Share

Aku Akan Mengajarimu

Madeline merasakan penyesalan yang mendalam karena dia sudah melakukannya untuk pertama kalinya dengan pria pengecut seperti Darren. Ini sebuah kesalahan besar. Seharusnya, dia tidak membiarkan dirinya kelepasan melakukan itu.

"Di matamu aku begitu?" Darren menanyakan dirinya.

Madeline melihat Darren. Ya ... dia adalah sosok yang tidak memiliki keberanian untuk mendekati dan menyatakan cintanya sejak awal.

"Terus saja sembunyi, jangan pernah tunjukkan perasaanmu." Madeline mengejek. Perempuan itu merasa frustasi dan kecewa. Baginya, perasaan ini salah karena dia semakin terpesona dengan Darren.

"Aku akan berubah." Darren berujar.

"Kau kira aku akan percaya?" Madelin tersenyum sinis. "Bahkan, yang semalam terjadi juga bukti kalau kau pengecut!"

Darren menyesali itu. Dia mabuk dan melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Dia menyesal setengah mati karena Madeline, wanita yang ia cintai, masih perawan.

"Maaf," ucap Darren dengan suara parau dan mata sembab. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku mabuk dan ...."

Madeline memandang Darren dengan tatapan kosong. Ia merasa hancur mendengar pengakuan dari pria itu.

"Ya, kau mabuk semalam," balas Madeline dengan suara getir. "Aku tahu itu dan harusnya aku tidak terbawa suasana."

Darren menundukkan kepalanya sedikit. Dia tahu sudah merusak kepercayaan Madeline padanya.

"Aku sungguh menyesal, Madeline," lanjut Darren sambil berusaha mencari kata-kata untuk menjelaskan perasaannya. "Aku benar-benar tidak bermaksud melukaimu."

Madeline diam seribu bahasa sambil menatap kosong ke arah yang lain. Hatinya begitu sakit hingga sulit baginya untuk mengucapkan sepatah kata.

"Lupakan saja!" Madeline berujar dingin. "Anggap saja apa yang terjadi antara kita itu tidak pernah ada."

"Tidak!" Darren membuat Madeline memelotot. Meski dipenuhi penyesalan, Darren tidak ingin melupakan apa yang terjadi. Dia tahu bahwa Madeline juga menikmati malam itu. Momen intim mereka semalam begitu manis dan hangat, seolah keduanya sudah mendambakan itu begitu lama. "Aku tahu aku salah dan aku menyesal. Tapi, aku juga tahu kamu menikmati malam itu sama sepertiku."

Madeline terdiam, matanya berkaca-kaca kala memandang Darren. Dia berusaha keras untuk tidak menangis.

"Akui saja, Mady ...." Darren memohon. "Aku tahu kau menyukainya."

Madeline mengangguk pelan. "Tapi, bukan berarti kau harus mengingatnya!"

Darren senang mendengar pengakuan Madeline. Meski dia tahu bahwa pengakuan tersebut tidak akan menghapus kesalahannya, setidaknya dia merasa sedikit lebih baik.

Darren sambil meraih tangan Madeline dengan lembut. "Kau mencintaiku, Mady ...."

"Bagaimana dengan Sean?" tanya Madeline, mengingatkan Darren bahwa dia sudah memilih adiknya itu. Wajah gadis itu tampak pucat dan matanya berkaca-kaca.

Darren menatap Madeline dengan tatapan yang tajam. "Kau tidak benar-benar mencintai Sean." Dia mencoba membaca ekspresi di wajah Madeline.

Madeline terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaan Darren. Hatinya sendiri bingung dan tidak yakin dengan perasaannya sendiri.

Darren merasakan kebingungan dalam diri Madeline dan membuatnya semakin yakin bahwa perempuan itu tidak benar-benar mencintai Sean.

"Aku tahu kau tidak mencintai Sean," kata Darren dengan lembut sambil mengangkat dagu Madeline agar dia bisa menatap matanya. "Aku bisa melihatnya dalam matamu."

Madeline masih terdiam, tetap cahaya matanya menunjukkan bahwa dia lebih memilih Darren.

Tanpa berpikir panjang lagi, Darren mendekatkan wajahnya ke wajah Madeline dan mengajaknya untuk berciuman. Mereka saling bertukar pandangan sejenak sebelum bibir mereka akhirnya bertemu dalam sebuah ciuman yang lembut dan penuh emosi.

Madeline kembali melupakan tentang Sean, tentang pernikahan yang akan datang, tentang semua masalah yang ada. Untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati momen bersama Darren..

Suara dering ponsel memecah keheningan ruangan, membuat Madeline dan Darren terlonjak kaget. Madeline dengan cepat mendorong Darren menjauh dan mengakhiri ciuman yang sedang membara di antara mereka.

"Biarkan!" Darren tidak mau Madeline pergi darinya saat ini.

"Bagaimana kalau itu Sean?" tanya Madeline dengan napas terengah-engah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlari kencang.

Darren hanya bisa menatap Madeline dengan tatapan bingung dan kecewa. Dia membiarkan perempuan itu meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping sofa. Layar ponsel menunjukkan nama 'Sean' berkedip-kedip, memberi tahu bahwa dia adalah orang yang menelepon.

Madeline tampak ragu sejenak sebelum akhirnya dia mengangkat telepon tersebut. "Hai, Sean," ucapnya dengan suara gemetar.

Darren diaml memperhatikan ekspresi wajah Madeline saat berbicara dengan Sean. Rasa cemburu dan penyesalan mulai menyelimuti hatinya.

"Bagaimana kabarmu pagi ini, Madeline? Apakah tidurmu semalam nyenyak?" tanya Sean dengan suaranya yang hangat dan penuh perhatian.

Madeline menelan ludahnya. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, di mana setiap kata yang diucapkannya bisa menjadi langkah terakhirnya. Dia melirik Darren yang berdiri diam sambil menatapnya dengan tatapan penuh harap.

"Aku baik-baik saja, Sean," jawab Madeline dengan suara gemetar. "Tidurku semalam nyenyak."

Sebuah kebohongan putih. Bagaimana mungkin dia bisa tidur nyenyak setelah apa yang terjadi semalam bersama Darren? Madeline tidak punya pilihan lain selain berbohong.

"Aku harap kau memimpikanku semalam." Sean menggoda.

"Hemh ... aku memimpikanmu." Kembali Madeline harus membohonginya.

Sementara itu, Darren memilih untuk duduk di dekat Madeline. Padahal, semestinya dia pergi menjauh karena dengan berada di dekatnya begini, Madeline jadi tidak nyaman. Bayangan yang mereka lakukan semalam kembali berputar di kepalanya.

Madeline merasa canggung dan kikuk saat berbicara dengan Sean. "Kenapa kau meneleponku?" tanyanya dengan suara ragu.

Sean tertawa kecil di ujung telepon. "Tidak ada yang spesial, Madeline," jawabnya santai. "Aku hanya ingin mengajakmu pergi berkuda hari ini. Kau mau?"

"Berkuda?" Madeline sampai mendelik.

"Keluargaku mengadakan acara berkuda di GreenHaven Equestrian Retreat," kata Sean dengan semangat. "Mereka semua akan ada di sana dan aku pikir akan menyenangkan jika kamu ikut."

"Aku tidak bisa berkuda. Mungkin akan memalukan kalau aku datang ke sana." Madeline mencari alasan untuk menolak.

"Ikutlah, aku yang akan melatihmu berkuda. Bahkan, Darren bisa mengajarimu."

Madeline jadi kepikiran tanyakan soal Darren. "Kakakmu akan ikut juga?"

Sean tertawa kecil. "Ya, seharusnya dia ikut," jawabnya santai. "Tapi aku belum bisa menghubunginya pagi ini. Aku pikir dia masih tidur di hotel setelah bersenang-senang dengan wanita."

Madeline jadi memegang tengkuk mendengarnya.

"Kau mau, kan?" Sean menanyakan kembali.

Madeline membuang napas panjang. Kalau dia tidak ikut, Sean bisa sangat curiga. Meski perasaannya saat ini sedang tidak baik, dia tetap akan pergi.

"Ya, aku akan pergi."

"Satu jam lagi aku datang." Sean terdengar semangat.

"Aku akan siap-siap." Madeline berujar sebelum menutup panggilan.

Setelah telepon ditutup, Madeline segera bangkit dari tempat duduknya dan mulai bersiap-siap untuk hari ini. Selain itu, dia juga perlu membersihkan sofa bekasnya bercinta dengan Darren.

"Kau akan pergi?" Darren yang memperhatikan bertanya dengan nada tidak suka.

Madelin menggelung rambut coklatnya yang ikal dan panjang. Lalu, dia berkata, "Kau dengan sendiri apa yang adikmu katakan tadi. Aku harus pergi."

Darren beranjak dari tempatnya memeluk Madeline dari arah belakang. Dia menghidu kembali aroma tubuh perempuan itu, begitu dalam, hingga memejamkan mata. Dia tidak mau melepaskan perempuan itu lagi.

Madeline terdiam sejenak, mencoba untuk menenangkan diri. Dia tidak boleh lagi terbawa suasana seperti yang sudah-sudah.

"Pergilah!" Madeline berusaha untuk menyingkirkan tangan Darren. "Kalau kau bertengkar dengan Sean, aku yang akan disalahkan nanti."

"Satu hal lagi." Madeline berbalik menatapnya lekat. " Aku mohon, jangan katakan apa pun tentang hal ini. Kalau itu kau lakukan, aku akan menghilang dari hadapanmu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status