Share

BAB 4

"karena apa?" Desak agung yang masih kesal.

Kemudian para pengemudi ojek itu saling bertukar pandang, lalau salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk membuka mulut.

"Jadi begini om, semenjak wanita rembulan itu muncul, sudah tiga orang yang jatuh sebagai korbannya. Dan tak satu orang pun dari kami yang mau menambah jumlah dari korban itu, konon lagi harus mati secara mengerikan!" ucap salah satu tukang ojek itu.

"Mengerikan bagaimana?" tanya agung dengan keheranan.

"Yah-" si pembicara tampak bimbang sejenak, lalu setelah mencoba menenangkan dirinya barulah ia meneruskan ucapannya. "Sudah tubuh tercabik-cabik leher robek menganga, serta darah pun di hisap habis pula." ucapnya dengan bergidik ngeri.

Agung gemetar mendengarnya. Gemetar bukan karena ngeri. Melainkan karena marah bercampur perasaan yang amat perih di dalam hati.

Agung memang sudah tau bahwa adiknya Rina sudah meninggal, dan maksud kedatangannya ketempat ini dengan maksud berziarah, tetapi apa yang ia dengar, sungguh teramat menyakitkan hati.

"Tadi cuma roh bergentayangan, kini pembunuh penghisap darah, dan yang menjadi sasaran tuduhan adalah adikku." ucap Agung dalam hati.

Yah bagaimana tidak, itu adalah saudara satu-satunya, adik perempuan kesayangan dan tercintanya.

Sudut matanya mulai basah sewaktu menjinjing barang bawaannya, dengan langkah lesu ia mulai berjalan meninggalkan jalan raya Lalu berbelok ke jalan simpang jalan yang menuju kampung Rancabiuk. Agung memang sanggup menahan air mata agar tidak banjir keluar, dengan menatap langit. Namun hati yang luluh serta perjalanan jauh yang ia tempuh sepanjang hari ini tetap saja membuat langkahnya tampak tertatih.

Di tempat yang ia tinggalkan, salah satu pengemudi ojek berjalan ke sepeda motornya yang langsung menghidupkan mesin sepeda motornya. Seorang rekan sesama pengemudi bertanya dengan bingung.

"Mau kemna kau Hendra?"

"Kita sudah berlaku kejam padanya!" ucapnya dengan ketus.

"Maksud mu?"

"Dia pasti masih berduka, datang jauh-jauh ke sini pun tentulah untuk berziarah, dan apa sambutan kita? menolaknya! serta berbicara yang tidak-tidak, tentang almarhum adik perempuannya!" ucapnya dengan tegas.

"Hei. Nanti dulu!" Belum sempat rekannya berbicara, Hendra sudah keburu tancap gas menyusul Agung yang sudah menghilang dalam kegelapan malam, rekannya lantas menyeletuk kuatir. "Mau bunuh diri apa dia?" ucapnya sambil berjalan menuju sepeda motornya.

Sedikit pun Hendra tidak berniat, apa lagi mau bunuh diri. Maka, itu sebabnya sebelum naik goncang sepeda motornya dengan tegas Hendra memberi tahu. "Saya akan antar om sampai di jembatan saja!"

Agung yang tidak pernah tahu lantas menanyakan. "Jembatan yang mana?"

"Sebelum tanjakan rancabiuk!" ucapnya lagi.

Agung menyetujui maksud Hendra. "Sampai di situ pun aku juga sudah berterima kasih. Tapi tolong tidak ngebut, jalannya pelan-pelan saja." ucap Agung dengan nada lemah.

"Oke!"

Segera Agung naik di belakang boncengan sepeda motor itu, sesuai permintaan Agung Hendra mengendara dengan santai. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling terdiam, tengelam dalam pikiran masing-masing. tanpa menyadari bahwa mereka berdua justru telah memikirkan orang yang sama.

Agung memikirkan Rina dengan hati yang lirih. Hendra dengan perasaan bimbang bercampur segan mulai mengumpulkan keberanian untuk membuka percakapan.

"Mestinya om terima saja tawaran Bu Ijah!" ucap Hendra dengan nada pelan.

"Siapa?" tanya Agung heran.

"Bu Ijah yang punya warung, dia orang baik. Suka menerima menginap orang yang kemalaman seperti om, tanpa harus bayar lagi!" Hendra menjelaskan.

"Hem ..." Agung menghela nafas. "Apa boleh buat bung, eh namamu siapa?"

"Nama saya Hendra."

"Aku Agung, Agung Bratamangala!" Agung memperkenalkan diri. Keadaan mereka tidak memungkinkan untuk berjabat tangan jadi ya hanya saling mendengar saja. "Waktu luang ku di tempat ini cuma sebentar Hendra, Aku kemari hanya untuk silahturahmi sekaligus berziarah ke kuburan adikku. Setelah itu aku harus pulang ke Lahat." Agung menjelaskan maksud kedatangannya.

"Lahat?" ucap Hendra kebingungan namun segera ia menambahkan. "Ah iya, tadi aku sempat mendengar percakapan om, di Sumatra kan? om kerja apa di sana?" tanyanya kembali.

"Polisi." ucap Agung singkat.

"Pantas saja!" ucap Hendra dengan tersenyum tipis yang di lihat oleh Agung dari kaca spion.

"Pantas apanya?"

"Waktu pertama kali aku melihat penampilan, terutama potongan rambut om, saya memang sudah punya dugaan. Hanya saja saya pikir om ini seorang tentara, bukan polisi. apa pangkatnya om?" Tanya Hendra penasaran.

Tidak menjadi rahasia Agung pun lantas memberitahu. "Kapten."

"Hebat padahal om masih begitu muda dan ...."

Tiba-tiba sepeda motor yang mereka kendarai melompat keras akibat lubang yang menganga di tengah jalan. Bahkan Agung sampai mengeluh kesakitan.

"Maaf om." Ucap Hendra setelah berhasil menguasai posisi laju sepeda motornya.

"Tak apa!" ucap Agung dengan sedikit meringis kesakitan. Agung menarik nafas dalam-dalam lalu menambahkan. "Tulang punggung ku yang salah!"

"Salah gimana om?" Tanya Hendra ingin tahu. Sambil mengendara dengan lebih hati-hati.

"Tulang punggungku habis di operasi, ada sebutir peluru yang harus di keluarkan dari salah satu sambungannya ...."

"Lantas siapa yang menembak, om?" tanya Hendra yang membuat Agung merasa lucu dan membuat ia tersenyum.

"Ya penjahat lah, karena itu pula aku harus meringkuk cukup lama di rumah sakit. Dan tidak sempat menghadiri pemakaman Rina adek perempuanku." ucapnya dengan nada haru.

"Ah, tante Rina!" Hendra berucap. "Dia pun orang nya baik, hidup merakyat, walaupun dia kaya punya rumah bagus dan mobil bagus, namun ia tidak segan-segan naik ojek kami. ongkos juga tak pernah main tawar, bila kami mengantar sampai kerumahnya, dia juga suka menawarkan makanan, paling tidak minum. sayang, orang sebaiknya harus mati muda." ucap Hendra dengan tulus.

Agung sedikit terhibur. "Jadi kamu kenal dia?" tanyanya pada Hendra.

"Tidak begitu dekat om, Tetapi semasa hidupnya banyak mengakui bahwa Tante Rina itu selain cantik, orangnya juga menyenangkan. Itu pula sebabnya mengapa saya memberanikan diri mengantarkan om sekarang," ucap Hendra menjelaskan.

Teringat pada issue yang ia dengar di pangkalan ojek tadi, Agung lantas penasaran, dan bertanya dengan serius.

"Jawab lah sejujurnya, Hendra. Benarkah roh adikku bergentayangan?"

Hendra sempat terdiam sejenak. "Entahlah om, terus terang. Kami juga belum pernah melihatnya. Namun mereka sudah berani mengangkat sumpah segala. Jadi susah juga untuk menjawabnya." Ucap Hendra dengan serius pula.

"Lantas bagaimana dengan ketiga orang yang jatuh sebagai korban?" Tanya agung.

"Kalau itu memang kenyataan. Salah seorang yang mati terbunuh, masih termasuk famili dekat saya. Saya juga malah ikut mengantarkan mayatnya kerumah sakit. Menurut pemeriksaan dokter, kematiannya itu terutama memang kehabisan darah. Sama seperti dua korban sebelumnya. Tentang apa atau siapa pembunuhnya, Dokter bersikeras mengatakan, bukan manusia dan bukan pula roh halus." Jelasnya panjang lebar.

"Oh ya!" ucap Agung dengan serius menyimak ucapan Hendra.

"Binatang buas itulah kata dokter, bintang buasnya apa, juga tidak bisa di jelaskan secara pasti. Tetapi apa yang di bilang oleh dokter itu memang benar, bagian penduduk sekitar sini percaya bahwa si pembunuh bisa jadi seekor kera besar yang menghuni lereng gunung parang. Konon kera besar itu sering terlihat berkeliaran sampai ke kebun penduduk sekitar rancabiuk." ucap Hendra menambahkan.

Agung menghela nafas lega. "Roh gentayangan pastilah hanya desas-desus belaka. Si pembunuh pun ternyata seekor kera, akan tetapi penghisap darah ...."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jingga Violletha
keren banget ini sumpah semangat thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status