Salju pertama turun sore itu. Seluruh anggota Keluarga Argent memandangi hamparan putih yang mereka pijak.
Kota Moonwood menyambut kedatangan para makhluk berdarah dingin itu dengan butiran putih yang turun dari langit.
Satu persatu dari mereka memasuki pekarangan rumah bergaya classic itu. Rumah yang akan mereka jadikan sebagai tempat berlindung baru, –persembunyian dari kejaran para Skarsgard.Rumah itu jauh lebih besar dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Semuanya terlihat begitu nyaman. Bahkan, Malia banyak tersenyum sejak ia memasuki rumah itu untuk pertama kalinya.Ia tampak begitu senang. Dengan suaranya yang riang, dalam sudut pandang Malia, suasana rumah itu terasa seperti suasana tempat tinggal keluarga aslinya, Keluarga Hale.
Loui yang sejak memijakkan kedua kakinya di tanah Moonwood hanya memperhatikan segala keriangan yang dibuat Malia. Mengulas senyum tanpa henti.Bahagia Malia adalah bahagianya juga.Baginya, Malia adalah happy virus. Tidak. Bukan hanya baginya, tapi bagi semua anggota Keluarga Argent. Malia adalah salah satu sumber kebahagiaan yang mereka miliki.Malia berlarian kesana kemari, mencari seseorang yang sejak tadi belum juga muncul di hadapannya."Hey, Leona!" pekik Malia saat menemukan sosok yang ia cari sejak beberapa menit lalu.
"Lihat! Rumah ini memiliki tungku perapian yang cantik. Rasanya rindu sekali melihat keberadaan tungku perapian di dalam sebuah rumah." ucap Malia pada Leona seraya menunjuk tungku perapian yang tengah menyala.
"Apa istimewanya memiliki tungku perapian? Bahkan untuk mendekat saja kami tidak akan pernah berani." ucap Leona ketus.
Dalam sudut pandang Malia, Leona tengah menahan amarah karena ulahnya.
Leona menatap Malia dengan tajamnya. Gadis itu segera menurunkan pandangannya seraya mengucap maaf. Namun Leona tak memedulikan segala bentuk permohonan maaf yang terlontar dari katup Malia.Leona terus menatapnya lurus seolah ingin memastikan sesuatu.Apakah Malia terluka? Batin Leona.Namun bukan Leona namanya kalau mau berterus terang dengan perasaannya. Leona akhirnya buka suara. "Lain kali hati-hati!" tegurnya. "Lihat seperti apa isi gelasnya! Paling tidak, pastikan dulu baunya. Yang kau siram tadi white wine, Malia. Bukan air. Untunglah kau tidak apa-apa." jelas Leona dengan penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.Gadis itu pun beranjak –meninggalkan Malia setelah berhasil meluapkan semua kekesalannya.Malia menoleh dan memandangi punggung Leona yang perlahan menghilang dari pandangan.
Ia mengulas senyum simpul lalu berkata, "Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Leona.""Jangan tersinggung dengan sikap dingin Leona," ujar Loui tiba-tiba.Entah sejak kapan lelaki bertubuh jangkung itu telah berdiri di sisi kanannya sembari mengulas senyum manis andalannya. Senyum yang menampilkan sebuah lesungan cukup dalam di sisi kanan dan kirinya. Membuat wajah tampannya nampak semakin menawan.Suara lembut Loui selalu berhasil membuat Malia merasa tenang bahkan saat dalam keadaan terkejut sekali pun.Malia kembali menoleh ke sisi kanannya, menatap tajam laki-laki yang tengah tersenyum padanya. Senyum yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup tak beraturan seperti saat ini.Entah degupannya terlalu kencang atau memang rungu Loui yang terlalu sensitif terhadap hal remeh seperti itu. Loui kembali mengulas senyum yang lebih lebar dari sebelumnya saat mendengar jelas degupan milik Malia.
Malia membilak saat paham dengan arti senyuman itu. Ia menunduk seraya menekan dada dengan kedua tangannya. "Dia pasti mendengarnya." batin Malia.Loui memberikan gelengan samar tanpa arti. Ia mengulurkan tangan kirinya –mengusap puncak kepala Malia dengan lembutnya.Sepersekian detik berikutnya Loui membuka katup mulutnya dan berkata, "Jangan tersinggung. Leona sebenarnya khawatir padamu."Malia menoleh, lalu di detik berikutnya ia memberi anggukkan kecil sembari mengulas senyum manis saat netranya menangkap tatapan hangat Loui."Iya. Aku mengerti, Loui." ucapnya. "Leona memang sering bersikap dingin dan ketus, tapi ia selalu punya alasan baik untuk sikapnya itu. Aku tidak salah, 'kan?" imbuh Malia.
"Ekhm!" Seseorang berdeham; di susul dengan suara hentakan sepatu yang saling bersahutan –semakin mendekat.
Loui dan Malia menoleh ke sumber suara, lalu memandangi seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu sembari melipat kedua tangannya. Keduanya mengulas senyum seraya membawa tungkai masing-masing, –mendatangi sosok tersebut.
Malia terkekeh pelan saat berhasil memijakkan kedua kakinya di hadapan pria yang tidak lebih tinggi dari Loui itu."Paman Stefan. Terima kasih banyak karena sudah membawaku ke kota ini." ucap Malia riang.
"Kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Malia. Lagipula..." Stefan sengaja menggantung kalimatnya; ia menoleh ke sisi kirinya selama lima detik, lalu menatap Loui yang tengah asyik memandangi tungku perapian di belakang sana.
"Lagipula aku tidak ingin anakku patah hati jika aku tak membawamu kesini, Malia." Stefan menggoda anak sulungnya itu.
"Siapa yang akan patah hati, paman?" tanya Malia tanpa basa-basi.
"Kenapa kau masih memanggilnya paman, Malia?" Loui berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang hendak dibuka lebar oleh Malia.
"Mulai sekarang panggil aku ayah. Karena..." Stefan mengambil jeda. Ia menepuk lengan Malia sembari mengulas senyum simpul khasnya. Senyum yang sama dengan yang di miliki Loui.
Loui mendesah pasrah. Ia tahu betul apa yang akan Stefan katakan selanjutnya. Setelah sekian lama bungkam, akhirnya ia angkat bicara –mencoba menghentikan keusilan selanjutnya.
"Karena kau sudah menjadi bagian dari Keluarga Argent." imbuh Loui.
Tanpa basa-basi dan berusaha menghindari keusilan lainnya, Loui memutuskan pergi meninggalkan Malia bersama Stefan.
"Paman?" panggil Malia ragu.
Gadis itu masih rela berlama-lama memandangi punggung Loui yang semakin menjauh dari pandangan. Ia bahkan tak memperhatikan wajah orang yang hendak ia ajak bicara saat itu.
"Aku di sini, Malia." Stefan menjentikkan jemari tangannya saat ia berhasil menghalangi pandangan Malia.
Malia terkekeh pelan. Merasa malu karena telah mengabaikan orang yang hendak ia ajak bicara beberapa saat lalu.
"Maaf, pa–" Malia segera menggeleng setelah menyadari ucapannya. "Maksudku, ayah."
"Ada apa?"
"Sebelumnya... Ayah menyebut kalau akan ada yang patah hati jika aku tak ikut kemari bersama kalian."
Stefan mengangguk. "Hm. Lalu?"
"Siapa dia, ayah?"
Stefan tertawa kecil melihat wajah polos Malia saat menanyakan hal yang sudah sangat jelas jawabannya. "Kau benar-benar tidak tahu, Malia?" Stefan penasaran.
Malia menggeleng. "Tidak, ayah."
Stefan mengangguk lalu menjawab, "Kau akan segera tahu siapa yang ku maksud."
Malia mendesah pasrah seraya menurunkan pandangannya; memandangi jemari tangannya yang tengah ia remas."Bolehkah aku berharap kalau orang yang ayah maksud adalah Loui?" batinnya.***
To be continue
***
Di tempat lain, tak begitu jauh dari kediaman Keluarga Argent, seorang wanita tampak sibuk –hilir mudik kesana-kemari, menjajakan berbagai macam makanan yang akan mereka santap malam itu. Erin Cooper. Seorang ibu tunggal yang menjadi tulang punggung keluarga sejak kepergian suaminya, sepuluh tahun lalu. Pagi hingga sore hari ia akan sibuk dengan segala macam pekerjaan kantor, malamnya ia menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu bagi kedua anak kembarnya. Gabriel dan Ashton.Sekilas keluarga kecil itu nampak seperti keluarga biasa pada umumnya. Namun kenyataannya mereka bukan dari kalangan keluarga biasa. Erin adalah istri dari Dennis Cooper –seorang werewolf yang paling disegani di Kota Moonwood. Dennis meninggal sepuluh tahun lalu saat terjadi perselisihan antara klan werewolves dan klan vampire, –kematian Dennis masih menjadi mister
"Katakan yang sejujurnya. Siapa yang telah mengubahmu menjadi seorang Hybrid, Archie?" tuntut Ash.Archie menggaruk ujung alisnya, ia benar-benar sudah ketahuan. "Ah. Itu... Sebenarnya, aku juga tidak tahu pasti siapa yang melakukannya saat itu. Karena-"Archie terperangah. Ia belum benar-benar menyelesaikan kalimatnya, namun Ash dengan begitu tenang menyela ucapannya."Apa sang Purebloods itu ada di dalam sana?" tanya Ash seraya mengulurkan telunjuk kanannya ke bangunan megah Mitchell mansion yang terpampang jelas di hadapan mereka.Ini bahaya. Ash tak melepaskan tatapan tajamnya barang sedetik pun dari bangunan megah itu. Ia berusaha memindai, mencari pelaku yang telah mengubah sahabatnya itu.Meski tatapan dan nada bicaranya begitu tenang, hal itu justru membahayakan. Ash tengah mengumpulkan seluruh ke
Masih di ruangan yang sama, semua anggota Keluarga Argent memberikan seluruh atensinya pada Charles seorang. Ia menyimpan sendiri kegusarannya, dan berhasil membuat anak juga cucunya merasa khawatir –penasaran dengan penyebabnya.Ketiga cucunya mendekat, lalu berdiri melingkari sang kakek."Apa mulut Kakek tidak terasa asam? Kakek menjadi pendiam setelah bersentuhan dengan bocah hybrid tadi." cecar Leona.Leona merotasikan bola matanya saat Charles tiba-tiba tertawa geli melihat tingkah dan ucapannya.Tidak. Bukan hanya Charles, tapi semua orang yang ada di ruangan itu pun ikut tertawa. Ia melemparkan tatapan nyalangnya pada mereka yang telah menertawainya sejak beberapa saat lalu."Bisakah Kakek berhenti tertawa? Bukan saatnya untuk menertawakanku, kek." Leona bersungut-sungut.
"Ashton! Kemarilah, Nak." panggil Erin saat pintu depan rumahnya berderit disusul suara langkah kaki.Ash segera menegakkan tubuhnya setelah berhasil menutup rapat pintu –dihampirinya Erin dengan langkah panjangnya. "Maaf, Bu. Aku lupa kalau hari ini kita punya acara makan malam bersama." jelasnya.Erin segera memeluk putranya sambil lalu mengucap selamat disertai serangkaian doa dan harapannya pada sang sulung.Ash bergeming. Ia mengeratkan pelukannya pada Erin."Aku hampir membuat keributan, bu." lirih Ash."Apa kau membuat keributan di Mitchell Hills, Ash?" Erin penasaran.Di sepersekian detik berikutnya Ash melepaskan pelukannya, –menatap ke dalam netra sendu milik Erin.
Malia tengah asyik menuangkan air panas ke dalam mug besar kesayangannya. Senyumnya mengembang saat mendengar suara langkah kaki yang bersahutan semakin mendekat padanya."Loui. Kita bisa mengobrol di balkon kamarmu, 'kan? Aku tidak ingin memandangi bulan sen-" Malia melonjak kaget saat berbalik; Luca berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan sendu.Malia terus menyunggingkan senyum manisnya –ia berusaha keras mencairkan kecanggungan yang baru saja dibuatnya tanpa sengaja. "Mau bercerita tentang sesuatu?" tanya Malia penuh semangat.Luca beranjak, berjalan mendahului setelah memberikan sebuah anggukkan sebagai jawaban.Malia mengekorinya dengan canggung. Ia benar-benar bingung dan merasa tak enak hati. Ia memanggil nama Loui sebelum berbalik dan memastikan siapa yang mendatanginya saat itu.
"Kakak! Apa kau membuat Malia marah?" Leona angkat bicara setelah hampir tiga puluh menit hening karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.Loui fokus mengemudi dan memperhatikan jalanan di depannya. Luca yang duduk di belakangnya sedang tenggelam bersama buku tebal yang ada dalam genggamannya.Malia yang hari itu memilih duduk di samping Luca menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, sambil memejamkan mata –berpura-pura tidur."Loui Argent! Can you hear me?" Leona memiringkan sedikit kepalanya; memperhatikan Loui yang begitu asyik mengendarai mobil baru mereka.Loui melirik Leona sekilas, lalu kembali memberikan seluruh atensinya pada jalanan di depan mereka. Ia terkekeh pelan saat menangkap raut kesal yang ditunjukan Leona padanya. "Kita bicarakan itu nanti, Leona Argent." bisiknya.Leona menci
"Leona, kami tunggu di parkiran, ya? Sepertinya Ash ingin membicarakan banyak hal."Malia segera menarik Loui –membawanya pergi meninggalkan Leona bersama Ash.Mereka menghentikan langkahnya saat netra keduanya menangkap Leona dan Ash pergi menuju hutan belakang gedung Universitas.Awalnya, Malia dan Loui ingin membiarkan mereka menyelesaikan urusan yang harus mereka selesaikan. Namun saat indera penciuman Loui menangkap bau yang sangat tak asing. Ia menjadi khawatir.Segera Loui membawa Malia ke tempat di mana Gabe dan Archie berada –menitipkan Malia pada keduanya."Hey!" pekik Malia. "Memangnya aku barang? Kenapa kamu menitipkanku pada mereka?" Malia bersungut-sungut kesal mendengar kata 'titip' yang Loui ucapkan pada Gabe dan Archie.Loui mengulas senyum simpulnya seraya mengusap puncak kepala Malia dengan lembut dan berkata, "Ma
Satu-satunya mansion megah yang ada di area Mitchell Hills kedatangan seorang tamu. Salah satu orang penting Kota Moonwood. Erin Cooper, istri mendiang Dennis Cooper sahabat lama Charles juga Stefan Argent."Akhirnya kita bisa bertemu dan minum teh bersama seperti ini," ujar Stefan setelah menyesap tehnya dan meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. "Anak kembarmu sudah beranjak dewasa ya, Erin." lanjutnya diiringi senyum simpul.Erin salah tingkah –entah harus senang atau merasa malu, sebab Ash telah lebih dulu menemui Stefan juga Charles –kawan lama sang suami dengan meninggalkan kesan buruk."Aku minta maaf soal itu. Dia terlalu sensitif tentang semua yang berhubungan dengan pack-nya." ucap Erin pada Stefan dengan senyum kikuk di akhir kalimat.Charles hanya tersenyum saat mendengar pen