Share

BAB 3

Para pengemudi ojek yang berpangkalan di mulut desa Baros, wilayah terjauh di kecamatan cililin kabupaten Bandung, menatap serempak pada bus kendaraan umum yang berhenti perlahan di bawah lampu jalan yang bersinar redup.

Tidak ada yang berdiri ataupun merebut calon penumpang. Karena mereka sudah terbiasa membiarkan calon penumpang memilih sendiri ojek yang di sukai. Mereka juga menyepakati perjanjian yang tidak tertulis, apabila salah satu ojek terpakai terus menerus sementara yang lain kebanyakan menganggur, maka ojek yang laku keras itu harus berbagi sedikit rezeki nya pada rekan-rekan yang kurang beruntung. Baik itu berupa uang, maupun beberapa batang rokok atau juga dengan berpura-pura mengutak-atik sepeda motornya yang tidak mengalami kerusakan apapun, seraya menganjurkan si calon penumpang untuk naik ojek yang lain saja.

Hanya satu penumpang yang turun dari kendaraan umum itu, dan kembali bus itupun melanjutkan perjalanannya. Seorang laki-laki yang berusia sekitar 30 tahun, berpakaian rapih dengan tas mewah berukuran sedang terjinjing di satu tangan, serta sebuah kantong plastik yang tampak terisi oleh-oleh di tangan satunya lagi.

Laki-laki itu melihat sekilas saja pada kumpulan ojek di pinggir jalan, dengan pandangan kurang berminat. Setelahnya ia kemudian melangkah lesu menuju warung yang tampak terang benderang.

Beberapa lelaki yang tengah sibuk mempelajari sejumlah kertas yang beraneka ragam berserakan di atas meja, menoleh memperhatikan si pendatang. Yang di perhatikan melempar senyum sopan. Sambil ekor matanya melirik pada kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ternyata kertas ramalan-ramalan, serta Carikan kertas yang di penuhi coretan angka, Apalagi kalau bukan rumus hitungan nomor judi Singapura yang di ramalkan bakal keluar pada putaran mendatang.

Si pendatang lalu memilih bangku kosong untuk meletakkan barang bawaannya, lantas ia duduk dengan perlahan, dan ia mulai memesan secangkir minuman pada wanita pemilik warung dengan bergumam lelah.

"Kopi buk, yang encer. Gulanya pun sedikit saja ...."

Para pecandu judi kembali menyibukkan diri dengan rumus-rumus hitungan mereka, sementara si pendatang meluruskan punggung dan menarik nafas dalam-dalam.

Agung Bratamangala memang butuh istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya.

Tidak ada masalah dengan punggungnya semenjak ia naik bus dari lahat ke Palembang di teruskan naik pesawat ke Jakarta. begitupun ketika ia menyambung naik bus lagi dari Jakarta sampai kemudian turun di Cimareme, dimana ia berganti kendaraan sampai ke cililin. Namun setelah sekian kalinya berpindah kendaraan menuju desa Baros, barulah tulang punggung Agung yang belum lama sembuh dari operasi, terasa sakit, itu di karenakan jalan rusak berat semenjak dari cililin tadi. Ditambah kondisi kendaraan yang ia tumpangi, selain sudah reot, shockbreaker pada kendaraan itu tidak berfungsi pula.

Si pemilik warung meletakkan minuman yang di pesan oleh Agung. Disertai dengan pertanyaan simpatik. "Capek, nak?"

"Yah ..." ucap Agung dengan tidak bersemangat.

"Habis menempuh perjalanan jauh ya?" tanya pemilik warung itu lagi.

Agung hanya mengangguk lesu.

"Kalau boleh tau, kamu dari mana?"

"Lahat." ucap Agung singkat.

"Lahat. di mana itu?" ucap pemilik warung dengan keheranan.

"Sumatera."

"Oh Sumatra, terus kesini mau kemana?" sambung pemilik warung dengan ramah.

"Rancabiuk."

"... wah!" Bersamaan dengan ucapan wahnya, sekilas tampak adanya perubahan di wajah si pemilik warung. Salah seorang dari si pecandu judi bahkan sampai menolah dan mengawasi Agung dengan seksama.

Agung dengan heran bertanya. "Kenapa rupanya, Bu?"

"Oh. bukan apa-apa. Hanya saja malam-malam begini jika ingin ke kampung rancabiuk, menurut ibu kurang begitu baik!" ucapnya pemilik warung menasehati.

"Sebabnya?" Agung dengan tenang bertanya.

"Bukan menakut-nakuti nak, tapi nyatanya, sudah beberapa orang yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri." ucap ibu pemilik warung dengan nada khawatir.

"Melihat apa?"

"Wanita Rembulan!" Ucapnya dengan sedikit terkejut.

Agung merasa keheranan sampai-sampai ia mengerenyitkan dahi. "Siapa?" ucapnya dengan menyelidiki.

"Ceritanya panjang nak, ada sangkut pautnya dengan sebuah legenda dari jaman leluhur. Sebetulnya ibu sendiri kurang yakin, Pasti hanya karena ada beberapa persamaan dia dinamai dengan tokoh dari legenda wanita Rembulan."

"Siapa dia itu, Bu?" Agung bertanya penasaran.

"Istri juragan ikan Ariadi. Atau persisnya, arwah istrinya." ucap pemilik warung menjelaskan.

"Oh!" Desah agung, namun diam-diam ia terkesiap.

"Dia meninggal bulan lalu," si pemilik warung melanjutkan. "Katanya sih si patuk ular!"

Mendengar ucapan pemilik warung, Agung merasa keheranan. "Kok katanya?"

"Habis mana ada orang mati dipatuk ular, rohnya bergentayangan? maka banyak yang bilang kalau bukan bunuh diri, pasti wanita malang itu telah mati di bunuh!" ucap pemilik warung dengan serius.

Agung terdiam. pikiran Agung terus saja berputar. "Di patuk ular, bunuh diri, mati di bunuh. Mana yang benar? dan rohnya bergentayangan pula," ucapnya dalam hati, dan Agung kembali merasakan linu. Sampai-sampai Agung merasa sakitnya sampai merayap ke kepala, malah kemudian merembet ke ulu hati.

"Sudahlah!" Si pemilik warung memutuskan sendiri, begitu melihat wajah tamunya tampak gelisah.

"Merang kurang enak di ceritakan, apalagi tentang orang yang Judah mati dan ... ah, ibu lepas omong lagi!" ucap pemilik warung yang menyeringai tersipu. "Jadi sebaiknya menginap saja dulu di rumah ibu, besok setelah matahari terbit ...."

Agung menggelengkan kepalanya pelan. "Terimakasih bu. Tangung sudah dekat, aku akan meneruskan perjalanan ku!" ucapnya dengan sedikit senyum tipis.

"Hem, bila itu keputusan mu, ibu hanya bisa mendoakan saja!" Si pemilik warung berkata tulus. "Oh ya, ngomong-ngomong kamu mau mengunjungi siapa di rancabiuk?" tanya pemilik warung.

"Saudara ipar," Jawab agung lirih.

"Oh begitu, siapa ya? barangkali saja ibu kenal orang nya ...."

Agung menguatkan hati, lalu memberitahu. "Ariadi."

Deg ... jantung pemilik warung tersentak, rupanya yang ia bicarakan tadi adalah kerabat tamunya itu, mana sudah berkata yang tidak-tidak.

Kesibukan di meja judi pun terhenti, dan para pemain judi serempak menoleh ke arah Agung.

Pemilik warung terkejut bukan main sampai matanya membelalak lebar. dan ia segera mulai membuang nafasnya perlahan. "Jadi kamu ...."

Agung mengangguk tenang, tidak ada raut marah di wajahnya, dan dengan tenang ia menjawab. "Benar Bu, Aku adalah Abang nya Rina, almarhum istri juragan ikan Ariadi. yang rohnya bergentayangan!" ucapnya dengan wajah iba. linu di punggung Agung tidak dapat di cegah, sampai-sampai Agung merasa kesakitan.

****

Setelah mendengar siapa dan kemana tujuan akhir perjalanan sang calon penumpang, pada mulanya tidak seorang pun pengemudi ojek yang berserakan itu bersedia mengantarkan. Walau bagaimanapun Agung membujuk ... termasuk menawarkan ongkos lebih, jawaban yang ia terima tetap sama.

"Maaf om sudah terlalu malam untuk pergi ke rancabiuk!" ucap para pengemudi ojek.

Agung kesal, sangking kesal nya ia bahkan mendengus. "Apa sih yang kalian takut kan, ha?!"ucapan dengan nada kesal.

"Kami takut karena ...."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jingga Violletha
malu campur takut ya pemilik warungnya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status