Share

Kemarahan Bara

Bara berdiri. Menyingkirkan kasar tangan yang masih mencekal. Sorot matanya menatap tajam sang istri yang berdiri di hadapan Reno. Rahangnya mengeras disertai dada yang naik turun saat melihat Andin menanyakan keadaan Reno.

Tentu saja amarah dalam diri Bara semakin tinggi. Ingin kembali memukul Reno, tetapi terhalang oleh Andin. Sementara keluarga Abraham terlihat begitu ketakutan.

Bagaimana tidak? Lelaki yang biasanya sabar dan menerima segala umpatan mereka, kini meluapkan amarah. Bukankah kemarahan orang yang sabar dan pendiam begitu menakutkan? Dan itu berlaku pula untuk Bara.

“Apa-apaan, sih, Mas! Kenapa kamu main pukul segala!” bentak Andin mendorong pelan dada Bara.

Mata merah Bara membelalak. “Kenapa kamu marah? Harusnya di sini aku yang marah!” Bara menekankan setiap kata.

“Ngapain kamu marah! Reno ini tamu di rumah ini, Bar!” kilah Ratna tak mau kalah.

Bara tersenyum remeh. Satu sudut bibirnya terangkat dengan tatapan merendahkan anggota keluarga Abraham, yang langsung beringsut pada suami masing-masing.

“Jika memang dia tamu di rumah ini! Maka perlakukan dia layaknya tamu!” Bara menunjuk Reno yang tengah mengusap sudut bibirnya.

“Yang enggak memperlakukan Reno sebagai tamu itu elo, Bar! Ngaca dulu kalau ngomong.” Teguh, suami Alin, bersuara.

Bara menaikkan alis, lalu berkacak pinggang. Heran dengansopan santun yang tidak diterapkan di keluarga elit ini.

“Kenapa elo jadi memutar-balikkan fakta begini, Mas?” tanya Bara tak terima.

“Lebih tepatnya fakta, Bar! Fakta!” sahut Herman, suami Agnes.

Bara menatap Andin yang masih berdiri tegap di antara badannya dengan badan Reno. Melihat luka lebam dan luka sobek di beberapa titik wajah Reno, membuat Bara sedikit merasa lega.

Ternyata sang ibu menyuruh Bara untuk latihan karate sejak duduk di bangku SD ada gunanya juga. Bisa-bisanya Bara menahan selama bertahun-tahun. Dan menurutnya, pukulan itu sangat tepat diberikan pada Reno.

“Menjodoh-jodohkan seorang wanita yang sudah menikah dengan lelaki di hadapan suaminya.” Bola mata Bara beralih menatap tajam keluarga Abraham.

“Apa itu yang dinamakan memuliakan tamu?” sambung Bara.

Keluarga Abraham terkejut. Namun dengan sigap, keterkejutan mereka menghilang, berganti dengan wajah datar tanpa merasa bersalah.

Bola mata Bara beralih menatap tajam Andin. “Bermesraan layaknya anak ABG sedang jatuh cinta dan mengajak pria untuk menginap di rumah saat tidak melayani suami ... “

Bara maju satu langkah. Memangkas jarak antara tubuhnya dengan tubuh Andin.

“Apa itu yang dinamakan memuliakan tamu?” lanjut Bara sedikit menyindir, lalu meraih lengan atas Andin.

“Lepasin, Mas!” erang Andin, berusaha terlepas dari cengkraman Bara.

Reno dan anggota keluarga Abraham hendak mendekat. Namun, sorot mata tajam Bara menyiutkan nyali mereka.

“Lepasin, Mas! Sakit! Aku janji nggak bakal ngulangin lagi!” Erangan Andin membuat cekalan Bara mengendur.

Sebelumnya, Bara tak pernah merasa marah seperti ini. Terlebih Bara sadar, bahwa ia hanya menumpang hidup di keluarga Abraham.

Pernah sesekali Bara mengajak Andin untuk tinggal bersama sang ibu di rumah kecilnya, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Andin. Jadi, Bara harus mengalah dahulu.

“Lebih baik saya pamit aja, deh, Tante,” pamit Reno, membuyarkan ketegangan di sana.

“Oh, iya, Ren. Maaf ya atas kejadian ini,” ucap Ratna sungkan, beralih menatap kesal Bara. “Maklum, Ren. Preman pasar.”

“Nggak apa-apa, kok, Tan. Ini bukan salah Tante,”lontar Reno, meraih jas dan tas kecil di atas sofa. Sementara Ratna tersenyum senang.

“Aku pamit dulu, ya, Ndin,” sambung Reno, menatap dalam Andin.

Andin mengangguk. “Hati-hati, ya, Ren.”

Bara memberi jalan saat Reno melewati dirinya. Sorot mata penuh benci keduanya saling tertaut. Andai saja tadi tak dicegah, mungkin hanya nama Reno yang akan pulang ke rumah.

Lagi pula, lelaki mana yang terima istrinya dijodoh-jodohkan begitu saja? Apalagi yang menjodohkan adalah keluarga sendiri.

‘Tunggu aja pembalasanku. Aku akan buat hidupmu sengsara!’ batin Reno, saat berdiri tepat di ambang pintu menuju ruang tamu dan menatap sengit Bara.

Seolah tahu apa yang ada di pikiran Reno, Bara pun menaik-turunkan alis, dengan tatapan menantang. Sekelebat, Reno tersenyum sebelum menghilang di balik dinding.

“Hih, amit-amit punya menantu miskin, tempramental pula.” Ratna meraih tas kecil sembari memegang kepala. “Haduuh, pusiing. Mimpi apa dulu bisa punya menantu kayak begitu!”

“Lagian, sih, Mami kenapa pula merestui hubungan mereka? Udah baik Andin sama Reno.” Alin menyusul Ratna sembari merangkul lengan Ratna.

“Iya. Coba kalau dulu Andin sama Reno. Udah makmur hidup Andin. Nggak kayak sekarang!” Agnes yang berjalan di samping Ratna, menekankan kalimat terakhir.

Sindiran dan hinaan dari ibu mertua dan kakak iparnya, Bara mendengar.Ada rasa tak terima dengan semua ucapan mereka. Namun, Bara lebih memilih menahannya.

‘Suatu saat akan aku buktikan, ucapan-ucapan itu akan berbalik padaku!’ gumam Bara dalam hati.

Bara menghempaskan tubuhnya kasar di atas sofa. Hari ini memang begitu sangat melelahkan. Bahkan menghabiskan energi kesabarannya. Lelaki yang tengah memijat ujung hidung itu merasa pening dengan segala cacian dan hinaan yang diterima.

“Kamu ini apa-apaan, sih, Mas? Bisa-bisanya kamu mukul Reno kayak gitu!” Andin memukul pelan pundak Bara.

Bara terkejut. Alisnya berkerut, masih tak mengerti dengan jalan pikiran Andin yang terus menyalahkan dirinya.

“Kamu terus menyalahkanku, tapi apa kamu tidak sadar dengan kesalahanmu?” tanya Bara terdengar tegas.

“Iya, aku tahu aku salah duduk deket-deket sama Reno. Tapi apa harus dengan kekerasan, Mas?” Andin menaikkan satu oktaf suaranya.

Bara mendengkus, lalu tersenyum remeh. Tangannya menarik lengan Andin untuk duduk di sampingnya. Dengan sekali hentakan, tubuh Andin sudah berada di sampingnya.

“Lelaki mana yang terima istrinya dijodohkan dengan orang lain, Ndin?” sungut Bara dengan suara pelan dan bergetar.

“Apalagi melihat istrinya berdempetan dengan lelaki lain, di saat kamu nggak memenuhi kewajibanmu sebagai istri!” sambung Bara penuh penekanan.

Andin membelalak. Wanita yang masih memakai dress berwarna putih itu pun tertawa remeh sembari melipat kedua tangan.

“Kalau kamu ingin aku memenuhi kewajibanku, maka penuhi hak-ku, Mas!” Andin menoleh, melirik tajam Bara.

“Dari segi mana aku nggak memenuhi hak-mu, Ndin? Dari mana?” Bara menggeser tubuh, menghadap ke arah Andin.

“Sudah terlihat jelas. Finansial, Mas! Finansial!” Andin menggesekkan jemarinya.

“Ndin, semua gaji yang kupunya sudah aku berikan kepadamu. Bahkan setiap hari aku berangkat ke kantor pun, aku selalu minta uang ke kamu untuk bensin.” Bara meraih tangan Andin. “Apa masih kurang?”

“Jelas kurang lah, Mas!” tandas Andin, mengibaskan tangan.

Bara mendesah, lalu menggelengkan kepala. Jiwa sosialita di dalam diri wanita memang sangat sulit dihilangkan. Apalagi lingkungan yang terbilang mendukung.

Senyum miring dengan tatapan penuh misteri tersirat di wajah tampan Bara. Seolah ada hal yang terbesit di pikiran, tetapi enggan mengutarakan.

“Ngapain kamu natap aku kayak gitu?” Andin menangkap sesuatu tersembunyi di balik wajah Bara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
kenapa dulu mau di ajak nikah sama bara kalau bara miskin emang bara baru jatuh miskin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status