7
“Ma, aku mohon sudahi semua.”
Sore ini Elsa sengaja mendatangi rumah sang ibu mertua setelah proses operasi sang ayah dinyatakan lancar. Walaupun pria paruh baya yang hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka bakar itu belum sadarkan diri, tetapi setidaknya dokter menyatakan masa kritisnya telah lewat.
Elsa bisa meluangkan waktu untuk mengurus kasus yang tiba-tiba saja menimpa Abyasa.
Lelaki itu ditangkap polisi di sekitar rumah sakit dengan alasan yang tidak masuk akal. Dalang kebakaran rukonya, juga penculikan anak. Padahal Abyasa tengah mengasuh Davina saat itu. Dan Davina sendiri sangat riang bermain ditemani laki-laki itu.
Belakangan Elsa tahu jika sang ibu mertua yang melaporkan Abyasa ke polisi. Sangat tidak masuk akal. Hanya karena tidak ingin ia menikah dengan laki-laki itu, sang ibu mertua sampai membuat laporan palsu. Ya, palsu menurut Elsa karena Abyasa tidak pernah menculik Davina sama sekali. Anak itu sangat senang jika bersama Abyasa. Saat penangkapan kemarin, gadis kecil berusia tiga tahun itu bahkan nangis kejer dan ketakutan karena melihat langsung Abyasa dibawa polisi.
Laporan lainnya dalang dari kebakaran katanya. Itu juga tidak masuk akal. Abyasa memiliki ruko tepat di sebelahnya, yang baru Elsa ketahui sehari sebelum kebakaran itu terjadi. Jadi, sangat tidak mungkin jika Abyasa yang sengaja membakar bangunan itu. Karena miliknya pun ikut musnah.
Walaupun dulu pernikahannya dengan lelaki itu hanya bertahan enam bulan saja, tetapi ia cukup mengenal Abyasa. Tidak mungkin laki-laki itu sampai berbuat curang.
Meski sampai saat ini ia belum bisa memaafkan dan melupakan pengkhianatan Abyasa, tapi jika ibu mertuanya memperlakukan laki-laki itu dengan tidak adil, melaporkan atas kasus yang sama sekali tidak masuk akal, rasanya Elsa tidak terima. Karenanya ia meminta sang ibu mertua agar mencabut laporan itu. Ia tak ingin lebih banyak korban dari peristiwa ini. Walaupun hanya korban perasaan.
Abyasa sebenarnya sudah meminta Elsa untuk tenang dan tidak melakukan apa pun sesaat sebelum ia dibawa polisi. Semua akan diurus pengacaranya. Elsa percaya, sekelas Abyasa Dananjaya yang seorang CEO sekaligus pemilik perusahaan besar, hal ini perkara kecil. Ia tinggal menghubungi pengacaranya. Hanya saja Elsa ingin membantu karena semua permasalahan ini berakar dari dirinya. Elsa tidak ingin melibatkan lebih banyak orang.
“Ma, laporan Mama itu sangat tidak masuk akal. Nurani Mama pun pasti setuju jika Pak Abyasa tidak melakukan semua itu. Jadi, tolong Ma, tolong cabut laporan tidak berdasar itu.” Elsa memohon dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Tatapannya menyiratkan permohonan mendalam.
“Asal kamu tahu, Elsa, sikap kamu ini semakin membuatku yakin jika kalian memang ada apa-apa.” Jawaban Dinar yang tidak nyambung dengan permintaan Elsa, bahkan kembali menuduh, membuat Elsa putus asa. Ia lelah berdebat karena yakin ibu mertuanya tidak akan menerima alibi apa pun.
“Ma—” Adrian yang duduk agak jauh, mendekati keduanya. Kemudian duduk di samping sang ibu yang akhir-akhir ini memang emosional.
Kepergian David yang mendadak banyak merubah segalanya. Termasuk perangai sang ibu yang dulu sebenarnya lembut dan penyayang. Tapi kepergian anak bungsunya yang Adrian yakin lebih ibunya sayangi daripada dirinya, membuat wanita itu jauh berubah. Kesehatan jiwa raganya tidak stabil. Sang ibu sering tiba-tiba menangis dan mengurung diri hingga berhari-hari. Karenanya saat mengetahui Elsa sudah kembali didekati laki-laki, Dinar bereaksi keras. Segala cara sang ibu lakukan agar Elsa tidak menikah selain dengan dirinya.
Bahkan sepulang dari rumah sakit tadi, ibunya memaksa ke kantor polisi untuk membuat laporan. Adrian sendiri sebenarnya tidak setuju, hanya saja sang ibu memaksa. Terlebih saat ingin kembali menemui Elsa setelah menjenguk para karyawan korban kebarakan di rumah sakit yang sama, mereka mendapati Davina yang tengah asyik bermain bersama Abyasa. Dinar murka dan akhirnya memutuskan membuat laporan.
Karena tidak ingin kesehatan ibunya terganggu, Adrian terpaksa memenuhinya. Ia pikir semua bisa dibicarakan baik-baik dengan Elsa kemudian.
“Ma, sudah kubilang Elsa tidak mungkin berbuat seperti itu. Mama terlalu berprasangka. David belum lama meninggal, dan aku saksi hidup jika mereka berdua saling mencintai.” Adrian mencoba bersikap bijak. Ia tidak tega melihat sang ibu terus menekan Elsa.
“Cinta bisa hilang dengan cepat karena banyak hal. Apalagi David tidak mungkin kembali. Mantan istrimu saja dulu dengan mudah berpaling padahal kamu masih hidup. Apalagi Elsa yang ditinggal mati dan masih muda.” Dinar selalu bisa membantah.
Elsa memejam. Putus asa. Pikiran sang ibu mertua terlalu pendek.
“Haruskah aku bersumpah di depan Mama, jika aku tidak ingin menikah lagi?” sergah Elsa mulai kesal.
Dinar menoleh dan menatapnya dengan mata merah. Salah satu sudut biibirnya terangkat.
“Tisak perlu, Elsa. Karena kamu sesungguhnya akan segera menikah lagi. Bahkan dalam waktu dekat. Tapi tentu bukan dengan laki-laki itu, melainkan dengan Adrian.”
“Apa?” Elsa dan Adrian sontak berseru tak percaya. Keduanya menatap Dinar dengan kening berkerut sebelum saling melempar pandang.
“Mama sudah menyiapkan segalanya. Kartu undangan, catering, tenda, dan segala sesuatunya. Pokoknya kalian tinggal menjalani saja. Mama sudah atur semua. Mama—”
“Apa-apaan ini, Ma?” Adrian memotong ucapan sang ibu yang tampak berapi-api. Kedua tangan lelaki itu terangkat. Sungguh ia pun terkejut mendengar jika dirinya dan Elsa akan segera menikah. “Bagaimana mungkin Mama merencanakan semua ini tanpa bicara dulu denganku?”
“Apa kau tidak mau menikahi Elsa? Mama bahkan melihat foto-foto Elsa sudah terpajang di dinding kamarmu.”
Mata dan mulut Elsa terbuka bersamaan demi mendengar kalimat terakhir sang ibu mertua. Untuk beberapa lama ia hanya terpaku menatap wajah Adrian yang mendadak memerah. Lelaki itu membuang pandangan untuk menyembunyikan rasa malunya.
“Sudahlah, kalian jangan banyak membantah. Semua sudah Mama atur.” Dinar melipat kedua tangan di dada dengan angkuh. Titahnya sudah tak terbantah.
Elsa menelan ludah sebelum melirik lagi Adrian. Berharap kakak iparnya itu menolak dan meyakinkan ibunya agar semua ini tidak dilanjutkan.
“Ma, kalau menurutku beri Elsa sedikit waktu. Ini terlalu cepat. David baru pergi beberapa bulan. Apa kata orang jika Elsa langsung menikah denganku?” Seolah mengerti dengan permintaan Elsa, Adrian meminta pengertian sang ibu.
“Apa peduli kata orang? Elsa saja tidak peduli. Lihatlah, bahkan setelah digerebek warga pun ia masih saja berhubungan dengan laki-laki itu, sergah Dinar lagi sembari menunjuk wajah Elsa.
Entah untuk ke berapa kalinya Elsa menelan ludah dengan susah payah. Seperti yang sudah ia perkirakan, tidak akan mudah bicara dengan ibu mertuanya itu. Sepertinya, kedatangannya ke sini sia-sia belaka. Tidak akan mendapatkan jalan keluar apa pun.
Elsa bangkit setelah menarik napas panjang dan mengembusnya kasar.
“Baik, sepertinya memang sulit meyakinkan Mama. Kedatanganku ke sini hanya buang-buang waktu saja,” ujar Elsa sambil menyampirkan tas di pundaknya.
“Seharusnya sejak awal aku mendengarkan Pak Abyasa agar tidak perlu capek-capek bicara dengan Mama. Biar pengacaranya saja yang mengurus semua ini dan melaporkan balik Mama atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan,” lanjut Elsa seraya ingin melangkah pergi.
Namun, pekikan murka Dinar disusul sambaran tas di pundak Elsa, membuat wanita itu terkejut bukan kepalang. Tubuh mungilnya bahkan tertarik saking kuat sambaran tangan ibu mertuanya.
Dinar membuka tas Elsa dan mengeluarkan semua isinya dengan membabi buta. Wanita dengan rambut hampir memutih semua itu menyambar dompet di dalam tas, membukanya dengan kasar, mencabut semua kartu yang tersusun rapi dalam kantung-kantung kecil di dalam dompet. Mengambil juga semua uang kes yang ada di sana. Langsung memasukkan ke dalam saku bajunya tanpa menyisakan apa pun di sana. Lalu, setekah semua isi dompet berpindah ke sakunya, ia melempar barang berbahan kulit itu ke sembarang arah.
“Wanita sombong! Kita lihat, apa yang bisa kamu lakukan tanpa uang anakku!”
8“Apa yang Mama lakukan?” Adrian yang beberapa detik lalu hanya mematung, gegas mengambil tas Elsa. Lalu memasukkan barang-barang yang dibuat berantakan oleh sang ibu kembali ke dalam tas.Sementara Elsa yang masih kaget dan tidak percaya dengan yang baru saja terjadi, masih bediri dengan wajah pias dan jantung yang bekerja lebih cepat. Semua terjadi begitu cepat, hingga ia tak bisa berubuat apa-apa. Matanya mengerjap setelah beberapa lama, kedua tangan memegangi dada di mana di dalamnya ramai berbagai perasaan yang berbaur.“Ma, kembalikan semua milik Elsa. Ini tidak benar.” Adrian maju setelah barang-barang yang semula berserakan di lantai telah kembali berada di dalam tas. Kemudian menadahkan tangan, meminta sang ibu mengembalikan semua yang sudah dirampasnya dari dompet Elsa.Alih-alih menuruti permintaan Adrian, Dinar melipat kedua tangan di dada. Salah satu ujung bibirnya terangkat, hingga menciptakan lengkungan sinis di sana.“Enak saja, Mama tidak akan mengembalikan semuanya.
9“Pemilik rumah? Siapa maksud kalian?” Elsa menatap tajam semua orang itu dengan kening yang berkerut. Pun dengan Adrian yang sudah menyusul.“Aku pemilik rumah ini. Ini rumah suamiku. Aku bahkan bisa menunjukkan surat-surat resminya.” Elsa nyolot. Tentu saja ia tidak terima tiba-tiba diusir dari rumahnya sendiri. Oleh orang-orang asing pula yang ia yakin mereka bodyguard. Terlihat dari perawakannya yang mirip satu sama lain.“Kami tidak perlu mengatakannya. Silakan pergi dari sini. Kami sudah membereskan barang-barang Anda semua.” Salah satu dari mereka yang menjadi perwakilan menunjuk beberapa koper yang ditumpuk asal.“Enak saja kalian bicara. Aku pastikan tidak akan pergi dari rumah ini. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian atas tindakan ini!” Elsa mulai tersulut emosi. Lelah jiwa raga membuatnya cepat terpancing. Wanita itu ingin merangsek masuk, mencoba menembus para pengawal itu. Sayangnya mereka tidak memberi jalan, bahkan salah satunya ingin menyentuh tangan Elsa untuk ditari
10“Maukah Abang menikahiku?” Elsa bahkan harus menahan perih di hatinya saat mengatakan kalimat terebut.Namun, ia harus melakukannya. Demi keluarganya. Lihatlah Vivi yang tidak nyaman tidur di rumah sakit. Juga sang ibu yang wajah lelahnya sangat kentara dan matanya yang menghitam karena hanya tidur sebentar-sebentar sembari duduk. Terlebih sang ayah yang kini tidak punya kaki dan masih harus mendapatkan perawatan akibat luka bakar di seluruh tubuhnya.Mereka semua menjadi alasan ia akhirnya memutuskan menerima pernikahan itu. Mereka semua tangung jawab Elsa, dan alangkah tega bila ia bertahan dengan keegoisan, tidak mau memenuhi keinginan Dinar padahal keluarganya berhak mendapatkan kenyamanan.Yang terpenting bagi Elsa saat ini adalah keluarganya. Tidak mungkin seterusnya membawa Davina tidur di rumah sakit. Belum lagi jika sang ayah sudah diperbolehkan pulang nanti, mereka akan tinggal di mana? Rumah dan semua aset peninggalan David sudah dirampas ibu mertuanya, dan hanya akan di
11“Bapak sebaiknya istirahat saja, ya. Atau mau makan? Aku suapin, ya.” Elsa membetulkan selimut Fadli, kemudian mencium punggung tangannya. Ia tak ingin membebani sang ayah yang mungkin belum tahu kodisi dirinya saat ini.“Kamu jangan menikah dengan Adrian, Sa.” Tanpa mendengarkan ucapan Elsa, pria paruh baya tetap menyuarakan pendapatnya.“Pak, sudahlah. Kita bahas itu nanti saja. Bapak baru sadar, dan mungkin belum tahu kalau ….” Elsa menggantung kalimat, tidak sanggup menyampaikan jika sang ayah kini tidak lagi memiliki kaki.“Kalau apa, Sa?” Sang ayah seolah menyadari sesuatu. Ia mengangkat tangannya walaupun lemah. Keningnya langsung berkerut. Antara heran dan tengah mengingat sesuatu. Bola matanya berputar sebelum meraba wajah dengan kedua tangan, di mana salah satunya terhubung ke botol infus melalui selang kecil.Fadli menoleh dan menatap sang anak yang baru disadarinya, berwajah pucat dan sayu.“Bagaimana restoranmu, Sa? Apinya—” Pria tersebut seolah sedang mengingat apa ya
12“Kenapa Papa ndak pulang-pulang, Ma?”Elsa menggeleng cepat dengan gerombolan air di sudut matanya yang sudah tidak bisa dibendung. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain menjadikaan anak sekecil itu seorang yatim. Namun, bila takdir sudah berkehendak, siapa yang dapat menampik?Jika boleh meminta, Elsa juga ingin David hidup lebih lama lama lagi. Membersamainya dan Davina sampai mereka tua dan anak-anak dewasa. Sampai mereka melihat anak-anak mandiri, sukses dan menemukan kebahagiaan hidup dengan pasangan. Atau jika boleh menawar, ia ingin mereka bertiga meninggal bersama-sama dalam kecelakaan itu. Agar tidak ada hati yang menyandang luka karena ditingggalkan.Namun, lagi-lagi takdir sudah menentukan. Manusia hanya menjalani. Semua sudah digariskan sejak di Lauhul Mahfud sana sebelum setiap nyawa terlahir. Paling tidak, itu yang selalu diyakini Elsa.**Hari-hari berlalu. Elsa dan keluarganya sudah bisa kembali ke rumah pasca Elsa menyetujui menikah dengan Adrian. Sebenarnya, Din
13 “Pak Abyasa?” Irma bergumam antara lirih dan senang. Pun dengan Fadli yang duduk di kursi roda. Beda halnya dengan Elsa yang kebenciannya bertambah berkali-kali lipat melihat kedatangan lelaki itu. Bagaimana bisa lelaki itu datang mengacaukan pernikahannya? Baginya itu sangat tidak tahu malu dan tidak punya … hati. Setelah apa yang dilakukannya di masa lalu terhadapnya, kini Abyasa datang untuk menghancurkan pernikahannya. Hanya karena ia lebih memilih Adrian daripada laki-laki itu. “Apa yang diinginkan laki-laki itu?” geram Dinar yang berdiri sembari mengangkat kain kebayanya. Wajah wanita itu merah padam. Ia hendak maju, tetapi Adrian menahannya. “Elsa, maaf aku mengganggu hari pernikahanmu, tapi sebaiknya kau tunda dulu sampai benar-benar yakin. Aku membawa sebuah kabar untukmu.” Abyasa yang tangannya dipegangi beberapa orang, berteriak dari jarak tidak begitu jauh. Elsa yang wajahnya merengut, melirik Adrian yang sama-sama berwajah merah. Sang mempelai laki-laki pun maju s
14“Jika Pak Abyasa datang membawa kebenaran, aku mungkin akan membatalkan pernikahan ini. Tapi kita lihat, bila ia datang membawa omong kosong, maka aku sendiri yang akan melaporkannya ke polisi karena sudah membuat keributan.”Hening sesaat. Berbagai mimik berbeda terpancar dari wajah keluarga inti pasca ucapan tegas Elsa barusan. Irma tak terasa menyunggingkan senyum tipis, sedangkan suaminya hanya berekspresi datar. Reaksi keras tentu saja datang dari mempelai laki-laki dan ibunya.“El, apa-apaan ini?” Adrian menatap tidak suka.“Iya, apa maksudmu menunda pernikahan dan kemungkinan membatalkan? Kau pikir semudah itu? Kami sudah membayar semua ini. Apa kau punya uang untuk ganti rugi jika pernikahan batal?” timpal Dinar lebih marah.Elsa memejam sebentar, kemudian melirik kedua orang tuanya. Wajah Irma kembali memucat mendengar ucapan calon besannya. Sementara Fadli tetap saja memasang wajah datar tanpa ekspresi.Elsa kembali menatap calon suami dan calon ibu mertuanya tenang. Enta
15“Semua sudah siap, Sa.” Irma meletakkan kantung besar di meja teras. Menemani kantung-kantung plastik lainnya yang sudah lebih dulu teronggok di sana.Elsa mengangguk sebelum melirik lelaki yang sejak tadi mengoceh seolah mainan yang baterainya baru diisi daya. Tidak ada capeknya.“Sudah semua?” tanya lelaki yang juga mendengar ucapan ibunya Elsa barusan.“Kalau begitu, ayo kita berangkat,” lanjutnya seraya meraih dua koper sekaligus, kemudian membawanya menuju mobil yang pintu bagian belakangnya terbuka lebar. Memasukkan semua koper dan kantung-kantung itu dalam beberapa kali balikan.Elsa membantu membawa beberapa yang tergolong ringan. Setelah memastikan semua selesai, ia bersiap masuk mobil. Namun, sebelumnya menyempatkan diri berbalik dan menatap bangunan dua lantai yang selama empat tahun terakhir menjadi tempat bernaungnya.Elsa menatap bangunan itu dengan hati berdesir, nyeri kembali menyelinap. Akhirnya ia harus benar-benar keluar dari sana. Meninggalkan semua kenangannya