“Kamu suka gaunku?” tanya Maia sambil terus membaca. Dimas gelagapan. Ia tak menyangka bahwa dalam serius membaca ternyata Maia tahu apa yang Dimas lakukan ketika menatapi dirinya. Tak mau terlihat bahwa ia terciduk, ia buru-buru membantah. “Aku tidak melihati gaunmu.” “Jangan bohong.” “Aku melihati pemandangan alam. Wajahmu.” “Alasan.” “Hei, aku pria normal.” Maia tertawa kecil. “Sudah lama aku tidak mendengar joke-joke seperti itu.” “Ketika aku mengatakan bahwa aku melihati pemandangan alam yakni wajahmu, itu serius. Dan ketika aku mengatakan aku pria normal, itu jelas bukan joke.” “Apa yang kamu mau tunjukan dengan koran ini?” tanya Maia sambil mengembalikan koran ke tangan Dimas. “Aku ingin menikmati waktu bersamamu.” Maia tidak segera menjawab. Ia sudah menduga itu jadi alasan mengapa Dimas mendatangi unitnya. “Boleh?”
“Kembali ke soal tadi,” Dimas menyambung sambil mulai mengunyah cake pesanannya. “Aku mengkhawatirkanmu, dan aku ingin berbagi beban hidupmu untuk kita hadapi bersama. Kenapa harus menanggung masalahmu seorang diri?” “Kamu tahu itu berbahaya.” “Karena aku tidak bisa bela diri?” “Bukan itu.” “Tidak bisa menembak?” “Bukan.” “Lantas?” “Karena.... kamu... kamu kan tidak pernah dilatih secara militer.” “Tentu saja aku pernah.” “Kapan?” “Saat sekolah aku ikut Pramuka.” Maia tersedak. Dalam tawa, ia dengan gemas memukul pundak Dimas yang dengan cekatan ditangkis Dimas. Mobil yang Dimas kendarai mulai melambat seiring tibanya mereka di bagian jalan yang padat. “Kau tahu Dimas, dalam keadaan gemas aku bisa memukul lebih keras.” “Pukullah.” “Aku tidak mungkin memukulmu. Kamu tahu itu.” “Kenapa tidak mungkin memukulk
Si pengojek yang ditanyai hanya menatap Maia dengan terpana dan mulut terbuka. Mungkin pikirnya, mimpi apa dia semalam sehingga mendapat calon penumpang secantik ini. Dengan rambut sebahu, celana jins denim yang dipadu kemeja long sleeve biru kotak-kotak Maia memang terlihat macho tanpa menghilangkan sedikit pun kefemininan dirinya.“Aku pinjam. Nggak sampe satu jam.”Si pengojek tersadar dari rasa terpana. “Mbak, aku pinjemin gratis juga gapapa koq. Mau aku anterin? Hehe...”‘Nggak usah,” Maia melesakkan semua uang di tangannya ke dalam kantong jaket yang dikenakan orang itu.Orang itu masih tergagap ketika dengan ragu turun dari jok motor yang diduduki. Ia baru mengucap lagi beberapa kata ketika Maia duduk di atas motor dan menghentak pedal dengan keras. Suara bising dari knalpot racing yang terpasang membuat ucapan orang itu jadi tak terdengar.Deti
Kata-kata yang ia lontarkan memang sangat standar. Tapi ada hal yang membuat Dimas penasaran. Orang itu adalah seorang berpangkat tinggi. Kombes alias Komisaris Besar Nicko namanya. Dimas agak heran karena jika kasus yang melibatkan calon isterinya sampai melibatkan seorang berpangkat tinggi seperti itu, tidakkah berarti apa yang dihadapi adalah kasus yang serius?Ini membuat Dimas lantas menceritakan lebih banyak. Menurutnya masih ada satu penjahat lagi yang tersisa. Dimas tidak merasa perlu untuk menyebutkan bahwa orang itu memburu seseorang dan orang itu adalah kekasihnya. Alasannya, jika itu disampaikan akan membuat urusan lebih panjang. Polisi jadi akan mengetahui bahwa ada korelasi antara penjahat tadi dengan dirinya.Diam tentang keberadaan Maia sepertinya menjadi jalan terbaik untuk saat ini.*Kejar-kejaran memang tengah terjadi antara Maia dengan si penjahat pert
Ia berusaha meraih senjata yang ada dalam ras ransel. Namun itu jelas tidak mudah karena ia berada dalam sebuah modul yang bergerak, tidak imbang, tidak konstan. Saat ia baru saja hendak meraih senjata, Maia yang melihat melalui kaca spion akan melakukan manuver sedemikian rupa yang membuat ia mau tak mau harus memegang setang dengan kedua tangan yang otomatis menunda usahanya mempersenjatai diri.Maia benar-benar pandai memanfaatkan situasi. Ia tidak pernah lagi membawa motor melaju dalam ruang terbuka. Ia tahu tindakan itu akan membuat lawannya akan meraih senjata dari dalam tas dan jika itu terjadi, dengan cepat ia akan melumpuhkan Maia. Saat itu melihat sebuah gedung bertingkat yang masih setengah jadi di balik rerimbuhan pohon, ia lantas memacu motornya menuju ke tempat itu. Ia harus menjalankan motor dengan zig-zag melewati pembatas jalan, rambu-rambu, onggokan kerikil dan aneka material, sampai kemudian tiba di kompleks perkantoran tadi.
Mata Maia membelalak ketika dari ujung tembok nampak moncong senjata dalam keadaan terlipat dan mengarah padanya tanpa terlihat si penembak. Itu adalah senapan mesin cornershot. Sebuah senjata ringan berteknologi tinggi dilengkapi kamera LCD yang memang dirancang untuk dilipat dan dapat digunakan saat si penembak berada di sudut 90 derajat. Dengan demikian si penembak takkan terlihat oleh target korban karena ia cukup melihat dari layar LCD sebelum memicu pelatuk senjata.Lagi-lagi Maia harus berguling dengan tubuh dihujani serpihan beton yang habis ditembaki senjata cornershot. Faktor keberuntungan dan kecepatan bertindak lagi-lagi menyelamatkan nyawanya ketika ia tiba di sebuah pilar besar. Posisi pilar yang dekat dengan tangga ulir langsung dimanfaatkan dengan ia berlari ke lantai mezanine di atasnya. Geraknya yang cepat dan lincah kembali menjadi penyelamat nyawa karena membuat senjata canggih itu tetap saja tak cukup canggih untuk bisa menjangkau t
Pemeriksaan Dimas sebagai saksi mata sebetulnya belum berakhir sehingga ia masih belum diperbolehkan pulang. Namun Dimas tidak menyesali karena di lokasi TKP itu ia menyadari sesuatu. Setelah melalui hasil pemeriksaan atas dua orang penjahat yang sudah tersadarkan diri, barang bukti berupa senjata, dan database sidik jari yang dimiliki para polisi jadi mengetahui betapa serius kasus yang mereka hadapi. Mereka ternyata berhadapan dengan tentara bayaran yang disusupkan ke negara berdasarkan order dari pihak tertentu.Ini jelas sebuah kebenaran yang mengagetkan. Ini juga menyadarkan dirinya bahwa kecurigaan Maia benar. Masih ada orang yang mengejar dirinya alias kasusnya masih jauh dari selesai. Ini menimbulkan rasa sesal dalam diri Dimas karena sempat mengabaikan.Walau kegiatan itu tak bertendensi politik, tentu saja tak mungkin bagi pihak kepolisian untuk membiarkan tentara asing bisa bekerja sesuka hatinya hanya karena mereka mendapat pesan
Sementara kedua orang di dalam heli saling bantah. Perkelahian antara Maia dengan lawannya masih terus berlanjut. Dan seperti dikatakan tadi, kengototan lawan dalam memegang senjata membuat kemampuan beladirinya berkurang. Namun walau berkurang sedikit, itu cukup bagi Maia untuk kemudian dengan teknik tata kelahi yang cerdik membuat ia berada di belakang punggung pria itu. Setelahnya ia jadi bisa turut menggenggam senjata, mengarahkan moncong senapan semi otomatis itu ke arah heli, dan menggerakkan jari sedemikian rupa yang membuat jari pria lawannya memicu pelatuk senjata. Pria itu membelalak. Panik. Ia tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi. Senjata di tangannya namun yang kini dikuasai wanita itu memiliki jarak efektik tembakan sejauh dua ratus meter. Artinya, dengan posisi mengapung di sana hanya sejauh seratus meter, heli itu segera akan menjadi rongsokan tak berarti begitu magasin 19x9 milimeter-nya dimuntahkan. Dan kemudian rent