Share

FIREPLACE

Salju pertama turun sore itu. Seluruh anggota Keluarga Argent memandangi hamparan putih yang mereka pijak. 

Kota Moonwood menyambut kedatangan para makhluk berdarah dingin itu dengan butiran putih yang turun dari langit.

Satu persatu dari mereka memasuki pekarangan rumah bergaya classic itu. Rumah yang akan mereka jadikan sebagai tempat berlindung baru, –persembunyian dari kejaran para Skarsgard.

Rumah itu jauh lebih besar dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Semuanya terlihat begitu nyaman. Bahkan, Malia banyak tersenyum sejak ia memasuki rumah itu untuk pertama kalinya.

Ia tampak begitu senang. Dengan suaranya yang riang, dalam sudut pandang Malia, suasana rumah itu terasa seperti suasana tempat tinggal keluarga aslinya, Keluarga Hale.

Loui yang sejak memijakkan kedua kakinya di tanah Moonwood hanya memperhatikan segala keriangan yang dibuat Malia. Mengulas senyum tanpa henti.

Bahagia Malia adalah bahagianya juga.

Baginya, Malia adalah happy virus. Tidak. Bukan hanya baginya, tapi bagi semua anggota Keluarga Argent. Malia adalah salah satu sumber kebahagiaan yang mereka miliki.

Malia berlarian kesana kemari, mencari seseorang yang sejak tadi belum juga muncul di hadapannya.

"Hey, Leona!" pekik Malia saat menemukan sosok yang ia cari sejak beberapa menit lalu.

Dengan setengah berlari juga mulut yang bersenandung riang, Malia mendatangi Leona yang tengah berdiri mematung di hadapan sebuah patung ksatria berpedang.

Leona bergeming. Ia masih asyik memperhatikan segala detail yang ada pada patung ksatria tersebut. Dengan sigap Malia menarik salah satu tangan Leona saat dirinya berhasil menghampiri gadis berperawakan tinggi itu.

Gadis itu membawa Leona menuju ruangan lain, seolah ingin menunjukan sesuatu yang berharga padanya.

Leona mendesah pasrah. Dengan terpaksa ia memenuhi ajakan Malia.

Kedua gadis itu memasuki satu-satunya ruangan dengan penerangan minim, –menghampiri sebuah tungku perapian besar dengan patung cupid di sisi kanan dan kirinya.

"Lihat! Rumah ini memiliki tungku perapian yang cantik. Rasanya rindu sekali melihat keberadaan tungku perapian di dalam sebuah rumah." ucap Malia pada Leona seraya menunjuk tungku perapian yang tengah menyala.

Malia melompat kegirangan saat Leona ikut memandangi tungku perapian yang ia tunjukan padanya. Tatapannya lurus tanpa ekspresi.

"Apa istimewanya memiliki tungku perapian? Bahkan untuk mendekat saja kami tidak akan pernah berani." ucap Leona ketus.

Leona pun menoleh lalu menatap gadis itu lamat-lamat. "Api hanya akan membuat kami mati." katanya.

Ucapan Leona sukses memudarkan senyuman yang menghiasi wajah Malia.

Segera Malia mengambil sebuah cangkir berisikan cairan bening dari atas meja bulat yang ada di tengah ruangan. Dengan berat hati, ia siramkan air dalam gelas itu ke dalam kobaran api.

Namun siapa sangka kobarannya justru semakin membesar –hampir menyambar surai panjang Malia yang kala itu berdiri di depan tungku perapian. Persis.

Jika saat itu Leona tidak bergerak cepat, surai juga tubuh mungil Malia sudah terlalap api.

Malia tergugu saat netranya menangkap aura dingin yang terpancar dari manik hazel Leona yang kini telah berubah warna –merah. Yang ia artikan sebagai sinyal buruk.

Dalam sudut pandang Malia, Leona tengah menahan amarah karena ulahnya.

Leona menatap Malia dengan tajamnya. Gadis itu segera menurunkan pandangannya seraya mengucap maaf. Namun Leona tak memedulikan segala bentuk permohonan maaf yang terlontar dari katup Malia.

Leona terus menatapnya lurus seolah ingin memastikan sesuatu.

Apakah Malia terluka? Batin Leona.

Namun bukan Leona namanya kalau mau berterus terang dengan perasaannya. Leona akhirnya buka suara. "Lain kali hati-hati!" tegurnya. "Lihat seperti apa isi gelasnya! Paling tidak, pastikan dulu baunya. Yang kau siram tadi white wine, Malia. Bukan air. Untunglah kau tidak apa-apa." jelas Leona dengan penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.

Gadis itu pun beranjak –meninggalkan Malia setelah berhasil meluapkan semua kekesalannya.

Malia menoleh dan memandangi punggung Leona yang perlahan menghilang dari pandangan.

Ia mengulas senyum simpul lalu berkata, "Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Leona."

"Jangan tersinggung dengan sikap dingin Leona," ujar Loui tiba-tiba.

Entah sejak kapan lelaki bertubuh jangkung itu telah berdiri di sisi kanannya sembari mengulas senyum manis andalannya. Senyum yang menampilkan sebuah lesungan cukup dalam di sisi kanan dan kirinya. Membuat wajah tampannya nampak semakin menawan.

Suara lembut Loui selalu berhasil membuat Malia merasa tenang bahkan saat dalam keadaan terkejut sekali pun.

Malia kembali menoleh ke sisi kanannya, menatap tajam laki-laki yang tengah tersenyum padanya. Senyum yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup tak beraturan seperti saat ini.

Entah degupannya terlalu kencang atau memang rungu Loui yang terlalu sensitif terhadap hal remeh seperti itu. Loui kembali mengulas senyum yang lebih lebar dari sebelumnya saat mendengar jelas degupan milik Malia.

Malia membilak saat paham dengan arti senyuman itu. Ia menunduk seraya menekan dada dengan kedua tangannya. "Dia pasti mendengarnya." batin Malia.

Loui memberikan gelengan samar tanpa arti. Ia mengulurkan tangan kirinya –mengusap puncak kepala Malia dengan lembutnya.

Sepersekian detik berikutnya Loui membuka katup mulutnya dan berkata, "Jangan tersinggung. Leona sebenarnya khawatir padamu."

Malia menoleh, lalu di detik berikutnya ia memberi anggukkan kecil sembari mengulas senyum manis saat netranya menangkap tatapan hangat Loui.

"Iya. Aku mengerti, Loui." ucapnya. "Leona memang sering bersikap dingin dan ketus, tapi ia selalu punya alasan baik untuk sikapnya itu. Aku tidak salah, 'kan?" imbuh Malia.

Loui mengangguk tanpa ragu. Ia membenarkan apa yang baru saja ditanyakan Malia. "Leona hanya tak ingin kau terluka, Malia." tegasnya.

Kini giliran Malia mengangguk. "Aku tahu, Loui." lirihnya.

"Ekhm!" Seseorang berdeham; di susul dengan suara hentakan sepatu yang saling bersahutan –semakin mendekat.

Loui dan Malia menoleh ke sumber suara, lalu memandangi seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu sembari melipat kedua tangannya. Keduanya mengulas senyum seraya membawa tungkai masing-masing, –mendatangi sosok tersebut.

Malia terkekeh pelan saat berhasil memijakkan kedua kakinya di hadapan pria yang tidak lebih tinggi dari Loui itu.

"Paman Stefan. Terima kasih banyak karena sudah membawaku ke kota ini." ucap Malia riang.

"Kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Malia. Lagipula..." Stefan sengaja menggantung kalimatnya; ia menoleh ke sisi kirinya selama lima detik, lalu menatap Loui yang tengah asyik memandangi tungku perapian di belakang sana.

"Lagipula aku tidak ingin anakku patah hati jika aku tak membawamu kesini, Malia." Stefan menggoda anak sulungnya itu.

Sayangnya ucapan Stefan sama sekali tak berhasil mengalihkan atensi Loui dari tungku perapian yang tengah menyala itu, namun justru Malia yang terpancing oleh ucapan Stefan sebelumnya.

"Siapa yang akan patah hati, paman?" tanya Malia tanpa basa-basi.

Stefan mengulas senyum, lalu di detik berikutnya ia tertawa pelan saat netranya berhasil menangkap sosok Loui yang tiba-tiba menoleh karena pertanyaan yang dilontarkan Malia.

"Kenapa kau masih memanggilnya paman, Malia?" Loui berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang hendak dibuka lebar oleh Malia.

Stefan memberi anggukan samar. Ia memiliki pertanyaan yang sama dengan Loui. Kenapa Malia masih menyebutnya sebagai paman? Bukankah jauh-jauh hari mereka telah sepakat untuk menjadi sebuah keluarga? Setidaknya Malia harus menyebutnya ayah seperi Loui dan yang lain.

Stefan pun ikut andil dalam percakapan yang tengah dibuka Loui. "Benar. Kenapa kau masih memanggilku paman, Malia?" tanya Stefan pada Malia.

Malia tersenyum kikuk saat kedua laki-laki itu menatapnya penuh tanya. Gadis itu menggaruk tengkuknya.

Stefan kembali terkekeh melihat Malia yang nampak begitu kebingungan dengan pertanyaan sederhananya itu.

"Mulai sekarang panggil aku ayah. Karena..." Stefan mengambil jeda. Ia menepuk lengan Malia sembari mengulas senyum simpul khasnya. Senyum yang sama dengan yang di miliki Loui.

Loui mendesah pasrah. Ia tahu betul apa yang akan Stefan katakan selanjutnya. Setelah sekian lama bungkam, akhirnya ia angkat bicara –mencoba menghentikan keusilan selanjutnya.

"Karena kau sudah menjadi bagian dari Keluarga Argent." imbuh Loui.

Tanpa basa-basi dan berusaha menghindari keusilan lainnya, Loui memutuskan pergi meninggalkan Malia bersama Stefan.

"Paman?" panggil Malia ragu.

Gadis itu masih rela berlama-lama memandangi punggung Loui yang semakin menjauh dari pandangan. Ia bahkan tak memperhatikan wajah orang yang hendak ia ajak bicara saat itu.

"Aku di sini, Malia." Stefan menjentikkan jemari tangannya saat ia berhasil menghalangi pandangan Malia.

Malia terkekeh pelan. Merasa malu karena telah mengabaikan orang yang hendak ia ajak bicara beberapa saat lalu.

"Maaf, pa–" Malia segera menggeleng setelah menyadari ucapannya. "Maksudku, ayah."

"Ada apa?"

"Sebelumnya... Ayah menyebut kalau akan ada yang patah hati jika aku tak ikut kemari bersama kalian."

Stefan mengangguk. "Hm. Lalu?"

"Siapa dia, ayah?"

Stefan tertawa kecil melihat wajah polos Malia saat menanyakan hal yang sudah sangat jelas jawabannya. "Kau benar-benar tidak tahu, Malia?" Stefan penasaran.

Malia menggeleng. "Tidak, ayah."

Stefan mengangguk lalu menjawab, "Kau akan segera tahu siapa yang ku maksud."

Malia mendesah pasrah seraya menurunkan pandangannya; memandangi jemari tangannya yang tengah ia remas.

"Bolehkah aku berharap kalau orang yang ayah maksud adalah Loui?" batinnya.

***

To be continue

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status