"Jadi kamu tetap pada pendirianmu, Mas?"
Aku menatap sendu Mas Hilman, sedang yang kutatap hanya menundukkan wajahnya tanpa berani menatapku sama sekali.Pagi ini, setelah aku keluar dari kamar, kulihat Mas Hilman sedang tertidur di sofa. Aku pun berlalu ke dapur untuk memasak tanpa membangunkan Mas Hilman. Walau hatiku masih terasa sakit, tapi aku tidak mau mengabaikan tugasku sebagai seorang istri.Sampai di dapur, aku langsung memulai memasak bahan makanan seadanya, karena kondisiku tidak memungkinkan untuk berbelanja sayur terlebih dahulu. Mataku masih membengkak, wajahku juga terlihat kusut, lingkar hitam terlihat jelas menghiasi kedua mataku.Selang satu jam, aku pun sudah menyelesaikan semua pekerjaanku di dapur. Lalu aku bergegas untuk membangunkan Mas Hilman.Walaupun hatiku masih enggan untuk melakukannya, tapi aku terpaksa harus membangunkan Mas Hilman. Kami butuh bicara, kami harus membahas bagaimana kelanjutan nasib rumah tangga kami.Dan akhirnya kami pun bicara setelah Mas Hilman selesai sarapan, sedangkan aku, aku tidak mampu menelan makanan walau hanya satu sendok saja.Aku sudah menanyakan pada Mas Hilman tentang rumah tangga kami, tapi Mas Hilman tetap pada pendiriannya. Dia masih tidak bisa memilih antara aku dan juga Linda, istri kedua Mas Hilman. Aku baru mendengar namanya kemarin, tapi aku sudah sangat hafal dengan nama itu. Nama maduku, nama wanita yang telah membuat Mas Hilman mengkhianatiku.Aku tidak menyalahkan Linda, karena memang semuanya terjadi karena keinginan Mas Hilman sendiri yang menghadirkan Linda di antara pernikahan kami."Jangan diam saja, Mas. Jawablah pertanyaanku. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh jawabanmu." Aku semakin tidak sabar melihat Mas Hilman hanya diam saja.Sementara Mas Hilman masih bergeming dan belum menatap ke arahku. Membuatku semakin geram, ingin mengamuk kepadanya. Tapi sebisa mungkin aku harus menahan emosiku, untuk bisa mendengar keputusan Mas Hilman."Baiklah, jika kamu tidak mau menjawab pertanyaanku tadi. Sekarang aku ganti pertanyaannya. Sejak kapan kamu menikah dengan Linda, Mas? Apa sudah lama?"Perlahan Mas Hilman mengangkat kepalanya, melihatku dengan mata berkaca-kaca. Raut wajahnya nampak sedih. Dulu aku akan sangat khawatir melihat raut sedih Mas Hilman seperti ini, tapi kini aku sudah tidak peduli lagi."Ayo jawab, Mas. Pertanyaanku tidak sulit, bukan? Kamu hanya tinggal memberitahuku kapan pernikahanmu dengan Linda berlangsung," ucapku mulai merasa jengah dengan kebisuan Mas Hilman sedari tadi."Li-ma bulan lalu, saat aku pamit ke luar kota," jawab Mas Hilman akhirnya membuka suara.Ah, aku ingat. Mas Hilman memang pergi ke luar kota selama seminggu, dan aku dengan sangat bahagia melepas kepergian Mas Hilman karena akhirnya dia akan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Tapi ternyata dia berbohong, kenyataannya dia telah menikah dengan Linda. Menikmati masa-masa indahnya sebagai pengantin baru.Bodohnya aku, bisa dengan bahagia melepas suamiku sendiri ke pelukan wanita lain. Sudah selama itu dan aku baru tahu kemarin. Hatiku makin teriris, merasa tidak adil.Bukankah tidak adil, selama lima bulan Mas Hilman ternyata mengkhianatiku, berbagi cinta dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku, menikmati masa-masa pengantin baru. Sementara aku di sini harus mengurus Ibu Mas Hilman yang sakit-sakitan, mengantarnya ke rumah sakit ketika sakitnya kambuh.Sekarang pun beliau sedang berada di rumah sakit, sudah tiga hari beliau di rawat inap di rumah sakit. Kemarin Mbak Nuri, kakak dari Mas Hilman datang, hingga aku dan Mas Hilman bisa pulang ke rumah dan beristirahat.Kenyataan memang selucu ini, aku berusaha untuk menjadi istri dan menantu yang baik untuk keluarga Mas Hilman, tapi aku malah dikecewakan dengan sedemikian rupa. Inikah balasan atas semua rasa cintaku yang begitu besar untuk Mas Hilman?Hatiku kembali terasa sesak, sakit perihnya tak terkira. Rasa kecewaku sudah teramat besar untuk Mas Hilman. Rasanya aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tanggaku."Maafkan aku, Ra. Aku benar-benar tidak bisa memilih antara kamu dan juga Linda. Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa melepasmu, tapi aku juga tidak bisa berpisah dari Linda. Di-a se-dang mengandung anakku," ucap Mas Hilman lirih.Bagai mendengar petir di siang hari aku mendengar jawaban Mas Hilman. Mendengar Linda hamil membuat jiwaku seolah melayang, keluar dari ragaku."A-pa Ma-s? Apa aku salah dengar?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang aku dengar."Ma-af, Ra ... maaf. Untuk sekarang aku tidak bisa berpisah dengan Linda. Dia sedang mengandung anakku."Hatiku seketika mencelos mendengar jawaban yang sama dari Mas Hilman tentang kehamilan Linda. Duniaku benar-benar runtuh, harapan-harapanku benar-benar telah sirna.Air mataku kembali mengalir tanpa aku harapkan. Hatiku bertambah sakit sekali. Bagaimana hatiku tidak bertambah sakit, selama dua tahun ini Mas Hilman melarangku untuk memiliki anak terlebih dahulu karena kondisi keuangan kami. Tapi kini dia malah mengatakan b
"Baiklah, Mas. Jika memang kamu tetap pada pendirianmu, maka aku juga memiliki keputusanku sendiri.""Apa maksudmu, Ra?" tanya Mas Hilman menatapku dengan wajah yang nampak bingung.Aku menghela nafas panjang, mencoba menguatkan hati untuk mengutarakan keputusanku pada Mas Hilman."Mari berpisah, Mas," ucapku membuat Mas Hilman nampak terperangah. Terkejut dengan apa yang aku ucapkan."Apa? Apa maksudmu, Ra?""Maksudku sudah jelas, Mas. Aku ingin kamu menceraikan aku, Mas. Aku ingin berpisah darimu," jawabku memperjelas keputusanku.Mas Hilman menggelengkan kepalanya mendengar jawabanku, "Tidak, Ra. Tidak. Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Suara Mas Hilman meninggi.Aku terperanjat mendengar nada suara Mas Hilman yang meninggi, ini sudah kedua kalinya Mas Hilman meninggikan suaranya padaku, tapi aku masih saja terkejut.Mas Hilman beringsut meraih tanganku, "Tolong jangan meminta pisah dariku, Ra. Aku tidak akan sanggup hidup ta
"Akhirnya kamu datang juga, Ra. Kalau begitu Mbak langsung pulang, ya?" tanya Mbak Nuri begitu aku masuk ke dalam kamar rawat Ibu."Iya, Mbak. Maaf aku baru bisa datang sekarang," jawabku."Tidak apa-apa, Ra. Kamu pasti kelelahan karena sudah tiga hari ini menjaga Ibu di sini," sahut Mbak Nuri sembari bersiap untuk pergi.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Mbak Nuri. Andai saja Mbak Nuri tahu, jika ternyata baktiku pada Ibu tidak bisa membuat Mas Hilman menjaga setianya padaku. Bagaimana respon yang diberikan olehnya jika sampai tahu?"Nuri pergi dulu ya, Bu. Besok Nuri datang lagi," pamit Mbak Nuri pada Ibu sembari mengecup punggung tangannya.Sementara Ibu hanya menganggukkan kepala sembari mengusap lembut puncak kepala Mbak Nuri. Hal yang selalu Ibu lakukan pada anak-anaknya walaupun mereka sudah dewasa, Ibu juga melakukan hal yang sama padaku, menantunya.Selama menikah dengan Mas Hilman, aku sangat dekat dengan Ibu. Beliau seorang single parent yang membesarkan Mas Hilma
Pagi ini, aku sudah sibuk berkutat di dapur membuatkan bubur untuk sarapan Ibu. Beliau sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin.Aku mengurus sendiri saat Ibu akan pulang ke rumah, sementara Mas Hilman entah ada di mana. Sejak aku meninggalkannya di kantin rumah sakit, aku sudah tidak melihat batang hidungnya lagi.Mungkin dia sedang berada di rumah Linda, maduku yang kaya raya itu. Aku tersenyum miris mengingat jika ternyata aku memiliki madu. Pernikahanku dengan Mas Hilman baru seumur jagung, tapi dia sudah menghadirkan madu untukku. Miris bukan?Siapa juga yang ingin memiliki madu, bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah membayangkannya. Tapi sekarang semua sudah terlanjur, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak akan pernah bisa mengembalikan semuanya seperti semula.Ah, bubur untuk Ibu sudah selesai aku masak, aku harus segera menghidangkannya. Sebentar lagi sudah waktunya Ibu meminum obat.Aku pun mengambil mangkuk dan mengisinya dengan bubur, lalu setelahnya aku juga men
"Maafkan anak Ibu, Ra. Maafkan anak Ibu. Dia sudah menyakiti wanita sebaik dirimu. Dia sudah membuatmu terluka seperti ini," ucap Ibu sembari membingkai wajahku dengan kedua tangan hangatnya.Aku terharu mendengar ucapan Ibu, sungguh inilah yang membuatku berat berpisah dari Mas Hilman. Memiliki mertua sebaik Ibu merupakan anugerah tersendiri buatku.Tanganku perlahan meraih tangan Ibu dan mendekapnya di dada, "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin ini memang sudah takdirku. Aku ikhlas menjalaninya.""Aku merasa sangat bersalah padamu, Ra. Aku telah gagal mendidik Hilman hingga dia tega menyakitimu seperti ini."Aku menggeleng, "Tidak, ini bukan salah Ibu. Keadaanlah yang salah, Bu. Gemerlap harta telah membutakan Mas Hilman. Jadi Ibu tidaklah salah sama sekali."Ibu kembali menangis tersedu, entah sudah berapa lama Ibu menangis. Sejak tadi Ibu tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Kami berdua terlalu larut dalam kesedihan."Ada apa ini, kenapa kalian menangis? Apa Ibu sakit lagi?" Mas Hilma
"Pergi! Pergi kamu, Man. Ibu tidak sudi melihat wajahmu lagi!" tangis Ibu mengusir Mas Hilman.Sementara Mas Hilman hanya menangis melihat kemarahan Ibu. Dia nampak sedih, raut wajahnya terlihat sendu. Mungkin kesedihan Mas Hilman juga karena fakta yang Ibu sampaikan padanya.Sejauh aku mengenal Mas Hilman, dia termasuk lelaki yang sangat berbakti kepada Ibunya. Mas Hilman juga sosok anak yang sangat dekat dengan sang Ibu. Dia juga tidak pernah melawan apapun yang Ibu katakan.Dapat aku bayangkan bagaimana perasaan Mas Hilman yang pasti menyesal telah menyakiti Ibu yang sangat disayanginya itu.Aku menghela nafas panjang, semua tidak berjalan sesuai dengan perkiraanku. Aku pikir jika aku jujur pada Ibu, aku akan dengan mudah berpisah dari Mas Hilman. Tapi semua malah menjadi rumit seperti ini. Ternyata aku malah membuka luka lama Ibu. Takdir memang terkadang mempermainkan kita seperti ini."Ra, tolong bujuk Ibu. Tolonglah aku, aku tidak bisa menerima kemarahan Ibu seperti ini," ratap
"Apa Ibu yakin ingin ikut denganku, Bu? Apa Ibu tidak mau berubah pikiran? Masih ada waktu jika Ibu ingin berubah pikiran." Aku memastikan kembali keputusan Ibu yang ingin ikut denganku. Aku tidak mau beliau akhirnya menyesal jika ternyata hanya hidup menderita bersamaku. Aku akan mulai hidup dari nol, tidak memiliki apa-apa untuk memberikan Ibu yang terbaik."Iya, Ra. Apalagi sekarang kesehatanku sudah semakin membaik. Aku pasti tidak akan menyusahkanmu lagi, Ra."Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Ibu, karena memang kesehatan Ibu sudah semakin membaik setelah lima hari berlalu sejak kejadian beliau mengusir Mas Hilman pergi.Sejak itu, Ibu tidak pernah mau bertemu dengan Mas Hilman. Beliau selalu menolak kedatangan Mas Hilman dengan mengurung diri di kamar bila Mas Hilman datang dan tidak menemuinya sama sekali.Aku pun tidak pernah memaksa Ibu untuk menemui putranya itu. Aku takut malah Ibu menjadi bersedih lagi jika aku memaksanya untuk bertemu dengan Mas Hilman."Apa Ibu tida
"Jadi kamu melamar perkerjaan di tempat kerja Mila, Ra?" tanya Ibu yang nampak sibuk melipat baju-baju dari para tetangga dan sudah selesai di cuci.Ah, kami sudah menemukan tempat tinggal yang masih layak dengan harga yang terjangkau. Dan tak terasa sudah hampir satu bulan aku dan Ibu pindah di tempat ini. Tempat yang menurutku tidak terlalu bagus dibandingkan dengan rumah Ibu, tapi mampu membuat hariku tenang, tanpa melihat wajah Mas Hilman lagi.Awal-awal kepergian kami, Mas Hilman selalu menelfon dan mengirim pesan padaku. Tapi aku tidak pernah menanggapinya sama sekali. Lalu dia tak henti-hentinya mengirim pesan dan menelfon di setiap waktu, sampai aku merasa terganggu. Hingga akhirnya aku pun mengganti nomer ponselku agar tidak semakin terganggu. Kini hanya Mbak Nuri saja yang memiliki nomer ponselku."Jadi, Bu," jawabku sembari menyetrika pakaian.Oh ya, untuk menyambung hidup, aku dan Ibu memutuskan untuk menerima jasa mencuci baju. Pekerjaan yang dianggap orang sepele, tapi t