Share

Chapter 4 : Panggil Aku Al

"Kau mencari ini, Nona?" tanya seseorang dengan suara yang tidak terdengar asing lagi di telingaku.


"Iya, itu dompetku," jawabku singkat. Syukurlah dompet itu tidak jadi hilang.


"Kau terlalu ceroboh," sindir pria itu sembari menyerahkan dompet itu padaku.


"Ya, aku tahu. Terima kasih sekali lagi, ehm?"


"Albern."


"Oke, Tuan Albern. Aku Anna, Annandya. Salam kenal dan terima kasih atas bantuannya," ucapku tulus.


"Ya, tapi aku tak membutuhkan ucapan terima kasihmu."


"Excuse me?" tanyaku tidak yakin. Mana mungkin pria sepertinya bisa bersikap sekasar itu kepada seorang wanita sepertiku.


"Biarkan aku menginap di rumahmu," jawabnya. Pria ini benar-benar sedang menguji kesabaranku.


"Kamu serius?!" tanyaku memastikan. Pasti kali ini aku salah dengar lagi kan.


"Pelankan suaramu," sindir pria itu.


"Maaf."


Entah aku harus bersyukur atau sebaliknya sekarang. Meski aku sudah tinggal cukup lama di Melbourne, tapi aku juga sama sekali belum pernah sekali pun membawa masuk seseorang ke dalam apartemenku.


Apalagi ini, seorang pria. Bukannya aku tidak senang bisa berduaan semalaman bersama pria dingin yang sialnya sangat tampan itu. Tapi kan tetap saja.


"Albern, maaf, bukannya aku mau menolak. Tapi aku sama sekali belum pernah membawa seorang pria masuk ke dalam tempat tinggalku," jelasku.


"Aku mengerti," jawab pria itu dengan sangat singkat.


"Maaf, kalau begitu aku pulang dulu ya?" pamitku pada Albern

"...." 


Tak ada jawaban dari pria itu. Namun, meski dengan berat hati, aku harus tetap pulang ke apartemenku sekarang. Karena hari sudah semakin larut.


Baru tiga langkah aku melangkahkan kaki, sebuah tangan besar dan hangat menahan lenganku dengan lembut. Seakan memintaku untuk jangan pergi dari sana. Ya, tangan itu adalah milik Albern.


Tanpa perlu menoleh aku pun langsung bertanya, "Ada apa?"


"Tolong bawa aku, hanya untuk malam ini saja."


"Kan aku sudah bilang, aku belum pernah membawa seorang pria pun ke dalam rumahku. Apalagi kamu, pria yang baru saja kukenal," jelasku dengan hati-hati.


"Aku tahu, tapi tolong pikirkanlah lagi. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam kepadamu, dan kau bisa memegang perkataanku ini," ucapnya meyakinkan.


"Kamu yakin? Bukannya aku mau menuduhmu, tapi siapa yang tidak akan curiga bila tiba-tiba ada seseorang yang tidak dikenal memintamu untuk memberinya izin untuk tinggal di rumahnya. Kamu bukan seorang dari sindikat penjahat bukan?" tanyaku memastikan.


"Tidak."


"Apa kamu tidak mempunyai tempat tinggal?" tanyaku.


"Kalau aku punya, buat apa aku minta tolong padamu," sindirnya.


"Kalau uang?" tanyaku lagi dengan ragu.


"Tidak ada."


"Pekerjaan?" tanyaku lagi.


"Tidak punya."


"Terus apa yang kamu lakukan selama ini, Tuan Albern?" tanyaku tidak habis pikir.


"Tidak ada, hanya sebatas hidup di jalanan. Karena sebentar lagi musim dingin, aku sedikit berharap bisa tinggal di dalam rumah atau apa pun itu," jawabnya sedikit lebih panjang dari yang sebelumnya.


"Apa kamu seorang gelandangan? Tapi itu tidak mungkin, bukan?" tanyaku tidak yakin dengan pertanyaanku sendiri.


"Ya, bisa dibilang seperti itu."


What, apa-apaan ini. Tidak mungkin, ini pasti cuma bercanda bukan. Bagaimana bisa seorang gelandangan mempunyai wajah yang bersih dan sangat tampan. Dipikir berulang kali pun, tetap saja itu tidak mungkin.


"Kamu pasti hanya bergurau," tuturku yakin.


"Siapa, kau tidak melihat baju dan celanaku ini?" tanyanya menantang.


Aku lantas memandangnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Baju yang penuh lubang alias bolong-bolong, celana compang-camping, dan ditambah dengan alas kaki yang tidak terpasang di kakinya alias nyeker.


Waduh, bagaimana bisa ada takdir sekejam ini. Dia ini nggak cocok loh jadi gelandangan. Harusnya dia itu bisa menjadi model ih, orang wajah, tinggi, dan kulitnya mendukung. Benar-benar diluar dugaan.


Kalau dipikir-pikir kasihan juga dia. Seperti katanya tadi, sebentar lagi musim dingin tiba. Aku tidak bisa membayangkan, Albern tidur di emperan jalan dengan ditemani salju dan es. Ah, membayangkannya saja aku sudah tidak tega.


"Baiklah, aku mengijinkan kamu untuk sementara waktu tinggal di rumahku. Asalkan kamu mau berjanji untuk tidak macam-macam denganku, dan kalau bisa kamu sedikit membantu pekerjaan rumahku. Bagaimana?" tawarku.


"Baiklah, aku setuju."


"Kalau begitu, ayo kita kembali. Ikut aku," ucapku yang entah kenapa malah terdengar bersemangat.


***


Sesampainya kami di apartemenku. Aku pun sedikit mengajaknya berkeliling, untuk mengenalkan setiap sudut dan ruangan yang berada di apartemenku. 


"Aku akan mandi dulu, kamu juga bisa mandi di kamar sebelah. Di sana juga telah tersedia handuk dan perlengkapan yang lainnya. Untuk pakaiannya, kamu tinggal cari di lemari bawah kamar itu. Kalau tidak salah, aku masih punya baju-baju pria, di situ," jelasku panjang lebar.


"Terima kasih," balasnya singkat.


Sepertinya aku sudah sedikit bisa memahami karakternya yang sedikit bicara itu. Ah, menggemaskan sekali.


"Iya, sama-sama Albern," ujarku sembari tersenyum.


"Al."


"Huh?" tanyaku tidak mengerti.


"Panggil aku Al," ucapnya dengan wajah yang sedikit memerah.


Oh, astaga. Apa dia sedang malu sekarang. Lucunya. Ingin sekali aku mencubit pipinya yang dipenuhi jambang itu. Tapi itu tidak mungkin terjadi bukan.


"Okay, Al. Aku mandi dulu, ya," pamitku.


Setelah mendengar jawaban darinya, aku pun langsung memasuki kamar mandi dan mulai merealisasikan keinginanku yang sempat tertunda tadi. Ah, leganya saat diri ini memasuki bath tub.


Oh, ya, lilinnya. Hampir saja aku gagal menikmati acara santai ala saunaku ini. Huft, rasanya seperti seluruh beban yang ada di pundakku menghilang. Ah, rasanya sangat nikmat. Otot-otot yang tadinya kaku pun langsung melemas setelah terkena oleh pancuran air hangat.


***


Tak terasa sudah hampir satu jam aku berada di dalam kamar mandi, astaga. Aku belum memasakkan sesuatu untuk Al. Dia sudah makan belum, ya. 


"Al?" panggilku.


"Di sini."


Suaranya terdengar dari arah kamar sebelah. Apa sih yang dilakukannya di sana. Aku harus memastikannya sendiri.


"Al?" panggilku lagi.


Tanpa menunggu jawaban darinya, aku pun memberanikan diri untuk membuka pintu kamar itu. Tak disangka, pemandangan yang berada di dalam begitu ... luar biasa.


"Kamu, Al? Sungguhan, kamu Al?" tanyaku dengan tidak yakin.


"Ya, Anna."


Woah, jambangnya menghilang. Dia kelihatan lebih fresh dibandingkan yang sebelumnya. Bahunya sangat lebar, perutnya six pack, dan ada beberapa tato yang bertengger di sana. How can anyone be so damn hot like this?


Apa dia benar-benar seorang gelandangan. Kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang telah Al sembunyikan dariku. Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur selama itu tidak menggangguku. 


"Maaf, aku tidak tahu kalau masih berganti pakaian. Aku hanya ingin menanyakan, kamu sudah makan atau belum?" 


"Jangan dipikirkan, aku belum," jawabnya singkat ala Albern.


"Okay, aku akan pergi ke dapur sekarang. Kamu ingin aku memasak apa?" tanyaku basa-basi.


"Terserah kau saja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status