Entah berapa lama Wati berputar-putar di dalam hutan terlarang dan selalu kembali ke gubuk Haruni dan Widarta. Sedangkan kedua orang itu raib entah kemana.
“Aargh!” teriak Wati.
“Berapa lama lagi aku harus berputar-putar di hutan ini?!” teriaknya. Kemudian dia jatuh terduduk dan menangis.
Wati kembali mencoba untuk mencari jalan keluar dari hutan terlarang. Namun usahanya selalu gagal. Tanda yang dibuatnya selalu hilang secara misterius.
Waktu terus bergulir hingga tanpa pernah disadari Wati dia telah berada di hutan itu selama lima tahun lamanya.
Beda di dalam hutan, beda pula dengan di luar hutan. Desa Damai sepertinya kini benar-benar sesuai dengan namanya. Ya, desa itu terlihat damai. Si Kembar sudah berusia sepuluh tahun. Tak pernah ada bencana apapun lagi. Gadis remaja itu tumbuh layaknya gadis remaja seusi
Wati menghempaskan tubuhnya di kursi kayu yang ada di teras rumahnya. Dia mengusap kasar wajahnya. Dia bahkan tak perduli saat melihat kondisi rumahnya yang sudah mirip rumah tua. Saat ini dia hanya ingin istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelahnya. Rupanya dia masih belum sadar jika dia terjebak cukup lama di hutan terlarang. Wati bangun dari duduknya dan melangkah memasuki rumah. Keningnya mengkerut saat menyadari kondisi rumahnya. ‘Bukankah aku tidak pulang hanya beberpa hari. Tapi ... kenapa rumahku seperti sudah aku tinggalkan bertahun-tahun lamanya’ gumam Wati dalam hati. Wanita itu bergidik ngeri sendiri melihat keadaan rumahnya. Dia menghembuskan napas kasar dan bergegas membersihkan rumahnya. Sesekali terdengar suara gerutuan darinya. Setelah selesai membersihkan rumah dia merasakan perutnya lapar. Dia mengambil dompetnya dan keluar rumah untuk membeli makana
Hari yang dinantikan oleh Wati akhirnya tiba juga. Malam itu adalah malam bulan purnama. Namun, bulan purnama malam itu sangat mengerikan. Entah bulannya atau hanya sinarnya yang seakan berwarna semerah darah. Di kediamannya, Ustadz Yusuf merasa sangat gelisah. Seorang wanita paruh baya mendekati Ustadz Yusuf. Wanita itu duduk di depan Ustadz Yusuf. “Pak, ada apa? Ibu perhatikan sejak tadi sepertinya Bapak gelisah sekali. Apa ada hubungannya dengan suasana malam ini?” tanya wanita itu yang ternyata adalah isteri dari utadz Yusuf. “Entahlah Bu. Bapak juga tidak tahu. Tapi, memang perasaan bapak terasa tidak enak. Seperti ... akan terjadi sesuatu yang besar,” ungkap ustadz Yusuf. Tiba-tiba terdengar suaran teriakan orang yang memanggil ustadz Yusuf dengan nada panik. “Assalamu’alaikum! Ustadz! Assalamu&
Malam itu terasa begitu sunyi. Denting jam yang tergantung disalah satu dinding kamar terdengar begitu nyaring. Membuat suasana malam itu terasa begitu mencekam. Aarrggh! Teriak Diandra yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dadanya nampak naik turun dengan napas yang memburu. ‘Lagi-lagi mimpi yang sama. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa selalu saja datang dalam mimpiku’ gumam gadis itu. Dia meraup wajahnya dengan kasar. ‘Aku harus bicara sama Kak Dara’ batin Diandra. Kemudian dia turun dari tempat tidurnya dan mengatunkan langkah keluar dari kamarnya. Suasana tampak sepi saat dia keluar dari kamar. Dia melihat ke arah kamar yang ada di sebelah kamarnya. Tampak kamar itu begitu gelap. ‘Kamar Kak Dara gelap, apa dia lembur lagi malam ini’ batin gadis itu bertanya-tanya. Dia menatap sedih kamar itu. Sudah hampir sepuluh tahun dia hanya tinggal berdua dengan kakak kembarnya. Sejak saat it
“Kek, sebenarnya, apa yang terjadi pada kak Dara?” tanya Diandra cemas. Saat ini mereka tengah duduk di ruang tengah setelah ustadz Yusuf menenangkan Dara. “Sangat panjang ceritanya,” jawab ustadz Yusuf singkat. “Sepanjang apapun, Andra siap mendengarkan, Kek. Tolong, Kek. Tolong, ceritakan semuanya,” pinta Diandra dengan tatapan memohon. Pria yang usianya tak lagi muda itu pun menghela napas panjang. “Kakek, akan ceritakan. Tapi, tidak sekarang,” ujar ustadz Yusuf. “Istirahatlah dan temani kakakmu,” sambung ustadz Yusuf. Kemudian pria itu pun bangkit dan beranjak dari duduknya. “Kakek, mau kemana?” tanya Diandra saat melihat pria tua itu melangkah menuju ke pintu keluar. “Kakek mau ke masjid lalu ke rumah pamanmu sebentar,” jawab ustadz Yusuf. Sejak sepuluh tahun lalu atau tepatnya sejak tragedi yang men
Di tempat berbeda, tampak segumpal asap hitam yang perlahan-lahan mulai menipis dan menampakkan sesosok pria muda dengan paras yang cukup tampan bak seorang pangeran. Di hadapan pemuda itu tampak sepasang laki-laki dan perempuan yang tengah duduk bersimpuh. Kepala mereka menunduk menatap lantai. Tak sedikit pun mereka berani menengadahkan wajah mereka. “Haruni, Widarta, angkat wajah kalian dan katakan seperti apa aku sekarang!” titah pemuda itu kepada dua abdi setianya. Ya, pemuda itu adalah jelmaan si iblis hitam yang telah mengambil raga seorang pemuda yang baru saja menjadi korban pembunuhan. Sedangkan dua orang yang sedang duduk bersimpuh itu adalah Haruni dan Widarta. Dengan penyamarannya saat ini, iblis hitam berniat menjerat Dara dan Diandra. Ia bahkan telah merencanakan semuanya dengan matang dengan mempelajari cara hidup manusia.
Dahlia tertegun di depan pintu kamar bernomor 23. ‘Kenapa harus kamar dengan nomor 23 yang tersisa. Dari tiga puluh kamar, kenapa nomor ini yang tersisa’ batin gadis itu. “Hai, kamu, Dahlia, kan?” tanya seorang gadis seusianya. “Iya, aku Dahlia,” jawabnya. “Kenalkan, namaku Sofie, aku menempati kamar nomor 25, kamu, di kamar ini ya?” ujar gadis bernama Sofie itu. “Hanya ini yang tersisa,” sahut Dahlia singkat. “Sepertinya, kamu tidak suka dengan kamar ini,” tukas Sofie. “Bukan tidak suka kamarnya. Aku ... tidak suka dengan angka 23,” lirih Dahlia. “Kenapa?” tanya Sofie penasaran. “Sudahlah, kita turun saja,” sahut Dahlia terdengar enggan mengatakan alasa
“Kakek, memanggil kami?” tanya Dara. Tampak Diandra berdiri disamping Dara dengan tatapan seolah menanyakan hal yang sama. Ustadz Yusuf yang tengah menjentik tasbih mendongakkan kepala dan mengulas senyum lembut ke arah gadis kembar di hadapannya. “Duduklah dan tunggu kakek selesai,” ucapnya lembut. Kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf yang tampak masih serius menjentik tasbih di tangannya. Tak lama kemudian, pria tua itu tampak memasukan tasbih ke dalam saku bajunya. Sepertinya dia telah selesai dengan do’a dan dzikirnya. “Dara, Diandra, dengarkan kakek baik-baik. Hari ini, kakek akan pergi. Kakek minta, kalian tinggallah bersama paman Fikri. Nanti, paman kalian Azzam dan keluarganya, juga akan tinggal di sini. Kakek ingin, selama kakek pergi kalian tingg
Allah memang Maha Besar. Pertempuran yang tetap tidak seimbang itu, akhirnya dimenangkan oleh ustadz Yusuf dan sang pemuda asing, meski ustadz Yusuf harus terluka. “Kita istirahat di sana dulu, Kek,” ajak pemuda itu. Dibimbingnya ustadz Yusuf ke sebuah gubug yang tak jauh dari tempat mereka bertempur. Setelah mendudukkan ustadz Yusuh disebuah balai bambu, pemuda itu bergegas mencari dedaunan yang bisa digunakan sebagai obat. “Terima kasih, anak muda. Tapi, kalau boleh tahu, kamu ini siapa dan darimana? Terus, kenapa kamu bisa ada di hutan ini?” cecar ustadz Yusuf ketika pemuda itu tengah mengobati lukanya akibat cakaran dari makhluk mengerikan yang menjadi lawannya. Pemuda itu mengulas senyum tipis sebelum menjawab pertanyaan ustadz Yusuf. “Saya, Bakhtiar Alfarizi, Kek. Kakek, bisa panggil saya, Bakhtiar. Kebetulan, saya memang sedang menunggu Kakek,” jawab