"Masa tusuk konde ini berhantu sih? Aku enggak percaya. Tapi kenapa sinden merah itu mengikuti aku sampai menampakan dirinya pada Tante Dewi?" batin Nayla penuh tanya dengan memperhatikan tusuk konde yang digenggam.
Nayla mengambil gelas dan menekan tombol di dispenser. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya merinding. Hidungnya mengendus-endus sesuatu yang berbau begitu wangi.
Wangi bunga melati seperti parfum. Nayla tak begitu menyukai aroma wangi melati yang menurutnya seram. Pandangan matanya melihat-lihat ke setiap sudut dapur. Namun nihil, tak ada apapun.
"Merinding aku ... onok opo seh jane iki? (Ada apa sih sebenarnya ini?)"
Nayla berbalik dan terkejut saat Rahma dan Dewi sudah berada di belakangnya. Ia hampir saja melompat karena kaget. Gelas berisi air minum untuk Dewi pun sedikit tumpah.
"Kok disini, Tan. Mau kubawakan ke depan, Tan?"
"Enggak usah, Nay. Tante sekalian mau mandi dan sholat," jawab Dewi.
Dewi mengambil handuk yang berada di gantungan. Wanita berwajah keibuan tersebut lantas masuk ke dalam kamar mandi. Rahma mendekati Nayla yang masih terbengong sambil memegang gelas minum.
"Mbak Nay, sini!" panggil Rahma seraya menarik tangan Nayla menjauh dari sana agar tidak terdengar oleh Dewi yang sedang mandi.
"Apa toh, Ma?"
"Mbak, aku serius ini mau tanya sama sampean (kamu)."
"Tanya apa?"
Nayla duduk di sebuah kursi piano di rumah itu. Dewi memang sangat suka bermain piano sejak remaja hingga saat ini. Oleh sebab itu ia mempunyai piano di rumahnya.
"Mbak Nay, ingat nggak? Tadi pagi sebelum berangkat, kita bertiga 'kan foto bersama di depan dekat pohon mangga?" Nayla terdiam, ia sedikit menaikan alisnya, lalu mengangguk.
"Mbak, sekarang lihat foto ini!" Rahma menunjukan foto di hpnya pada Nayla. Ia juga membesarkan foto itu agar lebih jelas.
Saat melihat foto yang ditunjukan Rahma, Nayla menjadi terkejut.
"Dia?" desis Nayla namun masih dapat didengar oleh Rahma.
"Apa maksudnya dia itu, Mbak? Apa Mbak sudah pernah melihatnya?" tanya Rahma sambil membenarkan posisi duduknya.
Nayla melihat ke pintu kamar mandi yang masih tertutup. Kemudian beralih menatap Rahma.
"Yuk, ikut aku ke kamarku!" ajak Nayla langsung menyeret tangan Rahma.
Kedua gadis itu masuk ke dalam kamar Nayla yang rapi. Kemudian mereka berdua duduk di ranjang dan saling berhadapan.
"Kenapa sih, Mbak. Kok mama enggak boleh tau ini?"
"Issh ... aku juga enggak tau sebenarnya. Aku penasaran ingin memastikan dan menyelidikinya dulu, Ma," jawab Nayla menghembuskan napasnya.
"Siapa sih perempuan di foto itu, Mbak? Dari gaya dan model pakaian yang dipakai, sepertinya dia sinden. Dan tadi mama bilang, sinden itu ada dibelakang Mbak Nayla. Apa benar?"
Nayla menghirup udara sejenak. Dan mengeluarkannya dari mulut. Kemudian kepala Nayla mengangguk perlahan.
"Sinden itu yang sepertinya dilihat oleh Tante Dewi tadi, Ma. Aku juga sering melihat sinden merah ini di kaca. Aku sampai takut. Dia pucat, tatap matanya tajam. Ada luka di kepala dan luka tusuk di dada sama perutnya," terang Nayla pada Rahma.
"Hii ... aku jadi seram, Mbak. Hati-hati, sampean berarti lagi diikuti sama makhluk halus."
"Bingung aku harus gimana? Aku belum cerita sama siapa pun, selain kamu, Ma," Nayla mengusap wajahnya, terlihat ia sangat sedih.
"Semoga enggak terjadi apa-apa, Mbak," Rahma memeluk saudaranya itu.
Tiba-tiba Nayla teringat sesuatu yang sedang dia kantongi. Ia meraba sakunya dan mengeluarkan tusuk konde tersebut dari sana.
"Apa itu, Mbak?" tanya Rahma yang nampak penasaran.
"Tusuk konde, aku nemu, hehehe."
Rahma langsung merebut tusuk konde itu dari Nayla. Kemudian ia mengamati tusuk konde tersebut dengan seksama. Menurut Rahma, tusuk konde itu sangat unik. Motif batu dan bentuknya sangat kuno.
"Apik, Mbak. Nemu ndek endi? (Bagus, Mbak. Nemu dimana?)"
"Aku nemuin di bawah pohon asam dekat rumah sehari sebelum berangkat ke Malang."
"Bukannya pohon asam itu angker ya, Mbak?" tanya Rahma antusias.
"Halah, itu cuma buat nakut-nakutin aja." Nayla sambil mengibaskan tangannya. Rahma hanya membalas dengan membulatkan bibirnya berbentuk O.
"Mbak, aku mau coba!"
Lalu, Nayla memberikan tusuk kondenya pada Rahma.
Gadis itu beranjak menuju meja rias. Menggulung rambutnya, kemudian ia tusukan tusuk konde tepat di tengah rambut.
Rahma pun berkaca, ia merasa dirinya sangat cantik ketika mengenakan tusuk konde tersebut. Namun saat Rahma semakin memperhatikan dirinya di dalam cermin, tiba-tiba dia menjerit kencang.
"Aaaarrrrgh!"
"Kenapa, Ma?"
"Ada sinden merah itu di kaca, Mbak! Dia dibelakangku," jawab Rahma dengan terbata-bata.
"Mana? Enggak ada siapa-siapa kok, Ma. Untung tante enggak dengar. Udah, enggak ada apa-apa." Nayla tak percaya.
"Tapi, Mbak ...."
"Ayo kamu coba ngaca lagi. Aku temani," potong Nayla dan mengajak Rahna mendekati cermin lagi.
Dengan perasaan yang masih takut, Rahma berjalan kembali menuju cermin ditemani oleh Nayla di sampingnya. Lagi-lagi sinden merah itu terlihat di cermin tepat di belakang Nayla. Gerakan tangan Nayla sangat cepat menyambar tusuk konde yang masih berada di rambut Rahma.
"Loh, kok di lepas, Mbak?" Rahma menoleh ke samping di mana Nayla berada.
"Eh ... tadi mau jatuh, terus aku ambil, Ma ...." ujar Nayla berbohong. Ia juga menahan gejolak dadanya yang berdetak cepat karena melihat sinden merah tersebut.
"Kenapa sinden itu mengikuti aku? Apa ada hubungannya dengan tusuk konde ini? Setiap kali memakainya, sinden merah itu selalu muncul tepat di belakang," ucap Nayla dalam hatinya sendiri.
Dari luar kamar, Tante Dewi terdengar memanggil mereka berdua. Kemudian Rahma keluar meninggalkan Nayla yang masih terbengong sendirian di dalam kamar.
"Mbak, ayo makan diajak Mama, tuh," ajak Rahma dari depan pintu kamar Nayla yang terbuka.
Lamunan Nayla langsung buyar. Bergegas ia mengganti celana pendeknya dengan celana panjang. Dan menemui Tante Dewi di luar. Sebelumnya, Nayla sudah meletakan tusuk konde tersebut di meja rias. Kini, mereka bertiga berada di ruang keluarga.
"Kalian mau makan apa?" tanya Tante Dewi.
"Terserah aja, Tan, Nay ikut!"
"Hmm ... kalau Rahma mau makan soto ayam Lamongan, Ma. Di Cak Kholid."
"Ya sudah, kita makan soto aja kalau begitu."
"Okey, Tan." Nayla setuju.
Mereka bertiga pergi menggunakan mobil Honda Jazz Tante Dewi yang berwarna merah. Rahma duduk di depan samping Dewi.
Sementara Nayla masih membuka pagar untuk mobil itu keluar. Saat Nayla akan menutup pagar, sinden merah berdiri tepat di depan pintu rumah. Tatapan tajam mengarah padanya. Tapi Nayla merasa ada sesuatu yang berbeda dari sinden itu.
"Dia lagi? Tapi, sepertinya agak berbeda? Apa cuma perasaan aku yang merasa dia ada perbedaan?" batin Nayla. Sesekali ia melirik ke arah sinden itu dengan rasa takut.
Bersambung
***
Mereka bertiga pergi menggunakan mobil Honda Jazz Tante Dewi yang berwarna merah. Rahma duduk di depan samping Dewi.Sementara Nayla masih membuka pagar untuk mobil itu keluar. Saat Nayla akan menutup pagar, sinden merah berdiri tepat di depan pintu rumah. Tatapan tajam mengarah padanya. Tapi Nayla merasa ada sesuatu yang berbeda dari sinden itu."Dia lagi? Tapi, sepertinya agak berbeda? Apa cuma perasaan aku yang merasa dia ada perbedaan?" batin Nayla. Sesekali ia melirik ke arah sinden itu dengan rasa takut."Nay, ayo naik!" panggil Tante Dewi dari dalam mobil."Iya, Tan. Maaf." Berlari kecil Nayla membuka pintu tengah mobil lalu masuk.Karena jarak yang tidak terlalu jauh, mobil merah Tante Dewi sudah sampai di sebuah rumah makan soto Lamongan Cak Kholid yang sangat ramai pembeli. Setelah mendapatkan tempat parkir, mereka bertiga turun dan berjalan masuk ke dalam restoran."Ma, aku sama Mbak Nayla cari tempat duduk ya!" seru Rahma.
Mereka berdua kembali duduk di kursi masing-masing. Tante Dewi langsung bertanya pada Nayla kenapa ia lama di toilet. Dengan alasan tiba-tiba kebelet, Tante Dewi pun percaya. Tanpa sepengetahuan Tante Dewi, Rahma dan Nayla saling berpandangan.Sekitar hampir setengah jam mereka menyelesaikan makan dan saling mengobrol tentang tes Nayla hari ini."Tante senang, akhirnya kamu berhasil meraih cita-cita kamu," ujar Tante Dewi."Terimakasih, Tante. Nayla juga sangat bersyukur. Enggak menyangka bisa keterima di bank ternama."Setelah membayar, Dewi, Rahma, dan Nayla berjalan ke parkiran menuju mobil. Tante Dewi memberikan uang pada bapak tukang parkir yang sudah tua.Namun, saat Nayla berjalan melewati bapak tua, tiba-tiba lengannya ditarik oleh bapak itu. Membuat Nayla langsung menoleh ke arah yang menariknya."Ada apa, Pak?" tanya Nayla."Hati-hati. Kamu selalu diikuti oleh dia!"Pandangan mata bapak tukang parkir mengarah pada sesua
Nayla berjalan meninggalkan Tante Dewi dan Rahma yang masih duduk di ruang TV. Saat ia akan membuka pintu kamar. Nayla sejenak menoleh ke ruang dapur dan ruang makan. Nayla masih terbayang sosok sinden dan Wisnu yang sangat menyeramkan bagi Nayla.Tanpa sepengetahuan Nayla, Rahma tak sengaja melihat Nayla yang berdiri terdiam di depan pintu kamar. Kedua matanya menatap ke arah dapur. Tak lama, Nayla pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu."Pasti Mbak Nayla tadi berbohong soal kangen dengan Mas Wisnu. Ini pasti ada hubungannya dengan sosok sinden dan tusuk konde yang dimiliki Mbak Nay." kata Rahma dalam benaknya.***Malam mulai semakin merangkak naik. Suasana rumah itu sudah sangat sepi dan hening. Nampaknya semua penghuni rumah sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Tapi tidak demikian dengan Nayla yang sepertinya tidak bisa tidur.Tampak gadis itu membolak-balikan tubuhnya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya. Tapi bayangan mengerikan te
Disaat Nayla penasaran dan bertanya-tanya tentang kabar Wisnu, terdengar sebuah suara memanggil namanya. Nayla menoleh ke asal suara. Angel yang turun dari taxi online berlari ke arah Nayla."Nay!" panggil Angel dengan melambaikan tangan.Nayla membalas lambaian tersebut sambil berusaha tersenyum, walaupun hatinya sedang gundah gulana. Sesekali ia melirik ke hpnya berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Wisnu."Nay, kamu sampai jam berapa?" tanya Angel saat sudah berhadapan dengan Nayla."Baru juga kok. Aku juga lagi nunggu kamu.""Oh ya udah, kita masuk yuk. Tunggu di dalam, adem. Di sini panas.""Eh, tau adem kamu?""Tau, sedikit, hehehehe. Ayo!" Angel langsung menarik tangan Nayla.Mereka berdua berlari kecil memasuki lobby rumah sakit. Di depan, mereka menuju ke bagian resepsionis administrasi. Angel dan Nayla langsung mendapatkan nomor antrian karena memang sudah terdaftar dari bank.Angel mengajak Nayla untuk mencari t
"Ya ampun ... paling juga orang iseng, Nay. Eh, tapi kalau itu orang yang mau kasih kabar tentang pacar kamu, gimana?" Angel melotot ke arah Nayla.Seketika kedua mata Nayla semakin membulat lebar."Oh ya ya, coba aku telepon lagi."Nayla kembali menelepon nomer tidak dikenal itu. Teleponnya lagi-lagi tidak diangkat. Nayla menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih pada Angel."Sudah tenang aja. Mungkin orang iseng." Angel berusaha membuat Nayla agar tidak bersedih.Saat Angel dan Nayla sedang menunggu nama mereka dipanggil. Hp Nayla bergetar. Ia langsung melihat hpnya. Tertulis sebuah nomer yang dari tadi berusaha ia telepon. Nayla pun segera mengangkat telepon itu."Halo.""Halo, apa benar ini nomer Mbak Nayla?" tanya seorang lelaki dari seberang telepon."Iya. Ini siapa ya?""Saya, Aldo, adik dari Mas Wisnu.""Wisnu? Dimana Wisnu sekarang, Do?" tanya Nayla begitu penasaran dan khawatir.Tiba-t
Saat Nayla akan masuk ke dalam rumah, kedua matanya melihat sosok sinden merah yang berdiri di depan pintu rumah Tante Dewi. Sosoknya begitu mengerikan dengan wajah pucat penuh luka."Oh tidak! Kenapa dia muncul lagi?" Nayla seketika menutup wajahnya melihat sosok mengerikan itu."Nay?" Angel menepuk bahu Nayla pelan."Ada sinden merah itu, Ngel," ujar Nayla yang masih menutupi wajahnya.Angel menoleh ke kakan dan kiri. Namun tak ada siapa pun."Enggak ada siapa-siapa kok, Nay. Kamu coba lihat aja," kata Angel.Perlahan Nayla mulai membuka kedua tangannya dari wajah. Ia sedikit menyipitkan mata untuk melihat. Sosok sinden itu sudah tidak ada di depan pintu. Nayla mengedarkan pandangannya ke segela arah.Melihat raut wajah Nayla yang ketakutan membuat Angel bertanya pada temannya itu."Kamu kenapa sih, Nay? Dari kemaren kamu kayaknya sebut-sebut sinden merah." Angel tampak sedang mengingat kejadian kemarin saat ia da
Nayla masih berdiri menatap Angel. Begitu juga dengan Angel yang masih menoleh ke belakang sambil melambaikan tangannya.Tiba-tiba raut wajah Angel berubah menjadi ketakutan saat melihat sinden merah itu berdiri di samping Nayla persis. Dengan kepalanya dan badannya yang berdarah.Setelah motor itu berbelok, Angel hanya terdiam. Tampak ada sesuatu yang sedang ia pikirkan."Nanti aku coba telepon Nayla aja deh," ucap Angel pada dirinya sendiri.Saat motor ojek Angel keluar dari perumahan, bersamaan dengan itu motor Rahma memasuki perumahan.Ketika Nayla akan menutup pagar, terdengar suara motor Rahma."Mbak, Nay!" panggil Rahma. Membuat gadis itu menoleh lalu membukakan pagar untuknya.Rahma memasukan motornya ke halaman. Melepas helm dan menaruhnya di lemari."Mbak, kenapa, kok menangis?" tanya Rahma saat melihat Nayla yang lesu dengan kedua mata yang berkaca-kaca ingin menangis.Nayla langsung memeluk Rahma, tangisny
"Bahaya gimana maksud kamu?" Nayla menoleh dan menatap pada Rahma."Ya, 'kan tusuk konde itu Mbak Nayla ambil di tempat yang terkenal angker. Apa enggak sebaiknya, tusuk konde itu dikembalikan ke tempat Mbak Nayla ketemu."Nayla sejenak terdiam. Ia seolah sedang memikirkan perkataan Rahma."Enggak, Ma. Sama aja. Mau aku buang di mana aja juga sama, Ma." sahut Nayla. Kemudian ia kembali masuk ke dalam kamarnya.Rahma hanya menatap punggung Nayla yang masuk ke dalam kamar."Mbak Nayla kalau dibilangin mesti ngenyel," keluh Rahma.Beberapa saat kemudian, terdengar suara mobil Tante Dewi yang baru saja pulang.Saat Dewi akan turun dari mobil untuk membuka pagar, dari dalam rumah tampak Rahma sudah keluar membukakan pagar untuknya."Sudah pulang, Sayang?""Sudah, Ma."Ia memakirkan mobilnya di garasi samping rumah, tepat sebelah motor Rahma."Katanya kamu ada kerja kelompok?" tanyanya saat turun dari mobil