Share

MILIARDER yang TERTUNDA
MILIARDER yang TERTUNDA
Author: Dee Roro P

Dianggap Sampah

“Dasar sampah! Pergi kamu dari sini!”

Kalimat yang terlontar dari mulut Ratna, ibu mertuanya, selalu terngiang di telinga Bara. Ketidaksengajaan menumpahkan minuman yang dibawa ternyata membuatnya dipermalukan tepat di acara ulang tahun pernikahan Alin, kakak ipar pertama, yang diadakan di taman belakang rumah.

“Lelaki macam apa kamu? Bawa minuman saja tidak becus!” sahut Agnes, kakak ipar ke dua.

“Maaf, saya tidak sengaja menumpahkannya.” Bara mencoba membela diri, meski ia tahu hanyalah sia-sia.

“Kan, sudah saya bilang, kalau gembel tuh nggak usah belaga ikut pesta!” Ratna mendorong keras tubuh Bara.

Bara hanya menunduk. Meski di dalam hati rasanya ingin mengutuk cemoohan keluarga istrinya itu. Para tamu undangan yang hadir pun seolah menghardiknya lewat tatapan.

Sementara di atas panggung sepasang suami istri yang tengah merayakan hari jadi pernikahan itu pun menatap Bara penuh kebencian. Dari dalam rumahterlihat Andin, istri Bara, berlari tergopoh, menghampiri Bara.

“Ada apa ini?” tanya Andin, berdiri di samping Bara, menatap sang suami dan keluarganya bergantian.

“Lihat, Ndin! Gaun ibu kena tumpahan minuman dari lelaki sampah seperti dia!” Ratna menunjuk wajah datar Bara.

Bara mendengkus. Kata sampah memang setiap hari terlontar dari mulut keluarga Abraham. Bahkan, ia sering kali mendapat cacian dan cemoohan dari mereka. Namun, lelaki yang memakai kemeja putih itu tetap bertahan demi sang istri tercinta.

“Mas?” Andin menatap Bara penuh tuntutan. Meminta penjelasan sang suami atas apa yang dikatakan ibunya.

“Aku nggak sengaja, Ndin,” ucap Bara datar.

Mata Bara beralih menatap gaun putih Ratna yang terlihat sedikit noda bercak, itupun sudah mulai pudar. Bara sadar, bahwa semua yang dilakukan memang selalu salah di mata keluarga mertuanya.

Jangankan melakukan kesalahan kecil, melakukan hal benar pun akan tetap salah. Bara pun hanya tersenyum miring, miris dengan dirinya sendiri.

“Heh, heh, heh ... ngapain kamu senyum-senyum?” tegur Ratna dengan mata memelotot.

Senyum di bibir Bara pun pudar. Kasak-kusuk dengan tatapan menuduh ia dapatkan dari para tamu undangan. Sesekali indera pendengarannya menangkap hinaan yang tak kalah keji dari mulut mereka. Dan menurut Bara, hinaan mereka tidaklah penting.

“Ayo masuk, Mas.” Andin menarik paksa lengan Bara.

Bara meletakkan nampan yang ternyata masih ada di tangan ke atas meja, lalu menuruti ajakan Andin. Sementara di taman, MC melanjutkan acara Anniversary Weeding tersebut.

“Udah aku bilang kan, Mas! Mending kamu di dalam aja! Kenapa malah keluar, sih!” sungut Andin, saat sampai di dalam kamar.

Bara menautkan alis. Akhir-akhir ini, Bara memang merasakan perubahan atas sikap Andin. Yang pasti, ia tak tahu apa penyebab perubahan sikap sang istri.

“Aku hanya ikut merayakan kebahagiaan Kak Alin aja, kok, Ndin. Apa aku salah?” Bara meraih telapak tangan Andin.

“Salah, Mas! Kamu lihat, acara itu menjadi kacau setelah kehadiran kamu!” Andin menghempaskan genggaman tangan Bara, lalu duduk di tepi ranjang sembari melipat kedua tangan.

“Untung ayah lagi nggak di rumah. Kalau di rumah, bisa habis kamu, Mas,” sambung Andin, menatap Bara dengan wajah menekuk.

Sebelum acara dimulai, Abraham memang sudah mengatakan bahwa ia tak akan ikut merayakan hari Anniversary putri pertamanya itu, lantaran ada pekerjaan di luar kota.

Bara mendengkus kesal. Tidak mertua, tidak kakak ipar, tidak istri, selalu menyalahkannya. Bisa dibilang, kehadiran Bara di keluarga Abraham ini tak lain hanya dianggap sampah.

Bara duduk di samping Andin. Mengusap lembut wajah manis milik sang istri. Mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu sempurna di matanya.

“Ya, mas minta maaf, ya, Sayang,” ucap Bara tulus.

Andin berdecih, sembari memalingkan wajah. Seolah enggan disentuh oleh Bara. Sementara Bara hanya terkekeh, melihat wajah sang istri yang semakin cantik ketika marah itu.

“Ish, kok bisa, ya, mas punya istri yang kalau ngambek malah tambah cantik,” ledek Bara, meraih dagu Andin.

“Alah, palingan gombal. Ujung-ujungnya minta jatah!” Andin menatap sinis Bara.

Selesai sudah misi Bara yang ternyata diketahui oleh sang istri. Sudah kepalang tanggung, Bara pun tak segan untuk mengajak Andin melakukan hubungan suami-istri. Namun sayang, ajakan Bara ditolak mentah-mentah oleh Andin.

“Jangan harap, Mas! Aku nggak akan lagi mau kayak gitu kalau kamu belum kasih aku uang 50 juta seminggu!” Andin bangkit dari posisinya, lalu memilih keluar dari kamar.

Tiga tahun pernikahan membuat hubungan Bara dan Andin diuji perekonomiannya. Tentu saja gaji Bara sebagai mandor kuli bangunan tak cukup untuk menghidupi gaya mewah keluarga Abraham. Dan itulah alasan mengapa keluarga Abraham menganggap Bara sebagai sampah.

Namun tak mengapa. Dengan tekad kuat dan kerja keras, Bara yakin bahwa ia akan mencapai ke satu titik di mana semua orang tak menganggapnya rendah. Apalagi, Tuhan menganugerahi Bara dengan otak yang cerdas. Hanya saja, takdir seolah mempermainkan kehidupan Bara.

“Sabar, Bara. Kamu hanya perlu membuktikan bahwa kamu bukan sampah,” gumam Bara, menatap miris pantulan cermin dirinya.

Di tengah malam, Bara terbangun dari tidur.Ia menyibak korden jendela yang lurus dengan taman. Pesta Anniversary yang digelar sudah selesai. Hanyamenyisakan sampah berserakan. Ia begitu yakin jika dirinya lah yang akan mendapat jatah membersihkan sampah itu.

Namun, indera pendengaran Bara samar mendengar seseorang tengah bercengkerama. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar.

“Udah, Ren. Kamu tidur di sini aja. Masih ada kamar kosong, kok.” Suara Ratna terdengar di telinga Bara.

Bara menghentikan langkah, ditatapnya keluarga Abraham tengah duduk di ruang tengah. Sorot matanya menemukan wanita yang seharusnya tidur dengannya, justru tengah duduk berdempetan dengan lelaki bernama Reno.

“Iya, Ren sekali-kali. Apa harus ditemenin sama Andin?” Agnes terlihat menggoda Reno dan Andin.

Reno dan Andin sekelebat saling tatap, sebelum wajah merah malu-malu mereka tertangkap di bola mata Bara.

“Apa-apaan ini!” Bara mengepalkan tangan saat anggota keluarga Abraham menertawakan tingkah Reno dan Andin.

“Kalau dibolehin sama Andin, sih, Reno mau-mau aja, Tante.” Lelaki yang memakai kemeja branded itu terlihat melirik Andin.

Bara menangkap aroma persekongkolan di sana. Namun, ia penasaran jawaban apa yang akan dilontarkan sang istri. Lelaki yang hanya memakai piyama pun memutuskan untuk berdiri di tempat menunggu Andin mengatakan sesuatu.

Andin tertawa malu sembari menepuk lengan Reno. “Apa-apaan, sih, Ren. Kok, aku, sih?”

“Ya, kan, aku tamu kami, Ndin.” Reno terlihat meraih tangan Andin.

Andin tersipu malu. Diiringi tawa serta godaan keluarga Abraham yang lain.

“Kalau kamu mau, mah, nginep juga boleh, kok,” ucap Andin akhirnya, membuat Bara geram.

Tak mau berlama lagi menunggu, Bara pun mendekat dengan langkah cepat, dan tanpa basa-basi langsung melayangkan pukulan tepat di wajah Reno.

Seluruh keluarga Abraham terkejut dengan pergerakan tiba-tiba Reno. Andin yang berada di dekat Bara pun berusaha melerai yang ternyata tenaganya tak cukup kuat menahan serangan Bara, hingga digantikan oleh kedua kakak iparnya.

“Mas Bara, stop!” pekik Andin, menghentikan pergerakan Bara.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
dih udah bikin geret ajah
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status