Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari.
Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk kembali.
Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Mayasari ang sering mendapat hujatan adalah Diandra yang selama ini mereka anggap aneh sejak awal kelahirannya.
Mayasari yang sejak peristiwa sebelumnya masih menyimpan rasa sakit, mulai meradang setiap kali dia mendengar kasak kusuk warga yang menuduh kedua bayinya sebagai pembawa petaka. Sebagai seorang ibu, hatinya begitu terluka. Dia tidak rela anak-anaknya mendapat tuduhan keji itu.
Dara dan Diandra yang kini sudah berusia dua bulan tumbuh seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan selama satu bulan ini tak ada keanehan pada mereka. Jadi, tidak salah bukan jika Mayasari merasa marah ketika buah hatinya dituduh sebagai pembawa bencana.
Mayasari yang sejak peristiwa satu bulan lalu, berubah menjadi sosok yang pendiam dan lebih sensitif. Bahkan saat fisiknya perlahan mulai berubah dia juga tak memperdulikannya. Semakin hari tubuhnya semakin terlihat kurus dan pucat. Hal itu membuat suami dan mertuanya merasa heran. Tak hanya mereka, warga desa pun banyak yang merasa heran.
Warga bahkan sering merasa takut saat melihat Mayasari. Ya, dalam pandangan mereka Mayasari semakin terlihat seperti mayat hidup. Padahal menurut Bu Minah, nafsu makan Mayasari tidak berkurang sedikit pun. Terkadang, tatapan mata Mayasari terlihat kosong. Tanpa mereka ketahui jika apa yang terjadi pada Mayasari disebabkan oleh bayi kembarnya. Ya, Mayasari tak dapat lagi membedakan apakah Dara atau Diandra yang membuatnya merasa kesakitan saat menyusui mereka. Karena, dengan semakin tumbuhnya mereka, keduanya menunjukkan hal yang sama setiap harinya.
Terkadang Mayasari merasa malas untuk menyusui mereka. Namun, seketika hatinya merasa bersalah setiapkali melihat mereka merengek dan ingin disusui. Akhirnya dengan menahan sakit bagaikan terhisap darahnya tetes demi tetes, dia tetap menyusui keduanya.
“Bu, Pak, sebenarnya apa yang terjadi pada istriku?!” tanya Rudi tiba-tiba pada kedua orang tuanya.
“Bapak akan cari tahu, Rud. Kamu tenang saja dulu. Sore ini juga, bapak akan cari tahu,” sahut Pak Karta mencoba menenangkan anaknya.
“Termasuk apa yang terjadi pada desa ini. Bapak dan Ustadz Yusuf akan mencari tahu,” lanjut Pak Karta.
“Ijinkan aku ikut membantu Bapak,” lirih Rudi.
“Jangan Rud! Kamu harus tetap di rumah untuk menjaga istri dan anak-anakmu!” cegah Pak Karta.
“Pak, mungkinkah kecurigaan ibu benar?!” celetuk Bu Minah. Membuat Rudi terperanjat. Dia bertanya-tanya apa maksud ucapan ibunya.
“Maksud ibu ... apa?” tanya Rudi penasaran
Belum sempat Bu Minah menjawab pertanyaan anaknya, terdengar suara ribut dari arah depan rumah. Mereka bertiga bergegas keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Tolong! Tolong!
Teriakan minta tolong itu terus terdengar. Terlihat warga berbondong-bondong menuju asal suara.
Tolong! Tolong!
Suara teriakan minta tolong itu semakin lama semakin melemah. Namun, Pak Karta dan warga desa terus saja mencari asal suara. Langkah mereka seketika terhenti saat suara teriakan minta tolong itu menghilang tepat di ujung jalan yang menuju ke hutan terlarang. Tak satu pun warga berani memasuki hutan itu.
Pak Karta terpaku di tempatnya berdiri. Dia menghela napas panjang. Dia tahu pasti teriakan itu pasti dari orang yang berada di dalam hutan itu. Orang yang hanya dia dan istrinya yang tahu. Awalnya ada Kyai Ahmad yang merupakan ayah dari Ustadz Yusuf yang juga mengetahui hal itu
Namun, sejak Kyai Ahmad meninggal otomatis hanya dirinya dan Bu Minah yang tahu. Pak Karta tidak tahu, apakah Ustadz Yusuf mengetahui hal ini atau tidak. Oleh sebab itu dia bermaksud menemui Ustadz Yusuf dan menanyakannya. ‘Aku harus segera ke sana. Tapi tak mungkin saat ini. Sebaiknya aku bubarkan warga dan kembali ke sini diam-diam’ batin Pak Karta.
“Rud, sebaiknya ajak warga kembali ke desa. Tak baik jika berlama-lama di sini,” ucap Pak Karta. Rudi pun menuruti apa kata ayahnya. Begitu juga dengan warga.
“Bapak sendiri, tidak ikut pulang?” tanya Rudi sebelum dia meninggalkan tempat itu.
“Bapak mau langsung ke rumah Ustadz Yusuf,” jawab Pak Karta.
“Baiklah Pak. Kalo begitu, saya dan warga pulang dulu,” pamit Rudi. Pak Karta hanya mengangguk.
Setelah Rudi dan warga meninggalkan tempat itu, Pak Karta bergegas ke rumah Ustadz Yusuf.
“Assalamu’alaikum!” ucap Pak Karta.
“Waalaikumsalam!” terdengar jawaban dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu pun dibuka dari dalam. Kebetulan Ustadz Yusuf sendiri yang membuka pintu.
“Oh, Pak Karta. Mari silakan masuk, Pak,” Ustadz Yusuf mempersilakan Pak Karta untuk masuk. Setelah Ustadz Yusuf meminta istrinya membuatkan minuman untuk Pak Karta mereka duduk di ruang tamu dan berbincang di sana.
“Bagaimana Pak, ada yang bisa saya bantu?!” tanya Ustadz Yusuf.
“Ini tentang yang terjadi di desa kita saat ini, Ustadz. Saya tahu, di belakang saya dan keluarga masih ada beberapa warga yang beranggapan kehadiran cucu saya Diandra, sebagai pembawa petaka di desa ini. Jujur, saya sendiri kadang juga berpikir demikian. Tapi, saya selalu berusaha menepis itu semua. Walau bagaimanapun, Diandra tetap cucu saya,” terang Pak Karta.
“Selain itu ada yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz,” sambung Pak Karta.
“Tentang apa ya, Pak?!” Ustadz Yusuf balik bertanya.
“Maaf sebelumnya, apa ... Kyai Ahmad pernah bercerita tentang hutan terlarang yang ada di ujung desa, kepada Ustadz?” tanya Pak Karta hati-hati.
“Seingat saya ... beberapa bulan sebelum beliau meninggal, beliau sempat menyinggung tentang hutan itu. Beliau juga pernah beberapa kali meminta saya untuk menanyakan tentang hal ini kepada Bapak dan membantu Bapak, jika memang diperlukan. Namun, karena kesibukan saya, saya lupa akan hal itu. Sebenarnya, apa hubungan semua ini dengan hutan itu Pak?!” tanya Ustadz Yusuf. Pak Karta mendesah panjang, wajahnya tampak begitu lelah tapi dia harus segera menyelesaikan semua ini.
“Begini Ustadz, saya, Kyai Ahmad dan istri saya mempunyai kisah yang panjang mengenai hutan itu,” ujar Pak Karta.
“Cerita ini juga berkaitan dengan orang tua Mayasari dan Mayasari sendiri,” lirih Pak Karta. Ustadz Yusuf terkejut dan terperangah dalam diam. Dia tak menyangka akan ada kisah tentang hutan terlarang.
“Maksud Bapak?!” tanya Ustadz Yusuf penasaran.
“Jadi begini Ustadz, orang tua Mayasari ... mereka masih hidup,” ucap Pak Karta. Hal itu membuat Ustadz Yusuf tersentak tak percaya.
“Kalo mereka masih hidup, dimana mereka, Pak. Kenapa waktu Mayasari dan Rudi menikah mereka tidak hadir?” tanya Ustadz Yusuf.
“Mereka memang tidak hadir tapi mereka tahu jika Maya menikah dengan anak saya,” jawab Pak Karta.
“Maaf Pak, saya kok masih bingung ya. Bisakah Bapak ceritakan secara keseluruhan. Mungkin saya lupa, dulu almarhum ayah saya sudah cerita atau sekedar menyinggung tentang hutan terlarang,” ujar Ustadz Yusuf panjang lebar.
“Saya, istri saya dan kedua orang tua Maya, dulunya kami berempat bersahabat. Kemana-mana kami selalu bersama. Semua petaka ini mungkin berawal dari kesalahan kami dimasa lalu. Oh ya, selain kami berempat sebenarnya ada dua orang lagi yang ikut terlibat. Mereka adalah Sarina adik dari Widarta dan kekasihnya ...”
“... Widarta itu siapa, Pak?” potong Ustadz Yusuf.
“Widarta adalah ayah dari Mayasari dan Sarina yang merupakan adik Widarta adalah ibu dari Wati,” Pak Karta menjelaskan.
“Itu berarti ... Wati dan Maya ...”
“ ... Saudara sepupu,” sahut Pak Karta cepat.
“Kalo mereka saudara sepupu, kenapa sepertinya Wati sangat membenci Maya. Saya dapat melihat pancaran penuh dendam dari sorot matanya!” ujar Ustadz Yusuf.
“Saya juga tidak tahu pasti, Ustadz. Mungkin semua juga berkaitan dengan masa lalu kami,” ujar Pak Karta.
“Ceritakan saja semua, pada saya Pak. In Syaa Allah, saya akan bantu menyelesaikannya.
Pak Karta menghela napas panjang. Namun, dia sudah mengambil keputusan, apapun resikonya, dia akan menceritakan semua pada Ustadz Yusuf. Dia berharap, Ustadz Yusuf dapat membantunya menyelesaikan petaka yang terjadi di Desa Damai.
Bersambung
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan