"Maafkan aku, Ra. Aku benar-benar tidak bisa memilih antara kamu dan juga Linda. Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa melepasmu, tapi aku juga tidak bisa berpisah dari Linda. Di-a se-dang mengandung anakku," ucap Mas Hilman lirih.
Bagai mendengar petir di siang hari aku mendengar jawaban Mas Hilman. Mendengar Linda hamil membuat jiwaku seolah melayang, keluar dari ragaku."A-pa Ma-s? Apa aku salah dengar?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang aku dengar."Ma-af, Ra ... maaf. Untuk sekarang aku tidak bisa berpisah dengan Linda. Dia sedang mengandung anakku."Hatiku seketika mencelos mendengar jawaban yang sama dari Mas Hilman tentang kehamilan Linda. Duniaku benar-benar runtuh, harapan-harapanku benar-benar telah sirna.Air mataku kembali mengalir tanpa aku harapkan. Hatiku bertambah sakit sekali. Bagaimana hatiku tidak bertambah sakit, selama dua tahun ini Mas Hilman melarangku untuk memiliki anak terlebih dahulu karena kondisi keuangan kami. Tapi kini dia malah mengatakan bahwa ada wanita lain yang sedang mengandung anaknya.Hatiku terasa remuk redam, hancur berkeping-keping. Padahal selama ini aku sangat ingin mempunyai anak, tapi karena rasa cintaku yang sangat besar untuk Mas Hilman, aku menuruti semua ucapannya. Aku menuruti keinginannya untuk menunda kehamilanku sampai kondisi keuangan kami membaik.Tetapi sekarang apa yang aku dapatkan atas semua yang kulakukan untuk Mas Hilman? Sekarang aku harus menerima kenyataan pahit, suamiku sendiri memiliki anak dari wanita lain."Ra, tolong bersabarlah. Aku hanya minta waktu tiga tahun. Setelah itu kita akan hidup bahagia bersama-sama," ucap Mas Hilman lagi."Lalu setelah tiga tahun, bagaimana dengan anakmu dan Linda, Mas?" tanyaku getir."Dia akan aku bawa, kita akan membesarkannya sama-sama, Ra. Bukankah kamu sangat suka anak kecil? Kamu akan menjadi Ibu yang baik untuknya," jawab Mas Hilman dengan entengnya.Aku tersenyum miris mendengar jawaban Mas Hilman. Bisa-bisanya dia dengan entengnya mengatakan hal yang mustahil untuk kulakukan. Membesarkan anak wanita lain dengan suamiku sendiri. Apa Mas Hilman pikir aku tidak waras sampai harus mengurus anak itu?"Aku memang sangat menyukai anak kecil, Mas. Tapi jika harus membesarkan anakmu dengan wanita lain, aku tidak sudi. Aku tidak akan sudi melakukannya sampai kapanpun," sentakku membuat Mas Hilman nampak terkejut.Aku menatap Mas Hilman tajam, hatiku sudah teramat sakit. Rasanya cinta untuk Mas Hilman sudah berganti dengan benci."Tolonglah, Ra. Hanya ini satu-satunya jalan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau jika rencanaku berhasil, Ra."Ucapan Mas Hilman membuatku geram, padahal selama ini aku tidak pernah meminta apapun padanya. Aku selalu menerima berapa pun yang dia berikan. Selama ini pun aku tidak pernah menuntutnya apa-apa padanya."Apa selama ini aku pernah meminta sesuatu di luar kemampuanmu, Mas? Apa selama ini aku pernah menuntutmu untuk menuruti keinginanku? Katakan, selama kita menikah apa yang aku minta darimu?" tanyaku bertubi-tubi.Mas Hilman terdiam, dia nampak tidak bisa menjawab pertanyaanku, karena memang selama ini aku tidak pernah meminta apa-apa darinya.Aku benci sikap diam Mas Hilman yang seperti ini, sikap diamnya membuatku muak. Rasanya aku ingin segera mengakhiri pembicaraan ini, sia-sia saja kami bicara jika Mas Hilman enggan menjawab pertanyaanku."Jadi kamu benar-benar tidak mau merubah keputusanmu, Mas?" tanyaku sudah mulai jengah dengan Mas Hilman.Mas Hilman menatapku dengan pandangan sendu, "Maafkan aku, Ra. Untuk sekarang aku tidak bisa memilih antara kamu dan juga Linda."Hatiku kembali berdenyut nyeri mendengar jawaban Mas Hilman. Jadi sekarang inilah keputusan Mas Hilman, dia tetap tidak mau memilih antara aku dan Linda. Ternyata rasa cinta Mas Hilman padaku sudah kalah dengan gelimang harta yang dimiliki Linda. Dan ternyata lelaki yang sangat aku cintai tidak lebih dari seorang yang haus akan harta saja.Selama ini aku telah keliru menilai Mas Hilman, aku terlalu tinggi menilainya. Aku pikir dia lelaki yang baik, yang akan setia padaku seumur hidupnya.Baiklah, aku akan menerima keputusan Mas Hilman. Tapi aku juga memiliki keputusan sendiri untuk rumah tanggaku dengannya."Baiklah, Mas. Jika memang kamu tetap pada pendirianmu, maka aku juga memiliki keputusanku sendiri.""Apa maksudmu, Ra?" tanya Mas Hilman menatapku dengan wajah yang nampak bingung.Aku menghela nafas panjang, mencoba menguatkan hati untuk mengutarakan keputusanku pada Mas Hilman."Mari berpisah, Mas," ucapku membuat Mas Hilman nampak terperangah. Terkejut dengan apa yang aku ucapkan."Apa? Apa maksudmu, Ra?""Maksudku sudah jelas, Mas. Aku ingin kamu menceraikan aku, Mas. Aku ingin berpisah darimu," jawabku memperjelas keputusanku.Mas Hilman menggelengkan kepalanya mendengar jawabanku, "Tidak, Ra. Tidak. Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Suara Mas Hilman meninggi.Aku terperanjat mendengar nada suara Mas Hilman yang meninggi, ini sudah kedua kalinya Mas Hilman meninggikan suaranya padaku, tapi aku masih saja terkejut.Mas Hilman beringsut meraih tanganku, "Tolong jangan meminta pisah dariku, Ra. Aku tidak akan sanggup hidup ta
"Akhirnya kamu datang juga, Ra. Kalau begitu Mbak langsung pulang, ya?" tanya Mbak Nuri begitu aku masuk ke dalam kamar rawat Ibu."Iya, Mbak. Maaf aku baru bisa datang sekarang," jawabku."Tidak apa-apa, Ra. Kamu pasti kelelahan karena sudah tiga hari ini menjaga Ibu di sini," sahut Mbak Nuri sembari bersiap untuk pergi.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Mbak Nuri. Andai saja Mbak Nuri tahu, jika ternyata baktiku pada Ibu tidak bisa membuat Mas Hilman menjaga setianya padaku. Bagaimana respon yang diberikan olehnya jika sampai tahu?"Nuri pergi dulu ya, Bu. Besok Nuri datang lagi," pamit Mbak Nuri pada Ibu sembari mengecup punggung tangannya.Sementara Ibu hanya menganggukkan kepala sembari mengusap lembut puncak kepala Mbak Nuri. Hal yang selalu Ibu lakukan pada anak-anaknya walaupun mereka sudah dewasa, Ibu juga melakukan hal yang sama padaku, menantunya.Selama menikah dengan Mas Hilman, aku sangat dekat dengan Ibu. Beliau seorang single parent yang membesarkan Mas Hilma
Pagi ini, aku sudah sibuk berkutat di dapur membuatkan bubur untuk sarapan Ibu. Beliau sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin.Aku mengurus sendiri saat Ibu akan pulang ke rumah, sementara Mas Hilman entah ada di mana. Sejak aku meninggalkannya di kantin rumah sakit, aku sudah tidak melihat batang hidungnya lagi.Mungkin dia sedang berada di rumah Linda, maduku yang kaya raya itu. Aku tersenyum miris mengingat jika ternyata aku memiliki madu. Pernikahanku dengan Mas Hilman baru seumur jagung, tapi dia sudah menghadirkan madu untukku. Miris bukan?Siapa juga yang ingin memiliki madu, bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah membayangkannya. Tapi sekarang semua sudah terlanjur, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak akan pernah bisa mengembalikan semuanya seperti semula.Ah, bubur untuk Ibu sudah selesai aku masak, aku harus segera menghidangkannya. Sebentar lagi sudah waktunya Ibu meminum obat.Aku pun mengambil mangkuk dan mengisinya dengan bubur, lalu setelahnya aku juga men
"Maafkan anak Ibu, Ra. Maafkan anak Ibu. Dia sudah menyakiti wanita sebaik dirimu. Dia sudah membuatmu terluka seperti ini," ucap Ibu sembari membingkai wajahku dengan kedua tangan hangatnya.Aku terharu mendengar ucapan Ibu, sungguh inilah yang membuatku berat berpisah dari Mas Hilman. Memiliki mertua sebaik Ibu merupakan anugerah tersendiri buatku.Tanganku perlahan meraih tangan Ibu dan mendekapnya di dada, "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin ini memang sudah takdirku. Aku ikhlas menjalaninya.""Aku merasa sangat bersalah padamu, Ra. Aku telah gagal mendidik Hilman hingga dia tega menyakitimu seperti ini."Aku menggeleng, "Tidak, ini bukan salah Ibu. Keadaanlah yang salah, Bu. Gemerlap harta telah membutakan Mas Hilman. Jadi Ibu tidaklah salah sama sekali."Ibu kembali menangis tersedu, entah sudah berapa lama Ibu menangis. Sejak tadi Ibu tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Kami berdua terlalu larut dalam kesedihan."Ada apa ini, kenapa kalian menangis? Apa Ibu sakit lagi?" Mas Hilma
"Pergi! Pergi kamu, Man. Ibu tidak sudi melihat wajahmu lagi!" tangis Ibu mengusir Mas Hilman.Sementara Mas Hilman hanya menangis melihat kemarahan Ibu. Dia nampak sedih, raut wajahnya terlihat sendu. Mungkin kesedihan Mas Hilman juga karena fakta yang Ibu sampaikan padanya.Sejauh aku mengenal Mas Hilman, dia termasuk lelaki yang sangat berbakti kepada Ibunya. Mas Hilman juga sosok anak yang sangat dekat dengan sang Ibu. Dia juga tidak pernah melawan apapun yang Ibu katakan.Dapat aku bayangkan bagaimana perasaan Mas Hilman yang pasti menyesal telah menyakiti Ibu yang sangat disayanginya itu.Aku menghela nafas panjang, semua tidak berjalan sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir jika aku jujur pada Ibu, aku akan dengan mudah berpisah dari Mas Hilman. Tapi semua malah menjadi rumit seperti ini. Ternyata aku malah membuka luka lama Ibu. Takdir memang terkadang mempermainkan kita seperti ini."Ra, tolong bujuk Ibu. Tolonglah aku, aku tidak bisa menerima kemarahan Ibu seperti ini," ratap
"Apa Ibu yakin ingin ikut denganku, Bu? Apa Ibu tidak mau berubah pikiran? Masih ada waktu jika Ibu ingin berubah pikiran." Aku memastikan kembali keputusan Ibu yang ingin ikut denganku. Aku tidak mau beliau akhirnya menyesal jika ternyata hanya hidup menderita bersamaku. Aku akan mulai hidup dari nol, tidak memiliki apa-apa untuk memberikan Ibu yang terbaik."Iya, Ra. Apalagi sekarang kesehatanku sudah semakin membaik. Aku pasti tidak akan menyusahkanmu lagi, Ra."Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Ibu, karena memang kesehatan Ibu sudah semakin membaik setelah lima hari berlalu sejak kejadian beliau mengusir Mas Hilman pergi.Sejak itu, Ibu tidak pernah mau bertemu dengan Mas Hilman. Beliau selalu menolak kedatangan Mas Hilman dengan mengurung diri di kamar bila Mas Hilman datang dan tidak menemuinya sama sekali.Aku pun tidak pernah memaksa Ibu untuk menemui putranya itu. Aku takut malah Ibu menjadi bersedih lagi jika aku memaksanya untuk bertemu dengan Mas Hilman."Apa Ibu tida
"Jadi kamu melamar perkerjaan di tempat kerja Mila, Ra?" tanya Ibu yang nampak sibuk melipat baju-baju dari para tetangga dan sudah selesai di cuci.Ah, kami sudah menemukan tempat tinggal yang masih layak dengan harga yang terjangkau. Dan tak terasa sudah hampir satu bulan aku dan Ibu pindah di tempat ini. Tempat yang menurutku tidak terlalu bagus dibandingkan dengan rumah Ibu, tapi mampu membuat hariku tenang, tanpa melihat wajah Mas Hilman lagi.Awal-awal kepergian kami, Mas Hilman selalu menelfon dan mengirim pesan padaku. Tapi aku tidak pernah menanggapinya sama sekali. Lalu dia tak henti-hentinya mengirim pesan dan menelfon di setiap waktu, sampai aku merasa terganggu. Hingga akhirnya aku pun mengganti nomer ponselku agar tidak semakin terganggu. Kini hanya Mbak Nuri saja yang memiliki nomer ponselku."Jadi, Bu," jawabku sembari menyetrika pakaian.Oh ya, untuk menyambung hidup, aku dan Ibu memutuskan untuk menerima jasa mencuci baju. Pekerjaan yang dianggap orang sepele, tapi t
"Iya, Mbak. Jangan khawatir, Ibu baik-baik saja. Mungkin akhir pekan depan kami akan berkunjung ke tempat Mbak," ucapku melalui sambungan telfon.Aku sedang bertukar kabar dengan Mbak Nuri melalui sambungan telfon. Aku dan Ibu sudah menceritakan semuanya pada Mbak Nuri.Awalnya Mbak Nuri keberatan jika Ibu ikut denganku, dia takut jika sewaktu-waktu penyakit Ibu kambuh dan akan menyusahkanku. Tapi seiring berjalannya waktu, Mbak Nuri menerima keputusan Ibu untuk ikut denganku, setelah mengetahui bahwa penyakit Ibu belum pernah kambuh sama sekali sejak ikut pindah bersamaku.Mbak Nuri juga mendukung keinginanku untuk bercerai dari adiknya lelakinya itu. Dia juga sama kecewanya pada pengkhianatan Mas Hilman. Saat mendengar ceritaku tentang Mas Hilman, Mbak Nuri tidak henti-hentinya memaki adiknya itu.Orang selembut Mbak Nuri sampai bisa memaki orang hanya dengan mendengar ceritaku, lalu bagaimana denganku yang mengalaminya sendiri? Harusnya kemarin aku juga memaki-maki Mas Hilman untuk