"Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?
"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?" David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengartikan arti cinta... dan apa yang membuatnya mengernyit seperti itu. "Meski begitu," kata Sandara, "sedikit berkhayal bukanlah hal yang salah." "Tapi sepertinya kamu menghapus bagian tentang pernikahan dan cinta, kan?" Menghapus terkesan terlalu berlebihan, tapi Sandara tidak berniat berdebat dengan David tentang hal itu. Sejauh yang menyangkut David, menghapus memang sangat cocok. "Sudah kukatakan padamu, aku suka seperti ini." "Suka bersenang-senang." "Ya." Sandara menatap David dengan gaya menantang. David membuat kata bersenang-senang terdengar nakal. Sandara tahu David menganggapnya bersikap agak seenaknya, mungkin bahkan sedikit liar, dan ia benar-benar menikmati saat menegaskan pendapat pria itu. Bahkan meski ia masih merasakan perasaan terluka yang aneh ini. "Tapi kamu sepertinya tertarik menemukan cinta dan pernikahan bagi orang lain," kata David dengam raut tidak suka. "Contohnya, Indi dan Randy." "Hanya karena aku tidak menginginkannya untuk diriku tidak berarti itu bukan hal yang tepat bagi orang lain," jawab Sandara santai sambil mengangkat gelasnya. "Aku sangat memercayai cinta. Namun bukan untukku. Setidaknya, bukan sekarang." Sandara menyesap minumannya, mengalihkan pandangan. la tidak mengatakan yang sebenarnya pada David, tapi tidak berniat mengakui bahwa dirinya tidak mencari cinta karena tidak ingin kecewa jika cinta itu terbukti mustahil ditemukan, atau tidak sesuai harapannya. la telah menyaksikan pernikahan berlandaskan cinta secara langsung atau hampir. Meski ibunya meninggal sebelum ia memiliki kenangan nyata tentang wanita itu, Sandara mendengar berbagai cerita tentang Linda sutami ia mengetahui hal itu dari ayahnya dan kesedihan pria itu bahwa mereka saling mencintai dengan cinta yang mendalam. serta abadi. Cinta seperti itu tidak menghampiri setiap orang. Sandara takut cinta seperti itu tidak akan pernah mendatanginya. Lebih mudah meyakinkan diri sendiri dan David bahwa sejak awal ia memang tak menginginkannya. "Lagi pula." ia melanjutkan dalam upaya mengalihkan percakapan dari hal-hal pribadi, "kita sedang membicarakan Roy dan Anin. Kurasa dengan yakin bisa kukatakan bahwa aku tahu sedikit lebih banyak tentang hal-hal ini daripadamu." "Hal-hal ini?" "Apa yang diinginkan wanita jika menyangkut romantisme. Bahkan, cinta. Aku mungkin tidak sedang mencarinya, tapi bukan berarti aku tidak tahu apa yang diinginkan sebagian besar wanita." Sandara cukup sering bergosip tengah malam dengan teman-temannya sambil menonton drama korea, atau hanya obrolan ringan dekat mesin pembuat kopi di kantor untuk menjadi ahli dalam hal perjodohan. "Benarkah?" David terdengar geli, membuat Sandara sebal. Pada kenyataannya, ia memang tahu apa yang ia bicarakan, lebih daripada yang diketahui David. la bisa membayangkan David mendudukkan seorang wanita malang dan memintanya untuk mencoba, persis seperti Roy Julio. Mengenal David, pria itu tidak akan meminta,dia akan memaksa. David mungkin mengajukan lamaran lewat kontrak bisnis di saku kemejanya. Bayangan itu menimbulkan gejolak kemarahan tidak masuk akal di dalam diri Sandara. "Ya, memang," kata Sandara tegas. "Wanita menginginkan pria yang bersedia mendekati mereka, David. Merayu mereka dengan bunga dan gombalan serta keseriusan dan.... dan banyak hal lain." Sandara mengakhiri dengan agak tak yakin. Makanan itu benar-benar telah membuat perutnya terasa penuh,benaknya terasa sedikit kabur. "Dan apa yang tidak mereka inginkan adalah seseorang yang mendudukkan serta memberitahu bahwa mereka berdua mungkin cocok, tapi sebelumnya mereka membutuhkan masa percobaan." "Aku ragu Roy mengatakannya dengan cara seperti itu." "Hampir sama. Artinya sudah jelas."David menelengkan kepala. "Dan menurutmu Anin Salsabiah tidak bisa menolak Roy jika dia tidak menyukai ide pria itu?" Sandara tertawa enggan. "Mungkin,jika dia sedikit lebih berani. Dia masih muda dan sedikit labil. Lagi pula, pria lain pasti akan datang dan membuatnya mabuk kepayang saat Roy mempertimbangkan apakah mereka bisa mencoba atau tidak. Anin sangat cantik." "Seperti yang sudah kamu katakan." Mulut David kembali melekuk ke atas. "Tapi jika kamu bertanya padaku, yang sangat kupahami tidak kamu lakukan, pendapat Roy itu sangat sederhana. Dan, dalam jangka panjang, jauh lebih romantis daripada setumpuk karangan bunga dibungkus plastik dan gombalan yang tidak ada artinya. Kurasa dia pria yang tepat untuk Anin." "Kamu membuatnya terdengar seakan Anin demam dan Roy adalah dua butir parasetamol," protes Sandara, benaknya berputar marah karena ketidakpedulian David terhadap segala hal yang baru saja ia katakan. Karangan bunga dibungkus plastik dan gombalan tidak ada arti! Semoga Tuhan menolong wanita malang yang David putuskan untuk didekati dengan rencananya yang sederhana. "Bukan itu yang diinginkan wanita dari cinta atau pernikahan, David." David mencondongkan tubuh ke depan, matanya bersinar. Matanya terkadang memang berubah menjadi warna yang menakjubkan, pikir Sandara dengan sedikit terpesona. Hampir sewarna langit malam. Sandara menelan ludah, sadar bahwa ia seharusnya tidak memakan hati angsa yang kedua. Dan di mana makanan penutup mereka? "Tapi kamu bilang dirimu tidak tertarik pada cinta atau pernikahan." David mengingatkan dengan lembut. Sandara kembali menelan ludah. Tenggorokannya terasa sangat kering. Bagaimana percakapan ini bisa menjadi sangat pribadi dan... intim? "Sudah kukatakan padamu, aku suka seperti ini." "Tanpa keinginan untuk pernah jatuh cinta?" Tanpa keinginan untuk memberitahu David lagi tentang kehidupan cintanya sendiri, atau ketiadaan cinta,Sandara mengoreksi dalam hati. "Mungkin cinta memang dinilai terlalu tinggi," katanya, mengembalikan kata-kata David. "Aku pernah menjalin dua hubungan romantis dan meski aku tidak mencintai satu pun dari pria-pria yang terlibat, mereka tetap mengecewakan. Aku tidak tertarik untuk mencari sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terwujud atau bahkan ada." Atau terluka ketika sesuatu itu tidak bisa ditemukan atau berjalan lancar. Sandara memikirkan kesedihan ayahnya selama hampir dua puluh tahun kepergian ibunya. Tidak, cinta tidak dinilai terlalu tinggi. Tapi akibatnya mungkin disepelekan. David bersandar, tampak puas. "Kata-kata yang bijaksana. Aku setuju." "Jadi tidak ada cinta atau pernikahan untukmu?" tanya Sandara, bermaksud menggoda, namun pertanyaan itu terlontar sedikit serius. "Aku tidak bilang begitu," kata David, matanya yang gelap menatap Sandara disertai kerutan dahi. "Aku harus menikah suatu saat nanti. Bagaimanapun, aku membutuhkan pewaris untuk Perusahaanku." Nah, itu benar-benar terdengar kolot. Sandara bisa membayangkan David mempersiapkan pernikahan menyedihkan dengan seorang Aktris atau model berwajah masam hanya karena wanita itu bisa menghasilkan keturunan yang bagus. la gemetar. "Praktis sekali kamu," katanya pada David. "Kuharap aku tidak termasuk dalam daftar calon istrimu." Ekspresi David menggelap, alisnya bertaut cukup menyeramkan. "Jangan takut, San. Kamu jelas tidak termasuk." David tidak perlu terdengar sangat yakin menjelaskan hal itu padanya, pikir Sandara, merasa agak tersinggung dengan janji cepat pria itu. Tentu saja, mereka akan menjadi pasangan yang mengerikan mereka terlalu berbeda-tapi apakah ide menikahinya harus membuat David terlihat benar-benar enggan? "Benar-benar melegakan, kalau begitu," kata Sandara ringan. "Jadi, tipe wanita seperti apa yang kamu cari?" "Seseorang yang sependapat denganku mengenai cinta dan pernikahan." "Kalau begitu, orang yang praktis." "Tepat." Sandara menyeringai. Kedengarannya benar-benar mengerikan. "Bukan salah seorang Aktris muda atau model yang biasanya kamu kencani?" tanyanya, berusaha menggoda meskipun ia masih merasa sedikit tersinggung, bahkan mungkin terluka. David mengernyit. "Mereka hanya teman kencan." katanya. "Bukan calon istri." Sandara bergidik dengan gaya dibuat-dibuat. David terdengar seperti sedang membicarakan tanah liat, dibentuk sesuai bentuk yang pria itu inginkan. "Baiklah, semoga beruntung mendapatkan istri seperti yang kamu inginkan." katanya, suaranya menajam meski ia berniat untuk tetap terdengar acuh tak acuh. David mengangguk setuju. "Terima kasih." Sandara balas tersenyum, tapi diam-diam menyadari dirinya sama sekali tidak suka memikirkan David dan calon istrinya yang praktis,siapa pun wanita itu.David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S