Gini menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Darren, aku tahu ini sulit. Tapi percayalah, Mady bukanlah orang yang mudah dibujuk. Dia memiliki prinsip dan dia akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Aku tahu kau merasa berhak tahu, tapi apakah itu sebanding dengan risiko kehilangan Mady lagi?" Darren tampak ragu, matanya bergerak bolak-balik antara Gini dan latte-nya yang sudah mulai dingin. "Kau tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan."Gini menggeleng. "Aku mengerti, Darren. Tapi, aku juga kenal betul dengan bagaimana Mady. Pikirkan juga soal istrimu. Kalau kau masih nekat mendekati Madeline, dia bisa dituduh yang bukan-bukan."Darren tampak terpaku, matanya menatap jauh ke luar jendela. Dia tahu semua ini terlalu rumit. Namun, bagaimana bisa dia berhenti mencari tahu? Bagaimana dia bisa berhenti mencintai Madeline?Darren berpikir keras, matanya menatap kosong ke depan. Dia terjepit antara cintanya pada Madeline dan tanggu
Madeline menatapnya dengan tajam, tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut. "Beraninya aku? Oh, Cressida, kau pikir aku akan takut padamu?" Dia tertawa kecil, suaranya penuh dengan sinisme. "Aku tidak takut padamu, baik dulu atau sekarang."“Dasar pelacur murahan!” Cressida menghinanya. “Aku tahu kenapa kau bisa berani begini.”Madeline belum paham dengan tuduhan Cressida.“Sudah pasti kau menggoda suamiku lagi, kan?” tuduh Cressida tanpa bukti. “Kau menggoda suamiku dan mengemis padanya supaya dilindungi.”Madeline bergeming untuk sejenak. Entahlah bagaimana dia harus mengelak. Rasanya mengatakan apa pun akan percuma saat ini.Cressida menunjuk Madeline. “Dengar! Sebesar apa pun cinta kalian, akulah yang istrinya. Kau hanya jalang yang coba kembali untuk menghancurkan rumah tanggaku.”Tuduhan Cressida kali ini mengenai jantung Madeline seperti sebilah pisau yang menancap.“Anakmu itu, jangan coba-coba meminta hak pada Darren atau aku akan membunuhmu! Dia hanyalah anak haram!” Cressid
Dilan menatap lama Michael. “Emm, aku harus bilang semuanya kepada ibuku dengan siapa aku berteman, tapi kamu apakah benar ingin berteman denganku?” tanya Dilan bersungguh-sungguh tapi Michel langsung menyambut dengan anggukan kepala yang mantap. “Karena kau adalah orang yang mau membelaku saat Bobby dan teman-temannya nakal,” jawab Michael dengan sejujurnya. Belum sempat Dilan berbicara ternyata di seberang jalan, Madeline telah menunggu kedatangannya. “Aku duluan, besok kita bertemu lagi,” ucap Dilan berlari menemui ibunya. “Halo, Jagoan kecil,” sapa Madeline berjongkok agar mereka sama tingginya. “Hai, Mom, aku tadi kena hukuman dari Miss Neona.” Dilan tidak sabar ingin bercerita dia membuka percakapan tentang hukumannya tadi. “Oh, begitu, kita lanjut cerita di rumah, sekarang pulang dulu.” Bocah kecil sekolah TK tersebut menurut apa kata ibunya. Mereka pulang ke apartemen bersama-sama. Sore harinya. Madeline telah selesai membuat makan makan untuk mereka berdua. Dilan masi
"Darren?" Perempuan itu terkejut. "Mady." Dia menyapa dengan napas bau alkohol "Kau mabuk?" Darren menegakkan tubuhnya. "Aku hanya minum sedikit untuk menghangatkan badan." Madeline mengibas udara. "Mulutmu bau sekali!" Perempuan itu agak kesal. "Duduklah dulu, kau tidak bisa menyetir dalam keadaan mabuk begini. Aku akan telepon Sean untuk menjemputmu." Brak! Darren mendorong Madeline masuk ke dalam dan memojokkannya ke tembok. "Daren, tenanah!" Madeline mendorongnya. "Aku akan–" "Sst!" Darren membekap mulut Madeline. "Jangan sebut nama itu di depanku. Apa … apa kau tidak bisa menghargai aku yang ada di depanmu ini?""Lepaskan aku, Darren!" Madeline menarik kuat tangan pria itu. "Beraninya kau memperlakukan aku seperti ini!" "Kau membenciku?" Darren sempoyongan ketika bertanya. "Darren, diamlah." Madeline menyuruhnya menjauh. "Aku akan telepon Sean untuk menjemputmu." Darren memerosot lalu memegang kaki Madeline. "Kenapa … kenapa bukan aku yang kau pilih?" Madeline tertegu
Madeline merasakan penyesalan yang mendalam karena dia sudah melakukannya untuk pertama kalinya dengan pria pengecut seperti Darren. Ini sebuah kesalahan besar. Seharusnya, dia tidak membiarkan dirinya kelepasan melakukan itu."Di matamu aku begitu?" Darren menanyakan dirinya.Madeline melihat Darren. Ya ... dia adalah sosok yang tidak memiliki keberanian untuk mendekati dan menyatakan cintanya sejak awal."Terus saja sembunyi, jangan pernah tunjukkan perasaanmu." Madeline mengejek. Perempuan itu merasa frustasi dan kecewa. Baginya, perasaan ini salah karena dia semakin terpesona dengan Darren."Aku akan berubah." Darren berujar."Kau kira aku akan percaya?" Madelin tersenyum sinis. "Bahkan, yang semalam terjadi juga bukti kalau kau pengecut!"Darren menyesali itu. Dia mabuk dan melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Dia menyesal setengah mati karena Madeline, wanita yang ia cintai, masih perawan."Maaf," ucap Darren dengan suara parau dan mata sembab. "Aku tidak bermaksud be
Madeline berjalan menuju dapur dan mengambil sebotol jus apel dari dalam kulkas. Dengan tangan yang gemetar, dia membuka tutup botol tersebut dan kemudian berjalan kembali ke ruang tamu.Tanpa memberi peringatan apa pun, Madeline tiba-tiba menyiramkan jus apel tersebut ke sofa tempat mereka melakukannya semalam. Sofa tersebut langsung basah oleh jus apel dan aroma manis dari jus tersebut mulai mengisi ruangan.Darren terkejut melihat aksi Madeline dan tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. "Kau ini kenapa?" tanyanya dengan suara gemetar.Madeline menatap Darren dengan tatapan kosong. "Aku tidak.mau bau tubuhmu masih menempel," jawabnya dingin. "Jika kau masih peduli padaku, pergilah sekarang!""Mady!'Madeline menatap Darren dengan tatapan yang tajam dan penuh kemarahan. "Apa lagi yang kau tunggu, Darren?" tanyanya dengan suara yang keras dan jelas.Kemarahan Madeline membuat Darren seolah terjebak dalam mimpi buruk. "Kau mau melihatku lompat dari apartemen ini dulu baru mau
Untuk kesekian kalinya, Sean mengangguk dan menjawab pertanyaan Madeline. "Aku kan sudah bilang dari tadi kalau Darren memang akan datang. Kau ini kenapa kelihatannya bingung begitu?"Madeline menggeleng. "Aku cuma tanya." Dia berusaha menyembunyikan ekspresi gugupnya. "Umh, maksudku tadi kau bilang dia datang dengan siapa?""Cressida," ujar Sean. Mendengar nama Cressida membuat mata Madeline membesar.Pria itu kemudian menjelaskan kembali soal Cressida. "Dia itu satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan kakakku. Aku rasa, kalau Darren tidak juga berani menyatakan cinta padanya, orang tua kami akan menjodohkannya."Madeline tersenyum kecut. "Apa dia selalu pengecut begitu?"Sean mengerutkan alis. "Maksudmu?"Madeline enggan menjelaskan. "Lupakan saja."Sean menunjukkan ekspresi bingung yang jelas terlihat di wajahnya. Dia memandang Madeline dengan tatapan tajam, mencoba mencari jawaban atas reaksi kagetnya."Ada apa dengan sikapmu ini?"Madeline juga bingung dengan sikapnya sendiri.
Darren mendekati Bella. Dia mengulurkan tangannya dan mulai mengelus-elus leher Bella dengan lembut."Kau tampak cantik hari ini."Bella merespons dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah dia memahami apa yang dikatakan oleh Darren.Sean mendengkus. Dia memperhatikan bagaimana Bella tampak begitu tenang di bawah sentuhan Darren. Dengan nada setengah berkelakar, dia berkata, "Semua wanita tampaknya takluk di hadapanmu. Tidak terkecuali Bella."Dengan ekspresi yang sulit diartikan, Darren mendecih pelan. Matanya kemudian kembali melirik Madeline, mencoba untuk menangkap reaksi wanita itu. Namun, Madeline tampaknya telah menyadari tatapan Darren dan dengan cepat mengalihkan perhatiannya.Madeline merasa jantungnya berdebar kencang. Dia bisa merasakan tatapan Darren yang begitu tajam dan dalam, seolah mencoba untuk membaca apa yang ada di dalam pikirannya. Perempuan itu berusaha untuk mengabaikan.Darren, yang masih berdiri di samping Bella, membalas decihan Sean dengan nada datar. "