“Mas, kamu kenapa sih? Kok senyum-senyum terus sih?”Raya menjadi semakin penasaran melihat senyuman suaminya yang seperti memendam rasa bahagia yang besar.“Kamu keliatan lagi seneng banget sih? Kamu habis dapat lotre ya?” tebak Raya asal disertai gelak tawa renyah yang selalu terdengar merdu di telinga seorang Raihan.“Kamu itu bisa aja Dik, aku nggak pernah berjudi, jadi nggak pernah bakal dapat lotre. Masak seorang ustadz berjudi, malah ngasih contoh buruk itu.”“Iya, iya, terus kenapa sih Mas, kamu kelihatannya seneng banget gitu?” Raya kembali bertanya lugas.“Aku kasih tidak ya?”“Ish, kamu genit gitu sih Mas,” tukas Raya yang menjadi semakin gemas melihat tingkah suaminya yang mendadak seperti remaja tanggung yang sedang berbicara dengan pacarnya.“Kamu nggak pantes kayak gitu,” imbuh Raya lagi tapi kali ini dengan gelak tawanya yang semakin terburai.“Ya udah deh, sekarang kamu tutup mata aja dulu.”Raihan kemudian tersenyum penuh arti.“Memangnya kamu mau apa sih, Mas?”“Uda
“Apa kamu bersedia untuk menjadikan aku sebagai istrimu?”Pertanyaan dari Hanum yang diucapkan dengan terlalu lugas terasa begitu mengagetkan untuk Raihan yang kini menjadi kian bimbang.Lelaki yang memiliki cambang halus di kedua rahangnya itu menjadi kian gusar, yang membuatnya terus menarik nafas dalam.Namun Hanum masih saja menelisiknya dengan tatapannya yang kian tajam.“Aku tak pernah melihatmu seragu ini Mas.”Hanum mengunggah sekelumit kecewanya sembari tanpa sadar menggelengkan kepalanya.Perempuan berhijab lebar itu masih saja memendam harapannya yang besar, bahwa semua penantiannya selama ini akan membuahkan sebuah hasil terbaik.Hanum selalu yakin dengan apa yang diimpikannya, impian untuk bisa bersanding dengan santri kebanggaan abahnya, yang sejak awal telah bisa membuktikan kemampuannya untuk menerabas batasan meski berasal dari kaum marjinal yang selalu dianggap lemah.Segala prestasi dan keuletan Raihan hingga bisa mendapatkan pencapaian yang begitu luar biasa sepert
“Bu memangnya Mbah Darmo membawa kabar apa?”Raya merasa perlu untuk bertanya. Bahkan semenjak saat kedatangan Kyai Hisyam beberapa waktu lalu, ibu mertuanya itu menjadi bersikap aneh, seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi darinya.Raya bisa merasakan semua itu dengan sangat lugas. Raya harus mencaritahunya yang membuatnya terus mengekori langkah ibu mertuanya sampai di dapur.“Bu, kenapa Ibu nggak menjawabku?”“Kemarin Ibu juga menghindar saat aku bertanya tentang Kyai Hisyam. Apa kedatangan Mbah Darmo juga ada hubungannya dengan gurunya Mas Raihan, Bu?”Raya semakin mencecar, membuat Siti kian tampak gelisah.Sampai akhirnya Raya memutuskan untuk mengambilalih pekerjaan mertuanya saat menjerang air yang akan digunakan untuk membuat kopi.“Biar aku yang mengantarnya ke depan.” Raya segera menawarkan diri.Tapi mertuanya masih bergeming malah terlihat sibuk menata klepon buatannya di atas piring saji.“Nak Raya, biar ibu saja yang membawa hidangan ini ke depan, kalau boleh ibu mint
“Mas Ustadz, Mbak Raya!” Panggilan itu segera membuat Raihan dan Raya menoleh bersamaan pada asal suara. Ketika melihat sosok Parno, seorang pria muda yang selama ini membantu Raihan di kebun, Raihan langsung melebarkan senyumnya. “Hey Parno, kamu udah lama nunggu kami ya?” tanya Raihan ketika pria berkulit gelap telah berdiri di hadapannya. “Enggak juga Mas, biasanya kan emang seperti itu kalau naik motor nyampenya itu jauh lebih cepat daripada naik kendaraan umum,” ucap Parno sembari menunjuk motor bututnya yang telah dia parkir di area parkir pasar. “Ya sudah kamu nunggu kami sambil sarapan dulu, nanti kalau aku sama istriku udah mendapatkan barang-barang yang akan kami beli, aku akan nyari kamu di sini, biar kamu bisa bantu membawakan belanjaan kami.” Sejak awal Raihan memang sudah meminta pada orang kepercayaannya itu untuk mengikuti mereka berbelanja, karena Raihan berpikir dia
Setelah memiliki mesin cuci dan kompor gas sekarang Raya bisa lebih ringan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia bisa menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat yang membuat Raya bisa melakukan hal lain yaitu berkeliling desa untuk mengabadikan beberapa momen sederhana di desa ini ke dalam kontennya yang sekarang sudah mulai dikenal luas. Sebelumnya Raya sudah meminta ijin pada suaminya untuk keluar rumah, dan Raya sudah mendapatkan ijin sebagaimana biasanya. Untuk hari ini Raya berniat mendatangi balai desa karena di sana akan diadakan acara Merti Desa, atau yang biasa dikenal juga dengan istilah bersih desa, yang bertujuan untuk membersihkan desa dari pengaruh jahat. Walau tak termasuk dalam syariat agama tapi budaya seperti ini tetap lestari di desa yang terletak di lereng Merbabu ini. Sesampainya di sana Raya melihat ada beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang sibuk membuat persiapan, s
“Nak Raya, apakah kamu akan mengijinkan suamimu untuk menikahi Ning Hanum?” Pertanyaan yang terlontar dengan sangat lugas itu seakan meluluhlantakkan hati Raya. Perempuan muda itu menjadi sedemikian bimbang, bahkan merasakan luka yang lebih pedih bila dibanding saat dia mendapati perselingkuhan mantan tunangannya dulu bersama dengan saudara tirinya sendiri. “Nak, aku sangat mengenal Raihan, dia pria yang baik, walau nantinya Raihan harus menikahi Ning Hanum aku sangat yakin kalau dia tetap akan memberikan perhatiannya padamu. Bagaimanapun kamu telah menjadi istrinya dan bahkan posisimu adalah seorang istri pertama. Walau nanti Raihan bersanding dengan Ning Hanum, aku sangat yakin Raihan tak akan pernah mengabaikan kamu.” Raya masih saja termangu. Dadanya kian terasa sesak ketika mendengar kalimat yang diucapkan dengan sangat lugas oleh sosok yang Raya tahu selalu menjadi pelindung untuk ibu mertuanya juga yang selalu member
“Jangan katakan kalau kamu memintaku untuk merelakan agar Mas Raihan bisa menikahi kamu juga?” Raya menegaskan kata-katanya yang membuat Hanum menatapnya begitu lekat. “Kurasa kamu memang sudah tahu bagaimana keadaan kita sekarang? Walau bagaimanapun Mas Raihan harus tetap menikahiku.” Hanum berucap dengan lebih tegas saat ini, yang kembali menyesakkan hati Raya. Raya menilai jika perempuan muda itu begitu percaya diri. Apa semua karena latar belakang dirinya dengan segala kealimannya, membuat Hanum menjadi pantas untuk bisa menjadi pendamping kedua suaminya. Raya mendesah panjang. Ada rasa tidak rela menjadi kian menegas di dalam relung sanubarinya, walau sebagian hatinya menganggap jika dirinya perlu mematut kepantasan dengan latar belakangnya yang selama ini terlalu bebas, bahkan dengan pengetahuannya yang terlalu minim tentang agama, hanya akan menimbulkan keminderan bila dia mema
“Pikirkan kepentingan orang banyak juga, karena pernikahan kamu bersama Hanum sebenarnya untuk kemaslahatan umat.”Kharis kembali melanjutkan kata-katanya.Raihan tetap bergeming, mendengarkan dengan menyajikan ekspresinya yang penuh kegundahan.“Sebagai calon seorang pimpinan umat, kamu membutuhkan seorang pendamping yang pantas Han.”Raihan mendesah panjang. Nuraninya mulai menelaah meski pada akhirnya dia mengambil kesimpulan yang berlainan.“Apa wanita yang aku nikahi sekarang itu tidak pantas?”Raihan memprotes pelan.Kharis menanggapi dengan desahan jengah.“Aku tidak akan mengatakan apapun, tapi aku rasa kamu bisa membandingkan antara istri kamu yang sekarang dengan Hanum.”“Tapi selama ini Raya selalu mendukungku, apa yang dia lakukan secara nyata telah memberikan kontribusi positif untuk masyarakat desa ini, meski dia masih harus banyak belajar untuk mengejar ketertinggalannya dalam ilmu agama. Tapi aku sudah mengajarinya selama ini dan dia memiliki kemauan kuat untuk belajar