"Mbak, seng tenan? Enggak ngapusi 'kan, Mbak? (Mbak, yang bener? Enggak bohong 'kan, Mbak?)" tanya Rahma sangat penasaran.
"Iyo tenan, Ma. Iki aku entuk jadwal gae medical check-up. (Iya beneran, Ma. Ini aku dapat jadwal untuk medical check-up)" Nayla menunjukkannya pada Rahma.
"Wah ... iki idek kampusku, Mbak. Kapan medical check-up'e? (Wah ... ini dekat kampusku, Mbak. Kapan medical check-upnya?)"
"Hmmm, besok biar cepat." Nayla menarik kursi kecil dan duduk. Rahma mengikutinya dan duduk berhadapan.
"Okey. Besok bareng berangkat sama aku, Mbak. Naik motor!"
Nayla hanya membulatkan jarinya menandakan ia setuju. Sekali lagi, Rahma memeluk Nayla mengucapkan selamat karena Nayla berhasil mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang sangat ia inginkan.
"Makasih ya, Ma. Aku mau ke kamar, telepon Wisnu dulu." Bergegas Nayla meninggalkan Rahma dan masuk ke dalam kamarnya.
Setelah melepaskan semua pakaian dan menggantinya, ia segera menelepon kedua orangtuanya yang berada di kampung. Baru kemudian menelpon Wisnu, hingga hampir satu jam lamanya. Melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul lima sore, Nayla beranjak akan mandi.
Sebentar ia bercermin di depan kaca. Nayla memperhatikan wajahnya, kemudian ia berdiri. Tak sengaja baju yang dipakainya terangkat sedikit ke atas saat Nayla mengangkat kedua tangannya untuk merenggangkan otot-ototnya. Memperlihatkan sebuah tanda bintang berwarna merah di bagian perut bagian bawah Nayla.
"Ini tanda lahirku kenapa aneh gini ya? kata ibu, aku belum saatnya tau tentang tanda lahir ini," gumam Nayla sendiri di depan cermin.
***
Hampir menjelang magrib, Nayla selesai mandi dan keluar dari kamar mandi menuju kamarnya yang berada di depan.
"Rahma di mana? Apa dia di kamar?" batinnya saat lewat di depan kamar Rahma sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan saudara perempuannya itu.
Dengan langkah kaki cepat, Nayla segera masuk ke dalam kamar. Segera ia membuka handuk putih yang melilit tubuhnya. Dan menggantinya dengan kaos berwarna putih dan celana pendek selutut. Nayla kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur yang empuk. Pikirannya melayang-layang memikirkan sesuatu.
"Akhirnya, aku bisa menggapai cita-citaku bekerja di bank. Tapi ...."
Ia bangkit dan duduk di pinggiran kasur. Matanya melihat ke suatu benda kecil dan berkilau di atas meja rias. Nayla berdiri dan berjalan ke arah meja kecil dengan kaca besar berbentuk persegi panjang.
Nayla mengambil benda kecil berwarna kuning kecoklatan dengan sebuah batu gesper berwarna hijau. Benda itu memiliki motif kupu-kupu tepat di bawah batu dengan motif bunga yang berada di tengahnya. Terlihat sangat indah.
Nayla terus memperhatikan benda yang sedang dipegangnya. Benda itu ia temukan beberapa hari yang lalu di bawah pohon asam di sekitar rumahnya sebelum ia pergi ke Malang.
"Tusuk konde ini masih bagus. Kenapa dibuang ya?"
Nayla duduk di kursi kecil dan ia mulai menggulung rambut hitamnya yang panjang. Ia menusukkan tusuk konde tersebut ke gulungan rambutnya. Nayla masih bercermin sambil senyum-senyum sendiri setelah menggulung rambutnya menggunakan tusuk konde.
Tok tok tok
Tok tok tok
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan di pintu. Membuat gadis itu berlari keluar kamar dan berjalan menuju ke pintu depan. Dibukanya pintu tersebut. Nampak Tante Dewi yang baru pulang kerja. Namun wajah Tante Dewi seperti ketakutan saat melihat Nayla di hadapannya.
"Aaarrrhhh!" teriak Tante Dewi menutupi seluruh mukanya.
"Tante Dewi, kenapa, Tante?" Nayla panik tak mengerti. Rahma yang sedang ada di dalam kamar, keluar menghampiri Nayla dan mamanya.
"Kenapa Mbak, Mama?"
"Enggak tau, Ma. Tiba-tiba udah teriak-teriak ketakutan gini." Rahma berusaha membuat mamanya agar tidak ketakutan.
"Ma, kenapa? Ada apa, Ma?"
"H-hantu di belakang Nayla," ucap Dewi masih menutup wajahnya.
Sontak Rahma dan Nayla saling berpandangan. Tak mengerti dengan yang dimaksud Tante Dewi.
"Mama takut, ada hantu di belakang Nayla."
Tanpa sengaja, Rahma yang berpindah posisi bermaksud mengajak mamanya masuk ke dalam rumah karena sudah magrib itu, menyenggol gulungan rambut Nayla hingga tusuk konde yang dipakainya terjatuh ke lantai. Rambut panjangnya tergerai indah. Nayla ikut membantu Rahma membawa Dewi ke sofa.
"Tante, enggak apa-apa? Enggak ada hantu di sini, Tan," ujar Nayla.
"Iya, Ma. Enggak ada yang dikatakan Mama. Coba Mama buka dulu tangannya," bujuk Rahma pada mamanya.
Perlahan Dewi melepas kedua tangannya dari wajah. Mata yang terpejam mulai sedikit-sedikit terbuka. Hingga Dewi benar-benar membuka kedua matanya.
Manik-manik mata Dewi mengedar ke Nayla dengan tatapan takut. Kemudian Dewi bisa bernapas lega. Rahma dan Nayla mengelus dadanya bersamaan.
"Enggak ada apa-apa kan, Ma ...." kata Rahma.
"Tapi tadi Mama benar-benar melihat perempuan penuh darah di wajah dan badannya. Perempuan itu berdiri di belakang kamu persis, Nay!" Tatapan mata Dewi beralih melihat ke Nayla.
Ada kernyit di kening Nayla. Berusaha memikirkan perkataan Tante Dewi. Yang menurut Nayla ia juga pernah melihatnya.
"Perempuan yang berdarah dengan memakai kebaya merah, Tante?" tebak Nayla. Kedua mata Dewi membulat lebar dan melotot ke arah Nayla, keponakannya.
"Benar, Nay ... kamu pernah melihatnya?"
"Pernah, Tante. Akhir-akhir ini Nayla melihat sosok itu."
"Kamu harus berhati-hati, Nay. Ada yang mengikuti kamu berarti."
"Tapi kenapa, Tan? Nayla enggak kenal dengan sosok itu. Dan Nayla juga enggak pernah ke tempat-tempat yang begituan."
"Apa kamu pernah menemukan sesuatu yang bukan milikmu?" Tatapan mata Dewi dan Nayla saling bertemu.
Nayla terdiam, berusaha mengingat sesuatu yang dikatakan Dewi. Kemudian pandangan mata Nayla beralih ke tusuk konde yang jatuh di lantai.
"Nay?" panggil Dewi.
"Eh, iya, Tante," jawab Nayla gelagapan.
"Apa kamu pernah menemukan sesuatu yang bukan milik kamu? Lalu kamu menyimpannya?"
"Belum, Tante. Nayla enggak pernah kok," ucapnya sengaja berbohong.
"Tante serius, Nay. Kalau beneran kamu pernah menemukan sesuatu. Cepat kembalikan!" tegas Dewi pada Nayla.
Nayla hanya mengangguk. Rahma tidak mengerti dengan yang mereka berdua bicarakan. Kemudian gadis itu beranjak mengambilkan minum untuk mamanya. Namun, ditahan oleh Nayla.
"Biar aku saja yang ambilin minum buat Tante. Kamu tunggu di sini aja!" Rahma pun setuju.
Nayla berdiri dan berjalan ke arah pintu depan yang masih terbuka. Ia bermaksud untuk menutup pintu. Lalu dengan cepat Nayla mengambil tusuk konde miliknya di lantai. Tanpa sepengetahuan Dewi dan Rahma, ia menyimpan tusuk konde tersebut ke dalam kantong celana dan berjalan menuju dapur mengambil minum untuk Tante Dewi.
"Masa tusuk konde ini berhantu sih? Aku enggak percaya. Tapi kenapa sinden merah itu mengikuti aku sampai menampakan dirinya pada Tante Dewi?" batin Nayla penuh tanya dengan memperhatikan tusuk konde yang digenggam.
Bersambung
***
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di