POV WATI
Perempuan itu bergegas meninggalkan halaman rumah orang tua Rudi. Amarah tergambar jelas di wajahnya. Bahkan dia mengabaikan orang-orang yang ditemuinya.
“Hai Wati! Mau kemana ... buru-buru amat!” sapa seorang wanita paruh baya. Namun, perempuan yang ternyata Wati itu hanya diam dan terus saja berlalu.
‘Dasar aneh, ditanyain diam aja. Kesambet kali tuh orang!’ gerutu wanita paruh baya itu.
Sementara itu, Wati terus melangkahkan kakinya hingga tiba di jalan raya. Dia menghentikan angkutan umum yang menuju ke Desa Dayoh. ‘Dendamku harus terbalas’ geram perempuan itu dalam hati.
Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Wati tiba di Desa Dayoh. Desa tempat dia dan Mayasari berasal sebelum mereka pindah ke Desa Damai. Bergegas dia menuju ke rumah lamanya. Lima belas menit dari gapura depan desa, akhirnya dia sampai di rumah lamanya. Segera dia memasuki rumahnya sebelum ada tetangga yang menyadari kehadirannya. Ya, Desa Dayoh memang akan selalu sepi dari pagi sampai siang hari karena warga desa banyak yang pergi ke hutan karet untuk mengambil getah karet.
Wati menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur kayu yang ada di kamarnya. Pikirannya menerawang entah kemana. Tiba-tiba dia kembali bangkit dari posisi tidurannya. Dia berjalan ke arah dapur dan mencoba mencari sesuatu yang bisa dimasaknya. Perempuan itu menghela nafas panjang saat tak menemukan apapun.
‘Bodohnya aku, karena terlalu emosi aku lupa membeli sesuatu. Kalo aku ke warung untuk belanja, orang-orang pasti tahu kalo aku pulang ke sini. Huh! Semua ini gara-gara Maya!’ gerutu Wati seorang diri.
Dia kemudian kembali ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya. Tak lama kemudian, dia pun terlelap.
Tak terasa, hari pun beranjak sore. Rasa lapar yang kian mendera membangunkan Wati dari tidurnya. Demi untuk membeli makanan, akhirnya wanita itu pun menekan egonya. Dia segera beranjak meninggalkan rumahnya untuk pergi ke warung Bi Mumun, satu-satunya warung yang ada di Desa Dayoh.
“Bi ... beli mie instan dong, dua. Gulanya seperempat sama kopi satu,” ujar Wati.
“Iya Neng ... lho Wati! Kamu pulang ke sini? Kapan?!” tanya Bi Mumun.
“Iya Bi. Tadi siang saya pulang. Mau ke rumah Aki. Emm ... Tambah telurnya seperempat juga ya Bi,” sahut Wati.
“Oh iya, Neng,” sahut Bi Mumun.
Setelah membayar dan menerima belanjaan dari Bi Mumun, Wati bergegas pulang ke rumahnya. Dia segera memasak mi instan yang tadi di belinya untuk mengisi perutnya. Dia juga membuat secangkir kopi.
‘Lepas maghrib, aku harus segera ke rumah Aki Sudra. Hanya dia yang bisa membantuku membalas dendam. Aku harus tahu dimana orang tua Maya. Nggak mungkin, mereka menghilang tiba-tiba’ kembali wanita itu bermonolog.
Waktu sudah menunjukkan pikul tujuh malam. Terlihat Wati, berjalan menyusuri jalanan di Desa Dayoh. Suasana begitu sepi. Sejak diketahui orang tua Mayasari yang mempelajari ilmu hitam, mulai jam tujuh malam desa itu sudah terlihat sepi. Bahkan saat otang tua Mayasari sudah menghilang pun, desa itu masih tetap sama. Warga desa masih saja ketakutan. Padahal sudah kurang lebih lima tahun Haruni dan Widarta yang merupakan orang tua Mayasari menghilang.
Namun, hal itu tak menyurutkan langkah Wati yang menyimpan dendam atas kematian orang tuanya yang masih ada hubungan darah dengan orang tua Mayasari. Ya, Sarina yang merupakan ibu dari Wati adalah adik kandung Widarta yang merupakan ayah kandung dari Mayasari. Jadi, sebenarnya Wati dan Mayasari adalah saudara sepupu.
Dendam yang telah menyelimuti hati Wati menutup segala fakta yang ada. Fakta bahwa Mayasari adalah kakak sepupunya. Fakta bahwa dia tidak mengetahui keseluruhan cerita penyebab orang tuanya meninggal. Hanya berpegang pada kasak-kusuk tetangganya yang mengatakan bahwa orang tuanya telah menjadi tumbal dari ilmu hitam orang tua Mayasari.
Wati menghela nafas berat saat dia berhenti di halaman rumah yang terletak di ujung desa itu. Aura mistis menguar dari rumah itu. Rumah itu sangat sederhana dan terlihat sangat menyeramkan. Dindingnya hanya terbuat dari papan.
Meski dengan nyali yang sudah menciut, perempuan itu tetap berusaha mendatangi rumah itu. Tekadnya untuk membalas dendam sudah bulat.
Tok! Tok! Tok!
Dia mengetuk pintu rumah itu. Tak ada sahutan. Wati mencoba untuk kembali mengetuk pintu rumah itu.
Tok! Tok! Tok!
“Ki ... Aki ... Aki Sudra! Ini Wati, Ki!” kali ini perempuan itu tak hanya mengetuk pintu tapi juga memanggil Si Empunya rumah. Perempuan itu menghela nafas kesal karena tak kunjung ada jawaban. Dengan langkah gontai dan penuh rasa kesal, Wati berniat meninggalkan rumah itu karena nyalinya semakin menciut kala dia merasa aura mistis makin kuat menguar.
“Apa kamu tidak bisa sedikit bersabar!” baru saja Wati melangkahkan kakinya, dia sudah dikejutkan suara menggelegar di belakangnya. Perlahan dia membalikkan badannya. Tubuhnya gemetar ketakutan kala mendapati sorot mata tajam yang seolah mampu merobek jantungnya.
“A-Aki ... !” ucapnya terbata. Dengan susah payah dia berusaha menelan salivanya.
“Masuk!” ajak pria tua yang dipanggil Aki Sudra itu. Dengan langkah takut-takut Wati mengikuti pria tua itu masuk. Sejenak dia terhenyak melihat suasana yang menyeramkan di ruangan itu.
Wati mengedarkan pandangannya. Dapat dilihatnya banyak potongan kepala binatang buas yang tergantung di dinding ruangan itu. Bahkan di susut ruangan itu di atas sebuah meja kecil, Wati melihat kepala babi hutan yang masih meneteskan darah segar. Tak pelak hal itu membuatnya bergidik ngeri. Dia juga merasakan perutnya bergejolak kala tercium aroma amis darah. Namun, demi tekadnya membalas dendam, perempuan itu berusaha bertahan.
“Apa yang kamu lihat! Duduklah!” seru Aki Sudra datar dan dingin. Wati pun menuruti perintah Aki Sudra.
“Aku sudah tahu apa maumu. Aku juga tahu kamu ini siapa. Kamu anak dari Sarina dan Suryaman bukan?!”
“I-iya Ki,” sahut Wati lirih.
“Kamu yakin dengan niatmu itu?! Apa kamu tahu, ada harga yang harus kamu bayar agar kemauanmu terwujud!” ujar Aki Sudra.
“Berapa harus saya bayar, Ki?”
“Bukan dengan uang!” bentak Aki Sudra.
“Jika bukan uang ... lalu ...”
“Nyawamu! Nyawamu yang akan jadi taruhannya jika sampai kamu mengalami kegagalan!” ujar Aki Sudra. Wati terhenyak dalam diam. Dia tak menyangka jika dia harus mempertaruhkan nyawanya demi membalaskan dendam orang tuanya.
“Pikirkanlah lebih dulu dan kembalilah besok jika kamu sudah yakin!” ujar Aki Sudra kala melihat ada keraguan terukir di raut wajah Wati.
“Aku tidak mau, kamu mundur setelah semua terlanjur jauh. Selain itu ada beberapa ritual yang harus kamu jalani. Ada beberapa persyaratan yang harus kamu penuhi. Mundurlah dari sekarang jika kamu tidak sanggup!” lanjut Aki Sudra panjang lebar.
“Saya siap Ki! Apapun resikonya akan saya terima. Asal dendam orang tua saya terbalas!” balas Wati mantap. Dia benar-benar telah dibutakan oleh dendam. Tanpa disadarinya, dia menyimpan dendam yang salah.
“Baiklah! Jika itu memang maumu! Sekarang ... pulanglah. Datanglah besok pada malam jum’at kliwon. Jangan lupa bawa ayam cemani dan bunga tujuh rupa!” titah Aki Sudra.
“Baik Aki!” jawab Wati lalu berpamitan kepada Aki Sudra. Begitu dia keluar dari rumah Aki Sudra, dia melihat suasana makin mencekam. Perempuan itu memberanikan diri untuk tetap pulang ke rumahnya.
‘Di mana aku bisa mendapatkan ayam cemani dan bunga tujuh rupa. Lagian buat apa sih semua itu’ gumam Wati kesal. Meski begitu, dia tak bisa mundur lagi. Dia sudah menyanggupi persyaratan itu. Untuk menepis rasa kesal, dia kembali mengingat dendamnya.
Akhirnya, dia sampai di rumah peninggalan orang tuanya itu. Direbahkannya tubuhnya yang sudah penat itu. Dia bahkan tak lagi peduli dengan rasa lapar yang menghampirinya. Baginya saat ini, dia hanya ingin tidur dan besok dia harus mencari persyaratan yang diminta oleh Aki Sudra.
Bersambung
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan