"Lo bisa pulang ke rumah, kenapa harus ke sini?" Xena menarik handuk kecil yang menggantung di sudut ruang kamarnya. Remaja jangkung itu terus saja mengikuti arah ke mana dirinya pergi. Alasannya, ingin Menghantar Xena pulang ke rumahnya, tetapi mampir adalah keputusan akhir dari Malik malam ini. Ia tak berucap apapun. Kiranya, Malik masih benar-benar hapal bagian rumah Xena. Ia juga baru pergi tiga hari yang lalu. Semua ingatan dan memori yang ada di dalam kepalanya masih utuh. Belum ada yang hilang sebab terkikis oleh waktu. Semua masih jelas dan tergambar dengan baik.
"Gue udah pamit sama papa kalau tidur di rumah teman," ucapnya dengan nada ringan. Malik duduk di sisi ranjang empuk milik Xena. Matanya mulai menatap ke arah gadis yang berdiri di sisi pintu kamar mandi pribadinya dengan sesekali menggosok-gosok setiap helai rambut panjangnya dengan menggunakan handuk kecil yang ia pegang. Xena bukannya tak acuh dengan keadaan Malik, remaja jangkung itu sudah mendapat handuk
Xena mengetuk pintu yang ada di depannya. Kala tak ada jawaban, ia memilih untuk masuk dengan mendorongnya perlahan-lahan. Matanya mengintip di balik celah ambang pintu yang sedikit terbuka. Xena menyapu setiap bagian ruangan kamar pribadi milik Malik. Bukan miliknya lagi! Malik hanya singgah untuk sementara waktu saja. Selepas hari berlalu, remaja jangkung itu akan pergi meninggalkan dirinya. Sendiri seorang diri bersama dengan fakta yang terus saja memberi tamparan untuk dirinya. Malik bukan lagi saudara yang bisa tinggal satu rumah dengannya!"Lo tidur?" tanya Xena melirih. Ia benar-benar membuka pintu yang ada di depannya. Melangkah masuk ke dalam lalu kembali menutupnya dengan rapat. Remaja jangkung itu berada di balkon kamar dengan jendela besar yang terbuka. Membiarkan dinginnya hawa malam menerpa permukaan kulit wajahnya. Luka itu ia biarkan untuk membeku dengan embusan bayu malam ini. Malik nekat, meksipun tubuhnya masih sedikit basah sebab handuk yang
Xena bungkam. Ia terus menatap lawan bicaranya itu dengan tatapan yang mantap. Mencoba menelisik masuk ke dalam pandangan remaja jangkung yang ada di depannya saat ini. Memastikan bahwa Malik tak akan tertawa terbahak-bahak setelah ini semua. Ia ingin memastikan bahwa Malik mengatakan semuanya dengan hati yang tulus. Remaja jangkung itu tak sedang bergurau sekarang ini."Kenapa menatap gue seperti itu?" tanyanya dengan nada ringan. Ia tersenyum tipis untuk Xena yang mulai mengerjapkan matanya lalu memalingkan pandangannya. Gadis cantik itu diam membisu tak memberi jawaban untuk dirinya."Xena ...." Malik memanggilnya. Berusaha untuk membuat Xena untuk kembali menatanya dengan benar. Tak ingin melewatkan apapun, remaja jangkung itu kembali menarik dagu lancip miliknya. Membawa lagi pandangan Xena untuk datang padanya. Malam ini, Malik ingin berbicara pasal hati dan perasaan dengan gadis ini. Bukan sebagai saudara tiri, tetapi seba
Hari kembali berganti. Aktivitas seperti biasanya mulai dilakukan oleh Xena Ayudi Bridella. Gadis itu mau tak mau harus kembali ke sekolahnya lagi. Memulai aktivitas ringan sebagai seorang pelajar yang baik dan berbudi. Ia harus mengikuti banyak pembelajaran untuk mengasah otak, membentuk minat dan bakat, serta membangun masa depan. Katanya, pelajar adalah kalangan yang paling dihormati di tengah-tengah masyarakat. Siapa yang berprestasi, maka ialah orang yang pantas mendapatkan puja dan puji dari semuanya. Masyarakat umum akan memandang dirimu sebagai seseorang yang berstatus tinggi kalau gelar namamu panjang dan susah untuk dieja. Itulah mengapa pendidikan adalah hal yang paling penting untuk sekarang ini.Xena menatap papan besar yang ada di depannya. Tak ada suara yang muncul dari celah bibir gadis itu. Ia terus-menerus diam membisu sembari memainkan ujung pena yang ada di dalam genggamannya.Bara memerhatikan itu. Semua yang
Langkah keduanya tegas membelah padatnya lorong sekolah. Bel panjang berbunyi tanda waktu istirahat datang dan mengijinkan setiap siswa dan siswi untuk datang menyambangi kantin sekolah, taman belakang, atau tempat-tempat lainnya yang bisa membuat otak menjadi fresh dan rileks selepas berlelah-lelah untuk menjemput ilmu dan menjadi seorang siswa juga siswi yang baik. Kiranya, ini adalah masa paling menyenangkan untuk mengukir kenangan bersama teman sebaya.Gadis itu melangkah dengan tegas beriringan dengan seorang remaja jangkung yang ada di sisinya. Kini Xena terlihat lebih sering bersama Bara ketimbang sahabatnya, Nea Oktaviana. Gadis itu masih belum bisa akur dengan si cantik dan si baik, Nea. Bukan Xena yang masih enggan, tetapi Nea yang masih terlihat lain dengannya. Meskipun di dalam lubuk hati yang paling dalam Nea paham benar, kalau semuanya bukan salah Xena. Berakhirnya hubungan Nea dan Daffa Kailin Lim juga bukan sebab Xena. Si berengsek tak tahu diri itulah yang me
Nea melirik ke arahnya. Xena masih diam selepas pergi dari tempat yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. Gadis itu memilih menyingkir dari pandangan semua teman-temannya. Xena masih menatap jauh ke depan dengan sesekali melepaskan napas berat lalu menundukkan kepalanya. Memindah fokus untuk menatap permainan ujung jari jemarinya. Tak fokus pada Nea, Xena masih sibuk dengan aktivitasnya untuk mengusir bosan yang mulai memeluknya dengan erat. Juga, rasa canggung benar-benar ada di dalam dirinya saat ini. Gadis itu tak menyangka.kalau Nea akan mengikutinya sampai di sini. Ia juga tak mengira kalau Nea akan duduk di sisinya seperti sekarang ini."Gue gak menyangka kalian adalah saudara tiri," ucapnya dengan lirih. Kalimat itu sukses membuat Xena menghentikan aktivitas kecilnya, lalu melirik ke arah Nea.Xena hanya mengangguk. Entah untuk apa, ia berdeham ringan menyetujui kalimat Nea saat ini. T
Hela tersenyum seringai untuk gadis yang ada di depannya itu. Sudah lama dirinya berpapasan dengan si biang onar di sekolahnya ini. Siapa lagi kalau bukan Nara Chalondri Eri. Gadis sialan yang terus saja menatap ke arahnya dengan tahapan meremehkan. Sesekali ia membuang wajahnya ke arah lain untuk mengekspresikan betapa kesalnya ia saat ini. Dari sekian banyak orang yang bisa berpapasan dengannya, mengapa harus Hela Ileana? Ia membenci segalanya pasal gadis 'sok' satu ini. Semua orang mungkin melihat Hela layaknya seperti seorang gadis baik yang tak bisa berbuat jahat pada orang lain. Namun, asal mereka tahu, Hela lah yang membuat Nara kehilangan mimpinya menjadi seorang model majalah anak muda. Hela mengambil posisi itu dan sukses di atas posisi yang seharusnya menjadi milik Nara. Jika saja Hela tak mengkhianati dirinya, mungkin saja sampai saat ini Hela dan Nara masih menjadi seorang teman baik. Ke mana-mana mereka akan pergi bersama layaknya surat dan perangko. Layaknya semut dan
Nara membenci perpustakaan sekolah. Baginya tempat ini adalah tempat yang paling membosankan untuk dikunjungi. Bukannya tak suka dengan ilmu yang didapat kalau membaca buku di tempat ini, tetapi Nara tak suka dengan suasana dan aroma yang dihasilkan di sini. Semenjak dirinya datang ke sekolah elit ini dengan menggunakan bantuan beasiswa sekolah, gadis berambut pendek ini tak pernah mau sekalipun datang kemari kalau tidak ada orang yang menyuruhnya seperti sekarang ini. Seorang guru menyuruh Nara untuk mengembalikan daftar pinjaman buku ke perpustakaan sekolah. Kata si guru buku ini sudah tak digunakan lagi, jadi Nara harus mengembalikannya ke dalam bangunan perpustakaan. Takut, kalau terlalu lama disimpan, nanti akan rusak atau hilang dicuri orang.Mendengar semua penjelasan itu, Nara hanya bisa menurut saja. Ia tak banyak berkata ini itu untuk menjawab atau memberi penolakan. Toh juga, ini adalah kesempatan untuk dirinya sejenak mangkir dari proses pembelajaran di kelasnya s
"Apa maksud lo?" Bara terdiam sejenak selepas kalimat itu ia lontarkan untuk gadis yang ada di depannya. Dirinya tak bisa berkata apapun lagi saat ini. Nara tersenyum sembari menundukkan pandangan matanya. Ia menyembunyikan wajah dengan lengkungan bibir aneh itu. Kiranya, gadis berengsek ini sedang menghina Bara. Ia sudah tahu kelemahan pria satu ini.Jujur saja, jikalau Bara rak mengusik Aksa terus-menerus, maka Nara juga tak akan melakukan ini padanya. Rasa benci ini muncul selepas Nara tahu bagaiman remaja jangkung itu memperlakukan Aksa. Bak seorang predator dengan mangsa buruannya. Nara membenci remaja ini dengan kesungguhan yang ada di dalam hatinya sekarang."Gue melihatnya, Bara. Lo membunuh seorang gadis," ucapnya menatap wajah tampan milik Bara. Nada bicara Nara terkesan meremehkan. Ia tersenyum seringai selepas menyelesaikan kalimatnya itu."Jangan main-main dengan ucapan lo! Itu bisa menjadi