Home / Romansa / Madeline dan Dua Pewaris Tampan / 1. Petaka Itu Begitu Manis

Share

Madeline dan Dua Pewaris Tampan
Madeline dan Dua Pewaris Tampan
Author: Yurriansan

1. Petaka Itu Begitu Manis

Author: Yurriansan
last update Last Updated: 2023-10-11 22:12:06

"Darren?" Perempuan itu terkejut.

"Mady." Dia menyapa dengan napas bau alkohol

"Kau mabuk?"

Darren menegakkan tubuhnya. "Aku hanya minum sedikit untuk menghangatkan badan."

Madeline mengibas udara. "Mulutmu bau sekali!" Perempuan itu agak kesal. "Duduklah dulu, kau tidak bisa menyetir dalam keadaan mabuk begini. Aku akan telepon Sean untuk menjemputmu."

Brak!

Darren mendorong Madeline masuk ke dalam dan memojokkannya ke tembok.

"Daren, tenanah!" Madeline mendorongnya. "Aku akan–"

"Sst!" Darren membekap mulut Madeline. "Jangan sebut nama itu di depanku. Apa … apa kau tidak bisa menghargai aku yang ada di depanmu ini?"

"Lepaskan aku, Darren!" Madeline menarik kuat tangan pria itu. "Beraninya kau memperlakukan aku seperti ini!"

"Kau membenciku?" Darren sempoyongan ketika bertanya.

"Darren, diamlah." Madeline menyuruhnya menjauh. "Aku akan telepon Sean untuk menjemputmu."

Darren memerosot lalu memegang kaki Madeline.

"Kenapa … kenapa bukan aku yang kau pilih?"

Madeline tertegun, dia tidak bisa menebak apa yang terjadi dengan Darren sampai-sampai sikapnya begini.

"Kau mabuk!" Madeline tidak mau menjawab, memilih untuk langsung membawanya ke sofa.

Darren berjalan dibopong Madeline. Saat seperti ini, dari tubuhnya tercium mau alkohol yang sangat menyengat.

"Harusnya kau tidak minum! Memangnya kau mau celaka saat mengendarai mobil?"

Madeline menghempas Darren ke sofa.

"Dasar payah!" Perempuan itu merutuk.

Madeline akan ambilkan air dingin untuk meredakan pengar. Namun, langkahnya terhenti saat Darren meraih tangannya.

Tubuh wanita itu terhuyung dan jatuh di atas Darren.

"Kau ini!" Madeline hampir memukulnya. Akan tetapi, Darren lebih cepat menangkap tangannya. Dia membuka mata lebar karena sentuhan itu.

"Kau cantik …."

Jantung Madeline berdegup hebat mendengarnya. "Ya … dan kau baru sadar sekarang?"

Darren menggeleng. "Dari dulu."

"Lalu, kenapa kau membenciku? Kau selalu bilang buruk semua pakaian yang aku gunakan, kau bilang riasanku jelek."

"Karena kau bukan pergi denganku!" Darren menjawab jujur. "Kau pergi dengan Sean dan adikku ktu juga menyukaimu!"

Lidah Madeline kelu.

"Aku mencintaimu, Madeline. Sangat mencintaimu …." Sorot matanya begitu dalam saat mengatakannya.

Madeline bangun, hendak menghindar. Namun, Darren menangkapnya kemudian mengunci dalam pelukan.

"Lepaskan aku!"

"Satu malam saja, Madeline. Temani aku malam ini. Hatiku hancur karena kau akan menikah dengan adikku …."

"Itu adalah salahmu!" Madeline meneriakinya. "Salahmu karena menjadi pengecut!"

"Arggh!" Perempuan itu geram sendiri. Jika saja Darren tahu bahwa Madeline menyukainya juga. Sikap laki-laki itu selalu dingin membuatnya berpikir kalau Darren tidak menyukainya.

Harapan gadis itu pupus saat, Darren terlihat dekat dengan beberapa orang gadis. Kemudian, Sean yang tampan dan baik hati itu menyatakan cinta padanya. Madeline bukan gadis bodoh yang hanya mengandalkan cinta. Mana mungkin dia menolak Sean.

Dan … hubungan itu sudah berlangsung sangat lama. Tinggal menghitung hari mereka akan melangsungkan pernikahan.

"Kau pria terhormat. Jangan lakukan apa-apa yang bisa membuatmu menyesal!"

Darren tertawa ringan. "Apa yang akan aku sesali kalau nyatanya malam ini aku habiskan denganmu, Mady?"

Madeline paling luluh setiap kali ada yang memanggilnya demikian.

Darren menegakkan sedikit tubuhnya, bernapas lebih dekat di wajah Madeline. Matanya yang biru indah, pipinya putih kemerahan. Mabuk atau sadar, wajah cantik inilah yang terus menghantui pikiran pria itu.

"Mady …." Dia memanggilnya lembut. Menyentuh wajah Madeline dengan tangannya yang dingin.

Bibir pria itu begitu lembut saat menyentuh bibir Madeline. Membawa gadis itu pada kenangan di musim gugur saat dia menikmati satu scoop es krim rasa vanila.

Manis … lembut dan meleleh di mulut. Bibirnya tersenyum, hatinya bergembira.

Madeline larut dalam sentuhan itu, membiarkan semuanya. Di matanya saat ini Darren adalah musim gugur itu dan dia adalah gadis kecil yang duduk di sebuah bangku panjang menikmati indahnya daun berguguran.

Ketika kenangan itu begitu mengelabuhi pikiran, kelopak merah di bawah mereka menjadi tanda sesuatu telah terjadi.

*

Madeline meraup wajahnya berkali-kali untuk apa yang sudah terjadi semalam.

"Bodoh, bodoh!" Dia memukul kepalanya. "Apa yang kau lakukan, Mady!"

Madeline berjongkok. Meringkuk sendiri karena merasa bersalah sudah mengkhinati Sean.

"Mady!" Darren mengetuk pintu kamar mandi.

Madeline melihat ke arah pintu dia mencebik.

"Mady, buka pintunya. Kau sudah lama di dalam!"

Tidak suka dengan Darren yang berisik memanggilnya, Madeline membuka pintu.

"Berhenti memanggilku begitu!"

Tatalan Darren menyiratkan kalau dia khawatir dengannya. "Kau sakit?"

"Pergilah!" Madeline mengabaikan Darren. "Kau sudah dapat tumpangan semalam."

"Noda itu …." Darren melihatnya dengan jelas di sofa putih. "Itu artinya, kau masih–"

"Ya … aku perawan." Madeline menunduk malu. Perempuan itu menutup mata sejenak, menahan amarah. "Kau tahu betapa susahnya aku menjaga itu demi hari pernikahanku nanti. Bahkan, Sean pun tidak aku izinkan untuk melakukannya. Kau, malah …."

Darrean memegang wajah Madeline. "Kalau begitu batalkan saja pernikahanmu dengannya."

"Kau gila!"

"Mady, antara aku dengan Sean tidak ada bedanya. Kami berdua sama-sama pewaris Eternity Group. Kau memilihku hidupmu akan bahagia juga."

Madeline memutar mata. "Enyahlah! Aku tidak mencintaimu!"

Darrean tidak percaya. Dia menarik Madeline, memojokkannya kembali ke tembok dengan satu kakinya terangkat mengunci.

"Kau bohong!" tuding Darren. Madeline tidak berani menatap matanya.

Darren tidak sungkan menunjukkan di mana saja jejak cinta yang dia tinggalkan semalam di tubuhnya dan juga tubuh Madeline.

"Kamu sadar saat melakukan ini!"

Madeline menelan saliva. Itulah kenapa pagi ini dia terbangun dengan penyesalan luar biasa. Apalagi kalau bukan karena dengan sadar dia melakukannya dan menikmati permainan mereka semalam.

"Aku akan menciummu lagi, tampar aku kalau kau tidak mencintaiku!" Darren menantang.

Jantung Madeline seperti balon yang dipompa dan sebentar lagi meletus saat Darren begitu dekat dengannya.

"Aku akan menikah dengan Sean …." Kata-kata itu membuat Darren berpikir seribu kali untuk bisa menyentuh Madeline kedua kalinya. "Tolong pikirkan perasaanku yang begitu hancur karena mengkhianatinya dengan kakaknya sendiri."

Darren mengendur sedikit.

Madeline mengusap wajahnya. "Kau benar, aku menyukai apa yang kita lakukan semalam, kau begitu indah, tampan, hatiku sangat tersentuh."

"Satu hal yang membuatku menyesal pagi ini adalah …." Madeline menggantung ucapannya sejenak. "Kenapa aku harus melakukannya dengan pengecut sepertimu!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Bersatu Kembali

    Darren sontak berdiri dengan ekspresi terkejut. "Sial!" Dia tanpa pamit langsung pergi begitu saja.Lulu menatap kepergian bosnya hingga hilang dari pandangannya. "Kamu ke mana saja, sih? Aku khawatir di sini, tapi kamu malah mengabaikanku!" teriak Crasida di telepon saat Darren mencoba menghubunginya di dalam perjalanan menuju ke Rumah sakit."Maaf, sayang. Aku akan segera ke sana." Darren segera menuju ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, ia masih memikirkan Michael. Ia tak percaya Michael akan mengalami kecelakaan karena tidak ada tanda-tanda akan terjadi hal buruk. Ia berdoa semoga Michael dalam keadaan baik-baik saja. Setelah terdiam sambil mengemudi beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di Rumah sakit. Darren bergegas menemui Crasida yang telah menunggunya. Ternyata Sean telah lebih dahulu berada di sana. Walau sempat kesal dan masih marah pada adiknya itu, ia tak ingin dulu mengungkit masalah itu. "Bagaimana keadaan putra kita?" "Dia butuh banyak darah.

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Tidak Bisa Diam Lagi

    Madeline memeluk erat putranya, ia enggan meninggalkan mobil karena memikirkan keselamatan putra dan dirinya sementara Sean bergeming tanpa memberikan rasa kasihan padanya. Madeline menunggu beberapa saat untuk memohon agar Sean berubah pikiran, hanya lewat tatapannya yang tak berdaya, tetapi Sean masih sama, tidak peduli padanya. Akhirnya Madeline terpaksa turun dari mobil dan tidak butuh waktu lama Sean benar-benar meninggalkannya di jalan sepi itu.Madeline menangis ketika putranya bertanya, "Mama, apa kita akan menunggu di sini? Dylan takut, Ma." Madeline, mencoba menahan suara isaknya agar dapat menjawab Sean, "Sebentar lagi kita pulang. Kita tunggu taksi dulu, ya? Untuk sementara kita jalan dulu ke tempat yang ramai." "Apa Mama, bisa?" Ia menatap luka di lutut ibunya.Madeline tersenyum, sembari menganggukkan kepala. "Ayo, kita jalan!" Darren kehilangan jejak mobil Sean. Hampir saja ia memutuskan untuk kembali ke rumah, tapi saat melihat seorang perempuan dengan putra kecil

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Menemukannya

    "Om, mau ketemu mama, boleh?" tanya Darren, sambil melirik ke kaca mobil. Dia melihat samar-samar sosok Madeline di sana, sedang bersandar pada bangku mobil. Sikap duduk perempuan itu masih sama, masih melindungi identitasnya. "Mama, lagi sakit, Om. Tidak bisa." "Sebentar saja. Om, cuma mau berkenalan sama mamamu." Setelah berkata, dia langsung menuju ke lain sisi pintu mobil, di mana tempat Madeline duduk. "Tapi kata Om Sean, mama sedang terluka." Ia tidak ingin ibunya diganggu apalagi ia mengira Ibunya kini tengah tidur. Ia juga cemas kalau sikap Sean mungkin sama seperti Crasida yang tidak setuju anaknya berteman dengan sembarangan orang. Ia tidak mau ibunya dimarahi lagi. Meski tadi Darren telah bersikap baik padanya, tapi dia perlu waspada. "Dia lagi tidur, Dar," kata Sean, saat Darren akan mengetuk kaca pintu mobil, tapi Darren tidak peduli, Darren membungkuk melihat kaca. "Aku cuma mau melihatnya. Bisa kamu buka?" "Kami sedang terburu-buru," jawab Sean agak kesal.Darren

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Pertemuan

    Sean menatap wajah Madeline yang masih belum menjawab keinginannya untuk ikut menjemput Dylan ke rumah Michael. Terus terang ia begitu ingin lebih lama bersama perempuan itu dan bila bisa tidak akan terpisah lagi. "Kenapa Mady? Apa aku sudah mengganggumu sampai kamu tidak mau menerima bantuanku?""Tidak sama sekali." Madeline menggeleng lemah, sedikit merasa tidak nyaman dengan perkataan Sean barusan. "Lalu?" Sean mengerutkan keningnya, alisnya hampir bersatu karena merasa perempuan itu telah menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku cuma tidak mau merepotkan kamu saja." Dia tersenyum hambar, berharap Sean tidak memaksanya lagi."Aku bertanggung jawab atas luka yang kau dapatkan itu. Daripada terjadi apa-apa, lebih baik aku antar kamu ke sana." "Tapi, Se--""Eits! Jangan membantah! Aku akan merasa bersalah bila kamu tidak mau menerima bantuanku," potong Sean sambil memelas.Madeline terdiam sejenak sebelum ia menganggukkan kepalanya. Ia menarik napas sedalam-dalamnya untuk mengurangi be

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Mantan

    Sosok lelaki yang tidak asing bagi Madeline.“Itu Sean…” lirih Madeline mengucek matanya merasa penglihatannya tidak baik-baik saja. Benarkah itu Sean? Lelaki bertubuh sempurna dengan balutan kemeja berwarna hitam digulung hingga bagian siku tersebut berjalan mendekati Madeline yang berdiri termenung. Mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Mady,” panggil Sean dengan lembut, dia ingin memastikan wanita di depannya kini Madeline ataukah hanyalah halusinasinya saja. Ternyata matanya masih berfungsi dengan benar, itu beneran Madeline. Lelaki itu melayangkan sebuah senyum yang paling tulus, bibirnya merekah pertanda bahagianya bisa menemukan pujaan hatinya yang menghilang selama ini. Hatinya bersorak bahagia dipertemukan dengan sang penghuni hati. Madeline masih mematung, kakinya terasa berat untuk segera berlari menjauh dari hadapan Sean. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali di saat seperti ini. Keringat tiba-tiba mengucur deras bahkan punggungnya sudah mulai

  • Madeline dan Dua Pewaris Tampan   Pertemuan Tidak Terduga

    Dilan menatap lama Michael. “Emm, aku harus bilang semuanya kepada ibuku dengan siapa aku berteman, tapi kamu apakah benar ingin berteman denganku?” tanya Dilan bersungguh-sungguh tapi Michel langsung menyambut dengan anggukan kepala yang mantap. “Karena kau adalah orang yang mau membelaku saat Bobby dan teman-temannya nakal,” jawab Michael dengan sejujurnya. Belum sempat Dilan berbicara ternyata di seberang jalan, Madeline telah menunggu kedatangannya. “Aku duluan, besok kita bertemu lagi,” ucap Dilan berlari menemui ibunya. “Halo, Jagoan kecil,” sapa Madeline berjongkok agar mereka sama tingginya. “Hai, Mom, aku tadi kena hukuman dari Miss Neona.” Dilan tidak sabar ingin bercerita dia membuka percakapan tentang hukumannya tadi. “Oh, begitu, kita lanjut cerita di rumah, sekarang pulang dulu.” Bocah kecil sekolah TK tersebut menurut apa kata ibunya. Mereka pulang ke apartemen bersama-sama. Sore harinya. Madeline telah selesai membuat makan makan untuk mereka berdua. Dilan masi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status