentuh tangan Elsa untuk ditari
10“Maukah Abang menikahiku?” Elsa bahkan harus menahan perih di hatinya saat mengatakan kalimat terebut.Namun, ia harus melakukannya. Demi keluarganya. Lihatlah Vivi yang tidak nyaman tidur di rumah sakit. Juga sang ibu yang wajah lelahnya sangat kentara dan matanya yang menghitam karena hanya tidur sebentar-sebentar sembari duduk. Terlebih sang ayah yang kini tidak punya kaki dan masih harus mendapatkan perawatan akibat luka bakar di seluruh tubuhnya.Mereka semua menjadi alasan ia akhirnya memutuskan menerima pernikahan itu. Mereka semua tangung jawab Elsa, dan alangkah tega bila ia bertahan dengan keegoisan, tidak mau memenuhi keinginan Dinar padahal keluarganya berhak mendapatkan kenyamanan.Yang terpenting bagi Elsa saat ini adalah keluarganya. Tidak mungkin seterusnya membawa Davina tidur di rumah sakit. Belum lagi jika sang ayah sudah diperbolehkan pulang nanti, mereka akan tinggal di mana? Rumah dan semua aset peninggalan David sudah dirampas ibu mertuanya, dan hanya akan di
11“Bapak sebaiknya istirahat saja, ya. Atau mau makan? Aku suapin, ya.” Elsa membetulkan selimut Fadli, kemudian mencium punggung tangannya. Ia tak ingin membebani sang ayah yang mungkin belum tahu kodisi dirinya saat ini.“Kamu jangan menikah dengan Adrian, Sa.” Tanpa mendengarkan ucapan Elsa, pria paruh baya tetap menyuarakan pendapatnya.“Pak, sudahlah. Kita bahas itu nanti saja. Bapak baru sadar, dan mungkin belum tahu kalau ….” Elsa menggantung kalimat, tidak sanggup menyampaikan jika sang ayah kini tidak lagi memiliki kaki.“Kalau apa, Sa?” Sang ayah seolah menyadari sesuatu. Ia mengangkat tangannya walaupun lemah. Keningnya langsung berkerut. Antara heran dan tengah mengingat sesuatu. Bola matanya berputar sebelum meraba wajah dengan kedua tangan, di mana salah satunya terhubung ke botol infus melalui selang kecil.Fadli menoleh dan menatap sang anak yang baru disadarinya, berwajah pucat dan sayu.“Bagaimana restoranmu, Sa? Apinya—” Pria tersebut seolah sedang mengingat apa ya
12“Kenapa Papa ndak pulang-pulang, Ma?”Elsa menggeleng cepat dengan gerombolan air di sudut matanya yang sudah tidak bisa dibendung. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain menjadikaan anak sekecil itu seorang yatim. Namun, bila takdir sudah berkehendak, siapa yang dapat menampik?Jika boleh meminta, Elsa juga ingin David hidup lebih lama lama lagi. Membersamainya dan Davina sampai mereka tua dan anak-anak dewasa. Sampai mereka melihat anak-anak mandiri, sukses dan menemukan kebahagiaan hidup dengan pasangan. Atau jika boleh menawar, ia ingin mereka bertiga meninggal bersama-sama dalam kecelakaan itu. Agar tidak ada hati yang menyandang luka karena ditingggalkan.Namun, lagi-lagi takdir sudah menentukan. Manusia hanya menjalani. Semua sudah digariskan sejak di Lauhul Mahfud sana sebelum setiap nyawa terlahir. Paling tidak, itu yang selalu diyakini Elsa.**Hari-hari berlalu. Elsa dan keluarganya sudah bisa kembali ke rumah pasca Elsa menyetujui menikah dengan Adrian. Sebenarnya, Din
13 “Pak Abyasa?” Irma bergumam antara lirih dan senang. Pun dengan Fadli yang duduk di kursi roda. Beda halnya dengan Elsa yang kebenciannya bertambah berkali-kali lipat melihat kedatangan lelaki itu. Bagaimana bisa lelaki itu datang mengacaukan pernikahannya? Baginya itu sangat tidak tahu malu dan tidak punya … hati. Setelah apa yang dilakukannya di masa lalu terhadapnya, kini Abyasa datang untuk menghancurkan pernikahannya. Hanya karena ia lebih memilih Adrian daripada laki-laki itu. “Apa yang diinginkan laki-laki itu?” geram Dinar yang berdiri sembari mengangkat kain kebayanya. Wajah wanita itu merah padam. Ia hendak maju, tetapi Adrian menahannya. “Elsa, maaf aku mengganggu hari pernikahanmu, tapi sebaiknya kau tunda dulu sampai benar-benar yakin. Aku membawa sebuah kabar untukmu.” Abyasa yang tangannya dipegangi beberapa orang, berteriak dari jarak tidak begitu jauh. Elsa yang wajahnya merengut, melirik Adrian yang sama-sama berwajah merah. Sang mempelai laki-laki pun maju s
14“Jika Pak Abyasa datang membawa kebenaran, aku mungkin akan membatalkan pernikahan ini. Tapi kita lihat, bila ia datang membawa omong kosong, maka aku sendiri yang akan melaporkannya ke polisi karena sudah membuat keributan.”Hening sesaat. Berbagai mimik berbeda terpancar dari wajah keluarga inti pasca ucapan tegas Elsa barusan. Irma tak terasa menyunggingkan senyum tipis, sedangkan suaminya hanya berekspresi datar. Reaksi keras tentu saja datang dari mempelai laki-laki dan ibunya.“El, apa-apaan ini?” Adrian menatap tidak suka.“Iya, apa maksudmu menunda pernikahan dan kemungkinan membatalkan? Kau pikir semudah itu? Kami sudah membayar semua ini. Apa kau punya uang untuk ganti rugi jika pernikahan batal?” timpal Dinar lebih marah.Elsa memejam sebentar, kemudian melirik kedua orang tuanya. Wajah Irma kembali memucat mendengar ucapan calon besannya. Sementara Fadli tetap saja memasang wajah datar tanpa ekspresi.Elsa kembali menatap calon suami dan calon ibu mertuanya tenang. Enta
15“Semua sudah siap, Sa.” Irma meletakkan kantung besar di meja teras. Menemani kantung-kantung plastik lainnya yang sudah lebih dulu teronggok di sana.Elsa mengangguk sebelum melirik lelaki yang sejak tadi mengoceh seolah mainan yang baterainya baru diisi daya. Tidak ada capeknya.“Sudah semua?” tanya lelaki yang juga mendengar ucapan ibunya Elsa barusan.“Kalau begitu, ayo kita berangkat,” lanjutnya seraya meraih dua koper sekaligus, kemudian membawanya menuju mobil yang pintu bagian belakangnya terbuka lebar. Memasukkan semua koper dan kantung-kantung itu dalam beberapa kali balikan.Elsa membantu membawa beberapa yang tergolong ringan. Setelah memastikan semua selesai, ia bersiap masuk mobil. Namun, sebelumnya menyempatkan diri berbalik dan menatap bangunan dua lantai yang selama empat tahun terakhir menjadi tempat bernaungnya.Elsa menatap bangunan itu dengan hati berdesir, nyeri kembali menyelinap. Akhirnya ia harus benar-benar keluar dari sana. Meninggalkan semua kenangannya
16“Bagaimana, Sa? Apa tawaran pak Abyasa kamu terima?”Elsa mengerjap mengingat pertanyaan sang ibu tadi sore. Masih di depan Abyasa dan Mahesa sebelum keduanya pulang.Abyasa menawari bekerja di kantornya. Entahlah, kenapa lelaki itu begitu gigih membantu dirinya dan keluarga. Padahal sikapnya pada lelaki itu jauh dari kata manis. Bahkan kebencian selalu kentara dari sikapnya. Namun, Abyasa seolah tidak kenal kata menyerah.Terkadang Elsa heran, terbuat dari apa hati lelaki itu. Walaupun selalu disuguhi sikap tidak ramah bahkan cenderung ketus, masih saja berbuat baik. Bahkan kini menawarinya pekerjaan.Elsa mendesah resah. Kemudian menatap wajah Davina yang sudah tertidur pulas di sampingnya setelah sebelumnya rewel.Terhitung setelah Abyasa dan Mahesa pulang, Davina yang mungkin belum terbiasa dengan rumah baru mulai rewel. Anak itu terus menangis meminta pulang ke rumah mereka.Davina yang terbiasa dengan rumah besar dan hidup nyaman di rumah peninggalan sang ayah, sepertinya tid