Share

Tidak Ada Warisan Untukmu!

Meski mereka mengatakan itu pada Lavendra, rasa bersalah dalam dirinya seolah tumbuh dan membuatnya merasa tidak enak. Ketika Daza sampai nantinya, tatapan tajam dan benci past akan langsung mengarah kepadanya, dan juga menunjukkan seberapa tidak senang dia.

Lavendra duduk di meja makan dengan pakaian milik iparnya. Ia termenung dan terus menunduk. Memikirkan bagaimana amarah dari Daza yang akan meluap setelah pertemuan ini, akan membuat Lavendra makin sulit memikat suaminya tersebut.

“Kenapa mendadak memintaku datang sih, kali-“

Daza yang terdengar baru masuk dan sudah marah-marah, ditambah dengan hentakan kakinya, membuat Lavendra berdegup kencang sampai mau copot rasanya dari tempatnya. Dan ketika sudah sampai di meja makan, Daza yang mendapati ada dirinya di sana langsung berhenti bicara.

Diliriknya sedikit sang suami yang ada di depannya, benar saja. Wajah ketus serta tidak senang benar-benar mengarah kepada dirinya seorang. Makin tidak berani Lavendra menaikkan kepala untuk sekedar melihatnya tersebut.

“Kenapa dia ada di sini?” singgung Daza dengan suara yang dingin.

“Kenapa? Dia sekarang bagian dari anggota keluarga kita, jadi tidak ada hak dia untuk tidak hadir kecuali dia ada halangan,” jawab papa mertuanya.

Daza hanya bisa berdesis kesal setelah mendengarnya. Tentu ia tidak senang dan mau melampiaskan amarahnya kepada dirinya. Namun, Lavendra segera memalingkan wajah dan tidak mau menatapnya. Rasanya seperti mau diremukkan badan Lavendra saat melihat wajah darinya itu.

Akhirnya Daza juga duduk bersama mereka. Selama perjamuan makan malam, suasana benar-benar tegang dan membuat Lavendra merasa tidak nyaman. Saat menelan makanan pun rasanya benar-benar sakit sekali. Karena Daza tidak henti-hentinya memberikan tatapan tajam, dan itu membuat dirinya merasa makin tidak nyaman.

Tingg. Bunyi alat makan yang sudah diletakkan di atas piring. Lavendra melirik, dan melihat mertuanya selesai makan. Mereka mengelap bibir dan mulai sedikit bergumam dengan suara pelan antar satu sama lain. Huh, Lavendra sudah menyiapkan diri bahwa dirinya akan mendengar ucapan dari mereka berdua.

“Daza,” Mama mertuanya memanggil.

Daza yang masih mengunyah tersebut menoleh ke arah mamanya, tidak kaget sambil menaikkan alisnya. Tidak dijawab karena mulutnya masih mengunyah.

“Kamu masih memiliki hubungan dengan Lora?”

Langsung berhenti Daza mengunyah kala itu. Pandangannya kini berubah melihat ke arah Lavendra sambil melotot, memberikan intimidasi kepadanya karena mertuanya bisa tahu hal tersebut. Habis sudah dirinya ini.

Namun, Diana, iparnya tidak tinggal diam begitu saja. Dia yang duduk di sebelah Lavendra segera memberikan alasan kenapa mertuanya bisa tahu dan juga tentunya langsung menyalahkan Daza atas apa yang sudah terjadi kepadanya ini.

“Aku yang memergoki wanita murahan tersebut menyiram Lavendra di pinggir jalan. Kamu tidak punya otak apa sampai bisa meninggalkan istrimu sendiri begitu saja?!”

“JANGAN SEBUT DIA MURAHAN!” Daza berteriak ketika mendengar Lora dikatakai.

Merinding sebenarnya Lavendra mendengarnya. Sekaligus, Lavendra merasa sangat sakit hati sekali. Daza yang kini menjadi suaminya masih lebih memilih untuk membela wanita tersebut, ketimbang menanyai dirinya yang telah mendapatkan perlakuan tidak enak dari wanita tersebut.

“Lalu? Wanita pelacur?!” Diana tidak kalah diam.

“DIAM KAMU!” BRAKHHH. Daza marah sampai menggebrak meja di depannya.

Lavendra tentu saja kaget melihat Daza yang menjadi seperti itu. Sementara yang lain tampak tidak terlalu kaget dan merasa tidak senang dengan tindakannya. Keras kepala Daza yang Lavendra tidak tahu pasti membuat keluarganya sendiri muak.

CTAKKK… CTAKKK… CTAKKK…. Bunyi tersebut membuat semua orang yang berada di sana menoleh ke arah pintu masuk. Lavendra yang baru di sini saja sudah bisa menerka siapa yang datang itu. Dia adalah orang yang datang kepadanya, menawarkan pernikahan dengan suara yang halus.

Dia adalah kakek Daza. Pria paruh paya tersebut datang bersama tongkatnya, berjalan tertatih didampingi oleh perawat yang kini bersamanya. Pria tersebut tampak sangat marah dan langsung menatap Daza. Daza menghindari tatapan itu dengan raut wajah yang kesal.

“Jadi, Daza masih menjalin hubungan wanita itu?” tanya kakek.

“Ayah…, ayah di kamar saja dulu, biar aku yang-“ Papa mertuanya bangun dan menghampiri kakek, mencoba untuk menjauhkannya.

Namun, kakek langsung menepis tangan papa mertuanya. Dengan raut yang kesal sambil memberikan tatapan benci kepada Daza yang masih tampak duduk tidak langsung menghadapinya.

Kakek berjalan mendekat ke arah meja makan. Meski sudah tua, dia masih menunjukkan bagaimana wibawanya sebagai seorang pemimpin yang ditakuti. Makanya semua yang ada di sana masih hormat dan tidak abai akan bagaimana kesehatan dari kakek.

Kakek awalnya hanya menatap saja ketika sudah berada di sebelah Daza. Lalu ia beranjak, dan menuju kursi yang memang sengaja di kosongkan karena itu memang milik dari kakek. Dia duduk dan mulai menyiapkan diri. Berdehem kecil, membuat semua orang langsung menatap sang kakek.

“Jadi, Daza, kamu masih mencintai wanita itu?” tanya kakek.

“Ya,” singkatnya.

Kakek menganggukkan kepalanya kembali. Apa yang akan dilakukan oleh kakek? Apa dia akan mengembalikan Lavendra kepada orang tuanya sekarang ini? Lavendra merasa takut akan hal yang akan menimpanya kedepannya.

“Baiklah,” ucap kakek.

Daza melihat ke arah sang kakek. Mood-nya yang tadinya kesal seolah langsung sirna dan merasa bingung mendengar ucapannya. Berbinar dan rasa berbunga yang tumbuh dalam dirinya pasti menggeluti hati Daza sampai dia berani menatap kakeknya.

“Jadi, kakek merestuiku?”

Tatapan kakek Daza yang tidak berubah membuat terkaan Lavendra makin menjadi-jadi. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh kakek Daza sampai dia mengatakan satu kata yang membuat lemas sekujur tubuh dari Lavendra ini?

“Iya.”

DEG. Langsung rasanya mau mati rasa tubuh Lavendra mendengarnya. Daza sudah mau berseru bahagia mendengarnya. Dia bahkan bangun dari duduknya. Wajahnya yang berseri yang baru pertama kali dirinya lihat, bahkan saat pernikahan saja wajah tersebut tidak ada sama sekali.

Daza hendak berbicara, mengatakan perasaannya yang bahagia dan juga senang. Namun, itu hanya sesaat semata.

“Kenapa tidak dari dulu saja? Dengan begitu, aku tidak perlu menikah-“

“Tapi warisan akan kakek berikan kepada Lavendra. Segera urus perceraianmu dengannya, dan kakek akan segera menulis surat wasiatnya,” ucap kakek, yang langsung bangun dari duduknya. Beliau pergi dengan cara yang elegan.

Daza syok mendengarnya. Ia membatu dan langsung tidak bergerak. Bahkan, ekspresi wajahnya kini berubah menjadi orang yang tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia benar-benar berada di titik yang paling direndahkan. Wajahnya kembali kesal, dan kembali mendelik tajam ke arah Lavendra. Sekarang dirinya berada di situasi yang tidak diuntungkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status