Share

KEMARAHAN IBU part 5

last update Last Updated: 2023-03-23 11:40:02

"Saya bukan pacarnya, Pak," kataku.

"Lah, terus apa?" tanya si Bapak.

"Calon istri."

Tukang pentol itu berkata dengan santainya membuat Risma dan Nina tersedak pentol karena kaget. Aku? Jangan ditanya lagi, aku mendelik menatap si tukang pentol yang asal ceplos.

"Bercanda, Pak," katanya.

Hah, bercanda? Bercanda model apaan yang wajahnya tanpa ekspresi terkesan datar seperti itu.

"Saya bukan siapa-siapanya, Pak. Lagian saya juga cuma pembeli kaya Bapak."

Ah, akhirnya aku menjelaskan kepada Bapak ini agar ia mengerti dan tak salah paham. Bapak itu malah tertawa.

"Ada-ada saja anak muda zaman sekarang mah tingkahnya."

"Yok, jalan cari makanan ke tempat lain!" ajakku pada Risma dan Nina.

Kami pun pergi meninggalkan tukang pentol bersama dengan gerobaknya. Dapat kulihat dari ujung mataku kalau ia memerhatikan kepergian kami bertiga.

Dert!

Ponselku bergetar, segera aku mengambilnya dari saku celana. Ada notifikasi pesan WA dari Mbak Laras. Cepat jemariku bergulir ke aplikasi berwarna hijau tersebut.

'Ara, kelakuanmu memang memalukan. Jika belum bisa bahagiakan Ibu, setidaknya jangan membuatnya harus menanggung malu lagi karena mu! Ngapain kamu pulang kerja malah pacaran sama tukang pentol? Malu-maluin saja! Ibu akan sangat malu jika mengetahui ini!'

Huh, aku menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Ternyata Mbak Laras ada di sekitar taman ini dan melihat aku membantu tukang pentol tadi. Tapi 'kan aku hanya membantu bukan seperti yang Mbak Laras tuduhkan. Kenapa sih selalu main tuduh saja.

'Nggak seperti yang Mbak tuduhkan, aku cuma membantu untuk menjualkan pentol itu selagi abangnya tadi pergi ada urusan. Kebetulan tadi aku beli dan si abangnya memintaku untuk menjaga gerobaknya sebentar. Makanya cari tau dulu sebelum menuduh, Mbak!' balasku tegas.

Aku memilih duduk di ayunan, semangatku untuk jalan-jalan malah melebur karena tuduhan Mbak Laras. Ini akan membuat Ibu bertambah benci padaku.

"Kenapa lagi, Ra?" tanya Risma.

Aku tak menjawab pertanyaanya dan langsung menunjukkan isi chattinganku dengan Mbak Laras.

"Yaelah, sudah biarin saja. Mbakmu mah negatif mulu pikirannya. Lagian 'kan terserah kamu juga mau menjalin dan dekat dengan siapa saja. Toh, tukang pentol pun manusia!" omel Risma.

Risma langsung memberikan ponselku kepada Nina untuk ikut membaca pesan dari Mbak Laras.

"Biarin saja, Ra. Cuekin saja nggak usah digubris, niat kita ke sini 'kan mau happy cari kulineran. Nggak usah membuat moodmu rusak karena hal ini," imbuh Nina.

Aku mengangguk pelan dan sekali lagi menarik napas panjang lalu mengembuskannya.

"Kita cari martabak telur, ya, nanti kalau mau pulang untuk ibuku."

"Oke, nanti kita beliin orang tuamu makanan biar mereka senang. Ayahmu mah pasti senang, tapi nggak tau kalau ibumu. Ibumu 'kan sikapnya agak lain, Ra, maaf ya." Nina berkata.

Ya, aku paham maksud ucapan Nina. Makanan apapun tak akan membuat sikap ibu menghangat padaku.

"Nggak papa, belikan saja. Toh, setidaknya aku sebagai anak sudah mencoba untuk bersikap baik dan berbakti," ujarku pelan.

****

Aku pulang setelah melaksanakan salat Isya di masjid jalan bersama Nina dan Risma. Ayah sepertinya belum pulang karena motornya belum ada di halaman.

"Assalamualaikum," ucapku sambil kaki melangkah masuk ke dalam setelah membuka knop pintu.

Tak ada jawaban dari Ibu maupun Mbak Laras di dalam. Aku menaruh martabak telur dan cakwe yang aku beli tadi di atas meja, lalu masuk ke dalam kamarku untuk menaruh tas. Sekalian aku mengambil handuk lalu pergi mandi.

Selesai mandi dan berpakaian aku kembali ke ruang televisi yang biasa digunakan untuk kumpul keluarga.

Ruang televisi dan ruang tamu jaraknya tak jauh. Martabak dan cakwe yang tadi aku beli ternyata masih berada di atas meja.

Aku mengambilnya dan kubawa ke ruang televisi. Kamar Ibu tertutup rapat sedangkan kamar Mbak Laras ada celah sedikit terbuka.

Kudekatkan diri dan melihat lewat celah, ternyata Ibu sedang berada di dalam kamar Mbak Laras.

Mbak Laras tengah asik merebahkan kepalanya di pangkuan Ibu sambil memainkan ponsel dan mengobrol dengan Ibu, sesekali mereka tertawa karena suatu hal.

Ada sesak di dalam dada, hal yang tak pernah aku dan Ibu lakukan dari dulu. Bahkan, untuk mengelus ataupun mengusap lembut kepalaku saja Ibu tak pernah.

Tok! Tok!

"Mbak, Ibu. Aku pulang bawa martabak sama cakwe nih," ujarku seraya mengetuk pintu kamar Mbak Laras.

Kembali aku duduk dan menyalakan televisi sambil menunggu mereka keluar dari dalam kamar.

"Enak, ya, pulang kerja langsung pacaran sama tukang pentol?" hardik Ibu berkacak pinggang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM   Masa lalu 2 part 20

    Mata Rasti mengembun, ia sadar jika Zahra tak bersalah. Namun saat melihat wajah Zahra rasa traumanya kembali munculDi mana saat itu ia kembali bertemu dengan mantan kekasihnya dahulu yang bernama Rusli. Hubungan keduanya kandas karena adanya orang ketiga, Rusli dikabarkan menjalin cinta dengan wanita lain karena perjodohan orang tuanya."Bagaimana kabarmu, sudah lama semenjak kamu menikah kita tidak pernah bertemu lagi?" tanya Rusli yang bertemu dengan Rasti di taman sedang mengajak main Laras."Baik," sahut Rasti singkat.Dulu memang ia begitu mencintai Rusli, cuma karena orang tuanya Rusli tak setuju dengan hubungan mereka. Rusli pun dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya.Rasti yang sadar hubungannya ditentang pun memilih mundur. Apalagi ia kerap kali dihina karena tak selevel dengan Rusli dan keluarganya."Ini anakmu bersama Firman?" tanya Rusli menjawil pipi gembil Laras."Ya, ini anak kami. Bagaimana denganmu, apakah sudah memiliki anak?""Belum." Rusli menggelengkan ke

  • MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM   Masa lalu Part 19

    POV Author "Ayah." Suaranya bergetar menahan tangis ketika menatap ayahnya yang terbaring lemas. Ayahnya menoleh pelan dan menatap sendu ke arah Zahra, buliran bening nampak luruh dari pelupuk matanya saat anak kesayangannya datang. "Nak," panggilnya pelan dengan wajah pucat. Zahra langsung masuk dan berhambur ke dalam pelukan sang Ayah. Air matanya berderai, bahunya bergunjang hebat mengetahui bahwa ayahnya terbaring sakit. "Maafin Ara, maaf Ara nggak balas pesan-pesan Ayah." Masih dalam dekapan sang Ayah dengan tangis yang semakin kencang. "Nggak apa-apa, Ayah mengerti bagaimana perasaanmu, Nak. Jangan menyalahkan diri sendiri, sedang perasaanmu saja terluka." "Ara durhaka sama Ayah." Tangisnya semakin kencang. "Jangan bicara seperti itu, Nak. Ara anak yang sangat baik, tolong jangan menjauhi Ayah lagi setelah ini. Ayah tetaplah ayahmu, Ra. Rasa sayang Ayah tak pernah pudar selama ini untukmu." Mereka berdua sama-sama menangis, kondisi Firman membuat hati Zahra meri

  • MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM   BERTEMU AYAH part 18

    "Bukan, cuma teman saja kok," kataku tersenyum."Oh, kirain pacarnya Mas Dayyan," ucapnya lagi."Lebih tepatnya baru calon," sahut Dayyan.Aku menyenggol lengannya dan menatapnya kesal. Lalu pamit masuk ke dalam kepada orang-orang yang sedang ngerumpi."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam, duh ... pucat amat mukamu, Ra." Risma dan Nina beranjak dari kasur.Tok! Tok!"Siapa ya?" tanya Risma."Waaah, tukang pentol. Ngapain, Bang? Si Zahra mesan pentol kah?" tanya Risma."Bukan, ini tadi makanan punya temanmu ketinggalan di motorku."Lho, lho, apa-apaan dia tuh. Perasaan semua itu dia yang beli kenapa semuanya jadi punyaku."Tadi 'kan itu kamu yang beli semuanya.""Sengaja aku beli ini semua untuk kamu, mau taruh di mana?" tanyanya dengan wajah datar.Risma dan Nina saling bersitatap dan saling menyenggol lengan. Kadang mereka berbisik, mungkin sedang membicarakanku dan Dayyan.Oh, ya, aku baru teringat sesuatu. Bukankah waktu itu ada bapak-bapak langganan pentolnya, lalu memanggil nama Da

  • MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM   OH, TERNYATA? part 17

    "Kenapa ada di sini?" tanyaku yang masih kaget akan kehadirannya."Kebetulan saja lewat di sini dan aku melihatmu," sahutnya dengan santai."Oh." Aku menjawab singkat."Ayo, naik!" Suara barintonnya mengintruksi lagi."Naik ke mana?""Motor lah, ke mana lagi? Cepat, wajahmu terlihat pucat!" tegasnya.Dih, tukang pentol berubah haluan jadi tukang cilung ini kenapa sikapnya seperti ini padaku."Maaf, Bang. Aku saja nggak kenal kamu, tau namamu saja belum. Lalu tiba-tiba selalu muncul seperti jelangkung!" imbuhku.Lelaki yang belum aku ketahui namanya itu lantas turun dari motornya dan berdiri di sampingku. Lalu sebelah tangannya terulur dan memegang keningku seperti dokter yang tengah memeriksa seorang pasiennya."Demam," katanya."Jadi namanya Demam?" tanyaku mengernyitkan kening."Badanmu demam!" ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi."Terus namamu siapa? Kenapa selalu kebetulan sekali setiap kita bertemu?" tegasku."Dayyan." Ia meraih tanganku untuk bersalaman."Oh, aku Zahra." Aku kem

  • MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM   KEBETULAN LAGI? part 16

    "Kamu ngomong sama siapa sih, Ra?" tanya Risma.Kemudian Risma dan Nina menoleh ke belakang, dan mereka berdua terkejut dengan kehadiran tukang pentol yang berubah jadi tukang cilung ini yang sekarang bersejajar jalan di sampingku."Lah, ketemu lagi kita, Bang?" tegur Nina.Dengan wajah datarnya lelaki itu berjalan lebih cepat mendahului kami. Dih, tadi saja ikutan jalan di sampingku."Eh, kok, ketemu mulu ya. Itu dia pakai baju rumahan, apa rumahnya di sekitar sini?" tanya Risma.Aku mengendikkan bahu tanda tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak dan hanya kebetulan saja bertemu lagi. Kebetulan tapi kok sering banget ya. Aneh."Jadi mau makan apa nih kita?" tanya Risma."Tuh di sana kayanya ada nasi goreng. Aku mau nasi goreng saja deh. Pakai telur dua, yang satu di orak arik, yang satunya di dadar," imbuhku."Oke, kita beli nasi goreng saja. Nah, itu juga ada tukang gorengan tuh. Duh, mudah-mudahan masih ada singkong goreng sama cireng," ujar Nina semangat.Gegas kami berjalan me

  • MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM   BERTEMU LAGI part 15

    Setelah tadi dikirimkan lokasi kosan ku kini Nina sudah sampai di sini. Ia juga terlihat suka dengan kosan pilihanku."Jadi kamu mau pindah sekarang, Ra?" tanya Nina."Iya, habis ini aku sama yang lain mau ke rumah Risma buat ambil semua barangku dan berpamitan kepada orang tuanya Risma," ujarku."Aku ikut, aku juga mau menginap di sini, boleh kan?" tanyanya."Ya bolehlah, aku malah senang ditemanin."Kini kami menikmati makan siang yang sudah kesorean setelah selesai salat Asar terlebih dahulu.Nina juga membawakan makanan dan cemilan untukku. Lumayanlah untuk mengisi kulkas, hehehe."Berangkat sekarang?" tanya Mas Arif menoleh ke arahku."Boleh, biar beresnya nggak kemalaman nanti," kataku.Selesai menghabiskan makanan gegas kami bersiap untuk ke rumah Risma untuk mengambil barang-barangku.****"Tante, Om, aku izin pamit ya. Terima kasih sudah dikasih izin menumpang di sini beberapa hari, maaf kalau Ara merepotkan." Kucium takzim punggung tangan mereka bergantian."Sama-sama, Ara.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status