Walau badai guntur dan petir sudah berlalu beberapa hari yang lalu di kota Jombang. Walau hujan dan angin ribut sudah agak reda dan menyisakan gerimis saja. Tapi awan hitam masih menggelantung rendah di atas kota Jombang.
Awan-awan yang berarak dan selalu berkumpul menjadi satu pusat pada titik tengah kota Jombang. Bisa saja awan-awan hitam dan pekat tersebut kembali memuntahkan badai kembali. Bisa saja hujan lebat akan turun kembali bilamana perang terus berlanjut di dalam kota. Bilamana pergesekan kekuatan dari energi positif dan negatif terus bersentuhan dan bergejolak.
Dari benturan-benturan dahsyat peperangan dari kedua kubu antara setan dan manusia itulah tercipta awan kumulus. Sekumpulan awan yang menggantung dan berpusat pada satu tempat dimana kumpulan awan ini sangat riskan akan terjadinya badai-badai susulan.
Di salah satu sudut kota Jombang tepatnya di area desa Mojokembang. Sebelah timur agak ke pojok selatan pinggiran kota Jombang
Kalau ada kesamaan nama dan tokoh dan tempat bukan disengaja hanya sekedar tulisan dan cerita novel saja. Bijaklah dalam membaca
Hutan Beringin Dam Sanggar Arum malam Jumat, Kala gelap menyeruak terus menerus pada keseluruhan area kota Jombang. Menyeluruh bahkan kegelapan menguasai hingga pelosok-pelosok pinggiran kota Jombang. Salah satu desa pinggiran kota Jombang bernama desa Gondek tak luput dari rengkuhan tangan-tangan besar kegelapan.Di salah satu sudut desa Gondek yang bersebelahan langsung dengan desa Mojokembang. Yakni tepat berada di utara pas desa Mojokembang sepanjang tepian aliran sungai Konto. Pada sebuah hutan beringin tepian sungai sepanjang Dam Sanggar Arum. Sosok Ki Bargowo dan salah satu anak buahnya Ki Burhan tampak tengah berdiskusi di tengah-tengah hutan beringin yang sangat luas sepanjang aliran sungai. “Burhan engkau adalah anak buahku yang paling ahli dalam membuka segel kematian. Tujuanku mengajakmu kemari adalah untuk membangunkan ratusan moster yang sesungguhnya ada di sepanjang tepian sungai Konto. Bangunkanlah ratusan monster tersebut pengaru
Peperangan bertahun-tahun yang terjadi di kota Jombang antara cahaya dan kegelapan, antara kebenaran dan angkara murka, antara manusia dan setan. Melahirkan dampak kehancuran kota peradaban kesatria-kesatria gaib terbesar ke dua setelah Surabaya pada masa itu.Hampir setengah populasi penduduk musnah akibat pembantaian-pembantaian masal dari kedua belah pihak bangsa manusia maupun bangsa jin. Pengungsian besar-besaran menuju kota-kota sekitar jombang menjadi cerita pedih tersendiri di perbatasan-perbatasan benteng kota.Para kesatria-kesatria penjaga berbatasan menjadi tameng-tameng terakhir pelindung ras manusia dari ganasnya perilaku-perilaku keji bangsa setan.Panglima Bayu serta sang anak yang bernama Sarif adalah kunci selamatnya ratusan pengungsi dari pinggiran kota Jombang sebelah utara yang hendak pergi mencari suaka menuju kota Lamongan dan Gresik.Kala itu hampir subuh benar di kawasan hutan Ndawar Blandong Pa
Tidak jauh dari kawasan hutan beringin dimana pepohonan disana bisa hidup kembali menjadi sesosok pohon monster. Ada sebuah kawasan di salah satu tebing yang masih dalam lingkup kali Konto. Dimana kawasan tersebut berdiri megah sebuah kerajaan gaib kaum Peri. Dengan pimpinan tertinggi masa ini dipegang oleh Raja Irawan yang sangat gagah dan rupawan.Bangsa Peri termasuk dalam golongan jin separuh manusia. Berperawakan tinggi dan mata seperti mata kucing dengan hidung selalu mancung. Kulit yang putih menambah elok dari wajah lonjong seperti wajah orang-orang Eropa timur. Telinga yang khas seperti telinga kelelawar namun hanya bentuknya saja menyerupai tetap berbentuk selayaknya telinga manusia.Bersenjatakan panah cahaya dan pedang kilat yang selalu mereka bawa. Bangsa Peri sangat ulung dalam strategi perang dan dalam pertempuran jarak dekat. Atau dalam penyerangan secara cepat, taktis dan akurat.Negeri Samandaka begitulah namanya terpampang je
Tengah malam di perbatasan gerbang gaib antara kerajaan peri Samandaka dan alam nyata manusia. Tepatnya di salah satu tebing curam kali Konto. Terlihat Baginda Raja Irawan dan beberapa prajuritnya sedang mengantar Raja untuk kembali ke alam manusia.Mereka seakan berdiri menginjak udara beralaskan awang-awang tiada menyentuh tanah di depan tebing kali Konto Pas. Sedangkan di bawah kaki mereka curamnya tebing dimana dasarnya adalah aliran air sungai Konto.“Raja aku berpesan kepadamu jangan sungkan kalau suatu hari nanti kau membutuhkan bantuan kami. Kami memang golongan peri dan termasuk makhluk astral dari golongan jin. Tapi kami adalah jin Islam yang pernah bahu-membahu berperang disisi kebenaran Allah bersama kakekmu Haji Jaka di bawah naungan bendera organisasi tua bernama T O H,” ucap Baginda Raja Irawan menepuk pundak Raja seakan meyakinkan akan kesungguhannya.“Baik Baginda Raja Irawan saya mohon pamit terlebih dahulu.
Akri berlari tergesa-gesa melewati beberapa orang yang tengah beristirahat. Mata Akri sedikit melihat wajah-wajah para pejuang di sekitarnya. Kengerian tampak menggelayut di setiap raut muka mereka. Rasa takut akan kematian dan kecemasan apakah akan ada pertempuran terjadi lagi menjadi kekhawatiran tersendiri di benak masing-masing pejuang.Sore itu divisi utama tengah beristirahat dalam reruntuhan masjid besar di pinggiran kota Jombang sebelah desa Dempok. Salah satu alasan para kelompok anak keturunan sering bermukim atau beristirahat di dalam reruntuhan masjid adalah, karena tidak mungkin setan masuk dalam masjid memburu mereka. Para pasukan setan hanya mampu sampai gerbang depan.Sebab kalau ia sampai masuk ke dalam tubuhnya akan terbakar habis menjadi abu oleh aura tersendiri yang di timbulkan masjid walau masjid tersebut sudah berupa reruntuhan. Akri terseok-seok menghadap Raja yang tengah berunding mengatur strategi dengan Gilang. Iya tampak tergesa-gesa d
“Hahay, asyik Duwi, sudah lama kita tidak bersenang-senang lagi seperti ini ya,” teriak Kakek Mamat sambil terus menghantam dan menendang beberapa manusia kayu hingga hancur lebur tak bersisa.“Hati-hati encok kawan,” teriak Kakek Duwi yang masih berwujud mode api kuning terus membakar dan menghanguskan beberapa manusia kayu atau pohon setan yang iya lalui saat melesat bolak-balik di sepanjang aliran sungai Konto tepatnya di Dam Sanggar Arum.Sementara itu Akri dan sembilan belas orang yang ada pada naungannya dalam divisi pengintai. Mereka terus ikut membantu pembantaian pohon setan hingga hancur lebur dengan kekuatan dan jurus mereka masing-masing.“Woi ketua Akri kenapa pohon setan seakan tak pernah habis,” teriak salah satu punggawa divisi pengintai sambil terus melontarkan panah-panah cahaya.Rupanya manusia pohon dari hutan beringin memang dapat dihancurkan. Tapi ada satu keanehan dari tubuh mereka yang hanc
Air yang semula tenang di sulap menjadi sebuah ombak besar oleh Ki Burhan dengan sebuah jurus peraga ajian pemanggil kodam setan miliknya. “Raja kali ini tamatlah riwayatmu bangsa kalap adalah setan terkuat yang tak bisa hancur. Sebab bangsa kalap terbuat dari air sehingga dipukul jua tak akan bisa, dibakar api jua tak mampu membakarnya seluruh bentuk mereka adalah air,” teriak Ki Burhan sambil terus menatap dengan mata melotot pada Raja yang tengah bersiap dengan kuda-kuda sempurna di depannya. Sementara itu di belakang Ki Burhan berdiri ratusan bentuk setan berwujud air berkumpul. Sehingga bentuk-bentuk setan kalap yang berasal dari air dan berbentuk tinggi besar. Seakan mereka serupa air bah mirip dengan tsunami yang hendak meluluh lantakkan apa pun yang menghalanginya. “Raja kami akan membantumu,” ujar Akri datang dengan sembilan belas anggota divisi pengintainya berjajar di samping kanan, kiri dan belakang Akri setelah beberapa saat yang lalu mener
Setelah kapak berhenti berputar dan mampu dijinakkan oleh Kakek Duwi. Kakek Duwi mulai memegang gagang kapak lalu secepat kilat mengayunkan ke arah belakang. “Hiya...!” teriak Kakek Duwi seketika mengubah wujudnya menjadi mode api kuning kembali. Sehingga kapak yang iya pegang semula bukan senjatanya ikut tersalurkan api kuning membakar setiap sisi kapak namun tak hancur tetap utuh. Saat kapak terayun ke arah belakang oleh ayunan dari lengan kuat tangan Kakek Duwi. Ada satu tangan dari sosok tua lain yang menangkap ayunan kapak padanya. Sosok tersebut tersenyum pada Kakek Duwi sambil berkata, “Paman kau masih saja lekas marah.” Samping pas kakek tua yang memanggil Kakek Duwi dengan sebutan Paman. Ada pula satu sosok lebih tua lagi tapi masih lebih tua Kakek Duwi berkata, “Mas tidak ingatkah pada kami keponakan-keponakanmu, anak dari mendiang Haji Bagus Effendik.” Seketika saat Kakek Duwi melihat wajah-wajah mereka dan sesaat setelah menden