Share

Chapter 1 : Annandya Jovanka

"Miss Anna, berkas-berkasnya sudah kamu berikan kepada Pak Lucas?" tanya seorang wanita paruh baya kepada bawahannya.


"Sudah semua, Bu," jawab gadis itu.


"Bagus, hanya itu yang ingin saya tanyakan. Kamu boleh kembali bekerja," ucap sang manajer.


"Baik, Bu."


***


~Anna POV~


Akhirnya, Bu Joanna pergi juga dari ruanganku. Sudah cukup aku menahan napas sedari tadi, suasana terlalu tegang bila beliau hadir di sini. 


Jangan salah paham, Bu Joanna sangat baik kepada kami para bawahannya. Namun tetap saja, ketika menyangkut tentang pekerjaan. Beliau akan berubah menjadi seseorang yang sangat tegas dan disiplin.


"Hei, kau baik-baik saja Anna?" tanya Julian rekanku di sini dengan khawatir.


"Aku baik-baik saja, Julian. Bu Joanna kan hanya bertanya, bukan menggigitku," gurauku.


"Ya, ya, ya. Terserah kau saja," balasnya mulai merajuk. Inilah kebiasaannya yang paling kurindukan saat sedang libur bekerja.


"Cepat selesaikan pekerjaan kita, Julian. Setelah selesai, aku akan mentraktirmu tiga porsi es krim di tempat yang biasanya," ucapku merayu. Biar kuberi tahu, kelemahannya adalah es krim.


"Sungguh?" tanyanya dengan mata yang berbinar-binar penuh rasa antusias.


"Iya, tentu saja," jawabku yakin.


"Kau yang terbaik, An!" serunya dengan suara yang keras dan menggelegar, sembari mengacungkan dua jempolnya ke arahku.


"Ssstt, kamu mau kita ditegur sama Bu Joanna?" tanyaku menyindir.


"Ups, Sorry," jawabnya cengengesan.


Setelah percakapan singkat ini, kami pun kembali fokus untuk mengerjakan pekerjaan kami masing-masing. Huft, pekerjaanku hari ini lumayan banyak, pokoknya deadline ini harus segera kuselesaikan sebelum jam istirahat pertama berbunyi.


Oh iya, aku lupa belum memperkenalkan diriku kepada kalian. Karena terlalu asyik tadi, aku sampai lupa dengan tujuan awalku untuk berkenalan. Maaf, ya.


Namaku Annandya Jovanka. Sewaktu masih tinggal di Indonesia, aku biasa dipanggil Nandya oleh teman-temanku di sana. Aku juga dipanggil dengan nama itu saat awal kepindahan ku di Melbourne.


Tapi, karena ada banyak kenalanku yang mengeluh soal betapa susah mereka untuk menyebutkan namaku. Karena lidah mereka berbeda dengan kita, itu wajar bagiku.


Pada akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengganti nama panggilanku dari Nandya menjadi Anna. Selain gampang diucapkan, di sini nama Anna juga masih jarang sekali digunakan. Ehm, lanjut.


Umurku 25 tahun, bulan depan. Hobiku membaca, memasak, nonton dan tidur. Hei, aku berkata jujur. Aku memang sangat suka tidur dan bermalas-malasan di hari libur. Jadi, itu tidak masalah bukan.


Itu pun aku hanya bisa merealisasikannya saat hari libur saja. Aku suka membaca sebelum tidur, memasak sambil bereksperimen dengan resep-resep baru, menonton drama, film, dan masih banyak lagi.


Aku dibesarkan di Indonesia oleh tanteku, lebih tepatnya adik dari ibuku. Beliaulah yang merawatku sedari kecil, dan menyekolahkan ku hingga lulus kuliah. Memberiku semua kasih sayang yang tidak pernah bisa kudapatkan dari kedua orang tuaku.


Sejak berumur delapan tahun, aku selalu bertanya kepada tanteku. Siapa ayahku, dan ke mana ibuku. Tapi tante selalu menolakku secara halus tanpa menyakiti. Beliau selalu mengatakan, masih belum waktunya. Hingga di usiaku yang ke-17, pada akhirnya tante mau menceritakan kembali asal usulku padaku.


Diceritakan, ibuku bertemu dengan seorang pria dari negara asing, kemudian mereka berkenalan, berpacaran, dan menikah. Di tahun ketujuh pernikahan, mereka tak kunjung dikaruniai buah hati. Hingga pada akhirnya, ayahku pun memutuskan untuk menceraikan ibuku dan pergi meninggalkannya.


Tanpa tahu bahwa saat itu ibuku sedang mengandung anaknya, yaitu aku. Sayang sekali ayah, pikirku dalam hati saat mendengar ceritanya. Pada awalnya, tanteku memaksa ibuku untuk memberi tahu perihal kehamilannya kepada ayahku, mantan suaminya. Namun, ibuku dengan tegas menolak.


Ibuku mempunyai alasan yang kuat untuk menolak kehadiran ayah lagi dalam hidupnya. Katanya ayahku berselingkuh dengan rekan kerjanya. Ibuku sendirilah yang memergoki mereka sedang melakukan hal yang mesum di kantor tempat ayahku bekerja. Hal itulah yang membuat ibuku merasa sangat disakiti dan dikecewakan.


Namun bukannya meminta maaf kepada ibu, ayahku justru menyalahkan ibuku atas apa yang telah dia lakukan pada rekan kerjanya. Dia berkata, jika seandainya ibuku dapat memberinya keturunan, dia tidak akan mungkin pergi ke dalam pelukan wanita lain.


Karena sakit hatinya itu tadi, ibuku masih tidak rela memberi tahu ayahku tentang keberadaanku. Dan sampai akhirnya aku terlahir di dunia ini, ibuku masih tetap mempertahankan pilihannya untuk tidak memberi tahu ayahku soal kelahiran anaknya.


Waktu aku berumur empat tahun, ibuku terserang penyakit diabetes. Tiga tahun beliau berjuang, namun sayang, ibuku meninggal di usiaku yang baru beranjak tujuh tahun.


Semenjak itu aku selalu dirawat oleh tanteku, Tante Diah. Beliau juga menceritakan siapa sebenarnya ayah kandungku, menunjukkan fotonya dan memberi alamat rumah ayahku. Meski tanteku sendiri tidak yakin, apakah ayahku masih tinggal di sana atau kini sudah berpindah tempat.


Ayahku berasal dari Sydney, Australia. Oleh karena itu, setelah meninggalnya Tante Diah 2,5 tahun yang lalu. Aku pun nekat untuk pergi merantau ke negeri kanguru ini.


Untung saja masih banyak orang-orang baik di sini, mereka membantuku untuk mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Dan terjadilah, aku mendapat kerja di Melbourne dan memutuskan untuk tinggal di sini.


Kalian tenang saja, aku masih berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungku kok. Tapi nanti, setelah tabunganku sudah cukup untuk mencarinya sambil pergi liburan mengelilingi Benua Australia ini.


***


"Sudah selesai?" tanya Julian seraya menghampiriku.


"Sudah, tinggal disave saja ini," jawabku.


"Oke. Eh, bentar lagi mau istirahat loh. Katanya mau beli es krim buat aku," ucap Julian dengan bibir manyun.


"Iya-iya, aku ingat kok. Kamu tunggu di depan saja ya, aku mau beresin ini dulu biar nggak berantakan," jelasku.


"Okay."


Sepeninggal Julian, aku pun bergegas untuk merapikan meja kerjaku. Sebelum Julian datang lagi ke sini, sambil marah-marah karena aku terlalu lama membereskannya.


Setelah selesai menyimpan hasil kerjaku dan merapikan meja kerja. Bertepatan dengan berbunyinya bel istirahat pertama. Aku pun langsung beranjak menuju tempat di mana Julian sedang menungguku. Ah, itu dia. Dia terlihat sangat cantik dari sini.


"Hei," sapaku.


"Anna, kau mengagetkanku," keluhnya berlebihan.


"Salah siapa kaget?" tanyaku iseng.


"Anna, kau—"


"Iya-iya, ngomelnya dipending dulu ya sampai kita makan es krim nanti?" potongku.


"Iya deh," Julian menggerutu dengan begitu lucunya.


"Ya sudah, yuk, berangkat!"


Julian dikenal sebagai wanita yang angkuh, kasar, dan arogan. Memang tidak salah sih, meski berwajah cantik, jika dilihat dengan sekilas. Kalian pasti akan berpikir kalau Julian adalah orang yang jutek dan galak, dari bentuk wajahnya.


Dia juga tidak ramah kepada karyawan lain yang berada di sini. Konon katanya, akulah satu-satunya orang yang berani mendekatinya, bahkan menjadikannya teman sekaligus.


Meski terkenal begitu, Julian sama sekali belum pernah membentakku. Justru dialah yang paling sering membantuku, sewaktu aku masih junior dulu. Saat aku masih sering ditindas dan disuruh-suruh oleh para karyawan senior.


Oleh karena itu, aku menjadi sangat-sangat menyayanginya. Dia adalah anugerah yang diberikan Tuhan padaku, untuk menjadikannya sahabatku di sini. Dan dia, Julian sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status