Rupanya Papa dan Mama mertua yang lebih dulu datang ke rumah sakit. Keduanya terlihat sangat bahagia menyambut cucu pertama dari putra kesayangan.
Wanita paruh baya itu mendekatiku sambil menggendong Anwar junior, begitulah mereka menyebut bayi yang baru saja lahir itu. Namun, aku bisa melihat kalau ada kesedihan yang terlihat dari sorot matanya.
"Terima kasih, Sayang. Kamu sungguh luar biasa. Lihatlah, dia begitu menggemaskan," ucapnya sambil mencium pipi yang masih sangat halus dan lembut itu, lalu dia beralih mencium keningku.
"Maafkan suamimu yang tidak bisa menemani saat kamu tengah berjuang," imbuhnya. Sekali lagi wanita paruh baya itu mencium kening ini. Aku benar-benar merasa bahagia dan terharu, karena selama ini Mama Ana memang selalu baik dan sayang padaku.
Siapa yang akan tega menyakiti hatinya? Mas Anwar adalah putra kesayangannya. Bagaimana jadinya kalau Mama Ana sampai tahu kebiasaan yang dilakukan putranya tersebut. Apa yang ak
Aku tertawa setelah melihat semua video yang telah dikirim oleh wanita sun-dal itu.Menertawakan kebodohan yang selama ini kujalani. Aku telah tertipu dengan sikap manis Mas Anwar. Sungguh ib-lis tetaplah ib-lis, tak kan pernah berubah menjadi malaikat.Bagaimana pun aku berusaha untuk membantunya pulih, tak akan pernah berhasil kalau dia sendiri masih berhubungan dengan partnernya. Sungguh aku benar-benar merasa bodoh!Lama diri ini merenung, memikirkan nasib diri ini. Apa salahku, Tuhan? Ibu selalu bilang kalau aku adalah anak yang manis juga baik dan kata Bapak tak ada anak yang patuh selain aku. Lalu apa salahku, Tuhan?Aku sudah tak bisa membendungnya lagi, tetes demi tetes butiran bening ini mulai membasahi pipi, kubiarkan saja. Biarlah, biarlah beban ini ikut luntur bersama dengan air mata. Semua rasa ini berkecamuk dalam dada, terasa sesak sehingga sulit untuk bernafas. Terbuat dari apa hati lelaki yang telah menghalalkanku itu? Sehingga dia
Waktu berjalan sangat lambat, itulah yang sedang kurasakan saat ini, hanya bisa mondar-mandir dalam rumah dengan rasa cemas menunggu kedatangan Mas Anwar.Menebak-nebak, kira-kira apa dan bagaimana sikapnya nanti ketika sampai di rumah, setelah dia menerima surat gugatan cerai itu.Senja sudah berlalu, digantikan oleh malam. Namun, lelaki yang pernah menghalalkan diriku itu masih belum juga datang. 'Kemana Mas Anwar' itulah yang saat ini memenuhi pikiranku, karena lelaki yang akan menjadi mantan itu belum juga nampak batang hidungnya.Bintang pun sudah terlelap di ranjangnya, balita itu kelihatan nampak tertidur pulas. Sementara aku masih saja terus mondar-mandir tak jelas, bahkan hampir stress memikirkannya.Aku bergegas keluar kamar saat terdengar pintu depan dibuka, baru saja diri ini melangkah sampai di ambang pintu, tiba-tiba ada yang membekap mulutku. Spontan aku berontak, menendang dan meronta agar bisa terlepas. Namun, us
Emosi seketika memenuhi hati ini, setelah aku menerima surat dari kantor pengadilan, surat yang tak pernah sedikitpun melintas di dalam pikiran. Bagaimana bisa dan kenapa tiba-tiba Rina mengajukan gugatan cerai."Hah!" Aku melempar semua benda yang ada di mejaku untuk menyalurkan amarah.Aku masih tak habis pikir dengan semua ini. Bukankah sikapku sudah berubah, tak lagi menyakitinya. Bahkan aku hampir bisa menguasai emosi saat berhubungan badan dengannya, tapi apa ini?!Kulempar surat gugatan itu, tepat ketika Lisa masuk ke ruangan ini. Wanita kesayanganku itu mengambil kertas yang berserakan di lantai, menyusunnya kemudian mulai membaca."Kabulkan saja, Dear, tapi berikan dia pelajaran dulu," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.Lisa berjalan mendekati, kedua tangannya merangkul leherku. "Aku ada ide," katanya lagi sambil membisikkan sesuatu di telinga ini.Aku tersenyum mendengar idenya, tanpa menunggu lagi kuraih pinggang ra
Aku menangis tergugu di depan rumah orang tuaku sendiri, masih berlutut di tempat yang sama, ketika aku datang tadi.Aku mendongak saat mendengar pintu rumah terbuka, ada sedikit rasa senang di hati ini, hampir saja bibir ini tersenyum. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi, seluruh tubuhku basah, karena tersiram oleh air yang dibawa oleh bapak."Cepat pergi dari rumahku! Jangan kamu kotori halaman rumah ini dengan dosa-dosa yang melekat di tubuhmu!" Bapak mengusirku lagi anak kandungnya sendiri. Lelaki cinta pertamaku itu benar-benar telah termakan oleh kebohongan mas Anwar.Diriku seperti orang yang benar-benar hina, seolah tubuh ini adalah barang yang sangat najis, sehingga bapak, orang yang telah mengukir jiwa ragaku tega memperlakukan hal seperti itu."Pergi!" Kali ini bapak berteriak sambil melempar ember padaku. Sakit akibat terkena lemparan ember tak sebanding dengan sakit hati yang kurasakan.Tetangga sekitar sudah banyak yang keluar rum
Sudah hampir setahun aku berada di kota kecil ini dan selama itu pula masih terus belajar menata hati dan hidupku, sungguh suatu keberuntungan bisa tinggal di lingkungan yang dikelilingi dengan orang-orang baik.Karena kedekatan diantara kami, para warga meminta agar aku membantu mengajar di sebuah taman kanak-kanak yang ada di kampung ini, karena mereka masih kekurangan tenaga pengajar dan dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Sementara siang sampai sore hari aku menerima jasa les untuk anak sekolah dasar. Syukurlah mereka dan para orang tua merasa puas dengan hasil didikan dariku.Sedikit demi sedikit aku juga mulai belajar lagi tentang agama. Hal yang terlupakan selama berumah tangga dengan Mas Anwar. Adalah Pak Imron dan Bu Dewi pasangan suami-istri yang sangat berjasa dalam hidupku. Mereka lah yang selalu menuntun den
"Kita harus secepatnya menikah, Lis. Kalau kamu tidak mau, aku akan mencari wanita lain," katanya seusai kami melakukan aktivitas yang sangat menggairahkan. Kembali Anwar mengungkit tentang pernikahan, sebuah pembahasan yang selalu membuatku jengah.Saat ini lelaki itu sedang duduk di sofa, sepertinya dia sangat kelelahan setelah menuntaskan hasratnya. Aku yang sedang berdiri di depan meja pantry, hanya menatapnya sendu. Dia lelakiku, pujaan hatiku, kini telah dilanda dilema karena tuntutan untuk segera menikah oleh orang tuanya."Kenapa harus menikah sih, Dear? Bukankah begini lebih asyik? Kita bisa saling mencintai tanpa harus terikat satu sama lain," ujarku sambil mendekatinya, memberikan segelas jus jeruk."Papa dan Mama, mereka selalu mendesak agar aku lekas menikah, Lisa. Usiaku sudah 30 tahun, jadi ... kamu mau kan menikah denganku?" tanyanya sekaligus sebuah permintaan yang sangat sulit untuk terkabulkan. Dia mener
Setelah cukup lama berbincang, Papa Haris dan Mama Ana akhirnya berpamitan. Mereka berjanji akan sering-sering datang ke sini untuk menengok Bintang. Sebenarnya mereka sangat berat jika harus berpisah dengan cucunya ini. Namun, mereka tidak mau egois, Mama Ana paham kalau Bintang lebih membutuhkanku, ibunya.Mereka juga menawarkan agar Mbak Sari—baby sitter—yang selama ini mengasuh Bintang, untuk tinggal di sini. Namun, dengan sopan aku menolaknya."Semua akan baik-baik saja, Ma. InsyaAllah aku bisa merawat Bintang dengan baik. Terima kasih atas segala perhatianmu." Mama Ana menatapku kemudian tersenyum lembut sambil mengangguk."Aku percaya padamu, Rin. Seharusnya dari dulu kami melakukan ini, maaf," ucapnya. Aku pun hanya tersenyum menanggapi ucapanya.Sebelum mereka beranjak keluar rumah, Mama Ana memberikan sebuah amplop yang cukup tebal padaku, kembali dengan sopan aku menolaknya.
Ayo! Lekas padamkan apinya!" Teriakan itu terdengar diantara riuh suara orang-orang yang ada di sini, mereka bersorak kegirangan menyaksikan si jago merah yang sedang mengamuk membakar apa saja yang disentuhnya."Padamkan apinya!" Kembali suara itu terdengar. Seorang lelaki berhasil menembus kerumunan, samar-samar terlihat dia tengah membawa ember dan menyiramkan air pada api yang berkobar semakin besar.Beberapa warga yang menyaksikan lelaki itu tergerak ikut membantu. Mereka berlarian berhamburan mencari apa saja untuk mengambil air.Aku tidak begitu jelas melihat siapa lelaki itu, pandangan ini kabur tertutup oleh air mata. Seseorang telah memapah diri ini, hanya bisa pasrah kerena tubuh terasa lemas tak berdaya.Dengan tertatih aku terus melangkah sambil mendekap Bintangku, meninggalkan rumah yang ebtah bagaimana bentuknya. Dengan tegas aku menolak saat seseorang mencoba membatu dengan mengambil alih B