Share

MY HUSBAND IS A TRAMP!
MY HUSBAND IS A TRAMP!
Author: Kala Fa

PROLOG

Di sebuah jalan di Kota Melbourne, Australia. Terdapat seorang gadis berambut hitam panjang terurai yang berpakaian layaknya pekerja kantoran pada umumnya.

Yaitu rok span putih yang dipadu dengan kemeja kasual berwarna cokelat. Selintas pakaian itu terlihat sangat cocok untuknya.

"Ah, capek banget hari ini," gerutu gadis itu lumayan keras.

Wajahnya tampak kusut dan kusam, sepertinya dia memang sudah sangat berusaha keras untuk hari ini. Namun, meski penampilannya terlihat lusuh seperti itu. Si gadis tetap saja terlihat cantik dan menawan, seolah-olah semua itu tadi tidak mampu untuk menutupi kecantikannya. Baik dalam keadaan lusuh dan dekil sekalipun.

Di antara banyaknya orang yang berlalu lalang di sana, hanya gadis itulah yang paling kelihatan menonjol dibandingkan yang lain. Bagaimana tidak, gadis itu memiliki wajah sangat manis dan cantik.

Gadis berdarah campuran itu terlihat sangat menawan dengan warna kulit eksotis miliknya. Belum ditambah lagi dengan alis tebal, hidung mancung, bibir merah berisi, dan lesung pipi yang berada di sebelah kanan pipinya.

Sambil terus berjalan dengan menenteng tas di tangan kiri dan kantung plastik berisi bahan makanan di tangan kanan, gadis itu masih tetap saja menggerutu merutuki kesialan yang didapatinya sepanjang hari ini.

Banyak hal buruk yang terjadi padanya hari ini. Itulah yang membuat mood gadis itu lumayan berantakan sekarang. Pikirannya hanya dipenuhi dengan rasa kesal terhadap kejadian yang menimpanya di kantor tadi.

Sambil menghela napas panjang, si gadis tadi terus saja melanjutkan lamunannya. 

"Pak Bos tega banget nyuruh gue buat kerja lembur sendirian. Nggak tahu apa kalau gue ini masih tetep perempuan, belum kawin lagi. Kalau gua diculik orang gimana, dijual gimana, terus diper—"

"Dih, amit-amit. Amit-amit Ya Tuhan, jangan sampai," lanjut si gadis dengan memukul-mukul kepalanya sambil berjalan tanpa melihat ke arah depannya.

Tiba-tiba dengan sangat cepat gadis itu hampir saja terjatuh ke belakang, untung saja ada seseorang yang mau menolongnya. 

Apabila tidak ada seseorang yang kini sedang menahan pinggangnya dari belakang, bisa dipastikan seperti apa malunya dia terjatuh di depan umum sambil ditonton oleh banyaknya orang yang berada di sana.

Hampir semua orang yang melintasi jalan, ikut menoleh ke arahnya dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Mereka semua penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Karena sekilas mereka terlihat seperti sedang melakukan adegan berpelukan sepasang kekasih. Persis seperti di dalam film-film romantis.

"Permisi, Nona, tanganku sudah mulai pegal." 

Seperti tidak tahu keadaan, suara tegas dan dalam itu seolah memaksa si gadis itu untuk bangkit dari keterkejutannya. Sudah hampir jatuh dipeluk orang lagi, itu pikirnya.

Tunggu sebentar, ini kan suara seorang pria. Jangan-jangan yang memeluknya juga, ah sialan. Gadis itu saja belum pernah berpacaran seumur hidupnya, bagaimana bisa dia tenang dipeluk oleh seorang pria.

Meski niat orang itu hanya untuk membantunya, tapi kan tetap saja. Astaga, dia masih berada di dalam dekapan pria itu.

Saat sudah mulai tersadar, sontak saja gadis itu langsung buru-buru melepaskan diri dari 'pelukan' pria itu sambil membenahi pakaiannya yang kusut. Dia terlihat agak salah tingkah sekarang. 

Diam-diam dia melirik ke arah sang pria yang telah menolongnya itu, dan si gadis pun langsung terperangah takjub. 

Apa-apaan wajah tampan pria ini, pikirnya. Sangat tidak manusiawi, ah, bukan. Wajahnya terlalu sempurna.

Gadis itu teringat bahwa dia belum berterima kasih pada pria yang telah menolongnya dirinya.

"Terima kasih atas bantuanmu, dan maaf soal yang barusan," ucap gadis itu dengan nada yang tidak enak hati.

"Lain kali berhati-hatilah, Nona." Ucap sang pria tanpa menghiraukan perkataan dari si gadis.

Karena malu tidak diberi tanggapan dari sang pria, gadis itu pun memutuskan untuk pamit. Meski dalam hati dia merasa sedikit tidak rela untuk meninggalkan pria tampan itu.

"Ah, tentu. Terima kasih sekali lagi. Kalau begitu, aku permisi dulu," pamit gadis itu pada akhirnya.

Masih saja tidak ada tanggapan yang berarti dari sang pria. Tanpa banyak berpikir lagi, gadis itu pun langsung melangkahkan kaki pergi dari sana. 

Jika saja dia tidak sedang kelelahan sekarang, pasti dia akan lebih memilih betah untuk berlama-lama tinggal di samping pria yang dingin itu. 

***

Sepuluh menit sudah berlalu semenjak kejadian yang dialaminya tadi. Gadis itu pun juga hampir sampai ke apartemennya yang tinggal beberapa meter lagi.

Si gadis pun sudah mulai membayangkan betapa nyamannya dia saat berendam di dalam air hangat nanti, sembari menghirup aroma memenangkan yang menguar dari lilin-lilin aromatik miliknya.

Namun sayang, sepertinya dia harus menunda dulu keinginannya itu. Pertama-tama dia harus mengambil kembali dompet miliknya yang hilang.

Kemungkinan, dompet itu masih berada tidak jauh dari tempat dia hampir terjatuh tadi. Sekarang dia harus bergegas pergi, sebelum dompet miliknya benar-benar menghilang.

"Ah, di sana tadi tempatnya," gumam gadis itu pelan.

Sesampainya di tempat, dia langsung melihat ke sana kemari, berharap dompetnya yang berisi uang dan kartu tanda identitas itu bisa segera ditemukan.


"Kau mencari ini, Nona?" tanya seseorang dengan suara yang tidak terdengar asing lagi di telinganya.


"Iya, itu dompetku," jawab gadis itu singkat.


"Kau terlalu ceroboh," sindir sang pria sembari menyerahkan dompet milik si gadis.


"Ya, aku tahu. Terima kasih sekali lagi, ehm?"


"Albern."


"Oke, Tuan Albern. Aku Anna, Annandya. Salam kenal dan terima kasih atas bantuannya," ucap sang gadis tulus.


"Ya, tapi aku tak membutuhkan ucapan terima kasihmu."


"Excuse me?" tanya gadis itu. 


"Biarkan aku menginap di rumahmu," jawab sang pria.


"Kamu serius?!" tanya gadis itu memastikan.


"Pelankan suaramu," sindir sang pria.


"Maaf."


Entah si gadis harus bersyukur atau sebaliknya sekarang. Meski dia sudah tinggal cukup lama di Melbourne, tapi dia juga sama sekali belum pernah membawa masuk seseorang ke dalam apartemennya.


Apalagi ini, seorang pria. Bukannya dia tidak senang bisa berduaan semalaman bersama pria dingin yang sialnya sangat tampan itu.


"Albern, maaf, bukannya aku mau menolak. Tapi aku sama sekali belum pernah membawa seorang pria masuk ke dalam tempat tinggalku," jelas gadis itu pelan-pelan.


"Aku mengerti," jawab sang pria sangat singkat.


"Maaf, kalau begitu aku pulang dulu ya?" pamit gadis itu pada sang pria.


"...." 


Tak ada jawaban dari pria itu. Namun, meski dengan berat hati, dia harus tetap pulang ke apartemennya sekarang. Karena hari sudah semakin larut. Tidak baik untuknya berkeliaran tengah malam.


Baru tiga langkah dia melangkahkan kaki, sebuah tangan besar dan hangat menahan lengannya. Seakan memintanya untuk jangan pergi dari sana. Ya, tangan itu adalah milik Albern.


Tanpa perlu menoleh si gadis pun bertanya, "Ada apa?"


"Tolong bawa aku, hanya untuk malam ini saja."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status