Maduku Tak Tahu Aku Kaya
Part 5**
Dookk dookk dookk
Aku mengerjapkan kedua mataku ketika seseorang menggedor pintu kamarku dengan keras. Lepas maghrib sore kemarin, aku tak sekalipun keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi di luar sana. Seingatku, teman-teman Riska digiring oleh Pak Abdul dan temannya keluar dari rumahku. Entah sekarang mereka dibawa ke mana.
"Keluar!" Teriak Riska membuatku mengurungkan niatku untuk membuka pintu kamarku.
Segera aku memeriksa ponselku yang tergeletak diatas nakas. Melihat beberapa notifikasi muncul setelah aku mengaktifkan data selulernya. Ada pesan dari Ibu, Mak Nining, Zahra, dan sebuah nomor baru tertera di sana. Aku mengernyitkan dahi, siapa nomor baru yang menghubungiku ini.
Namun belum sempat aku membuka pesan itu, Mas Hafiz telah membuka pintu kamar dengan kunci cadangan yang ia bawa. Aku lantas mematikan ponselku dan menyembunyikan di bawah bantal, agar ia tak tahu apa yang telah aku perbuat selama ini. Ia masuk ke dalam kamar disertai wanita laknat itu di belakangnya.
"Ada apa? Pagi-pagi sudah buat keributan!" ucapku malas.
"Kamu yang melaporkan aku dan teman-temanku kepada Pak Abdul, kan?" ucapnya dengan kedua tangannya menyilang di dada.
Aku tersenyum miring, lalu bersandar pada ranjang kamar.
"Kenapa kamu sekarang berubah?"
Aku mengernyitkan dahi, "berubah? Apanya yang berubah?" tanyaku tak paham pada Mas Hafiz yang telah duduk di kursi meja riasku, sedang si jalang itu berselancar memeriksa setiap detail alat make-up baruku.
"Kamu sekarang membangkang, tidak pernah bersih-bersih, masak, mencuci baju, bahkan kini kamu juga telah berani berdandan menor,"
"Semua ini harus jadi milikku, kamu tidak pantas pakai make-up mahal seperti ini," cetus Riska dengan memasukkan semua make-up baruku ke dalam saku baju tidurnya.
"Ambil saja, aku bisa membeli yang lebih bagus dari itu," ejekku. Membuat Riska menatapku tajam dan melanjutkan memeriksa setiap sudut kamarku.
"Mas, jika kamu bisa berlaku seenakmu sendiri. Aku pun juga bisa,"
Kuambil ponsel lawasku di atas meja rias dan membuka aplikasi biru buatan Om Mark. Terlihat foto-foto mesra Mas Hafiz tengah memeluk dan mencium Riska tanpa tahu malu. Membuatku semakin geram dengan tingkahnya yang semakin menjadi-jadi.
"Lihat! Bahkan sekarang kelakuanmu lebih dari seekor binatang, kamu tidak malu, Mas? Memajang foto seperti ini di EfBe?" ucapku sembari menyodorkan layar ponselku ke arahnya.
Kedua matanya membulat melihat foto-foto mesra dirinya terpampang jelas di sana. Membuat beberapa relasi kerjanya mengomentari dengan sangat pedas. Aku hanya terkekeh kecil saat tangan kekar Mas Hafiz membuka satu persatu komentar dari relasi kerjanya itu.
"Sial!"
Mas Hafiz berdiri dan melemparkan ponsel lawasku ke atas ranjang. Membuat Riska yang tengah membuka satu persatu laci bajuku tersentak karena teriakan Mas Hafiz.
"Siapa yang berani mengunggah foto itu pada akunku."
Riska menghampirinya, lalu memeluk perut buncit Mas Hafiz. Membuatku ingin muntah karena sikap manja Riska yang tak tahu malu.
"Mas, aku kan istrimu juga. Sudah saatnya mereka tahu kalau sekarang kita sudah menikah, lagipula ini keinginan si jabang bayi dalam perutku," rengeknya.
Membuat Mas Hafiz luluh pada akhirnya. Bodoh sekali dirimu, Mas. Mau dipermalukan oleh pujaan hatimu sendiri.
Cuih!
"Huma ... Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu sekarang berubah jadi seperti ini? Dan juga, dari mana semua uang yang kamu gunakan untuk foya-foya ini?" cercanya kepadaku.
"Kamu tak perlu tahu, Mas. Nikmati saja peranmu sebagai suami dengan dua istri," jawabku santai lalu keluar meninggalkan mereka yang masih terheran dengan sikap beraniku.
Jika bukan karena Mak Nining, aku tak akan seberani ini. Karena aku tak punya pondasi untuk membalas semua perbuatan mereka kepadaku. Seketika itu juga aku teringat dengan Mak Nining yang telah berjasa penuh pada hidupku. Semoga Allah selalu melindunginya, Aamiin.
Sesampainya di ruang tengah, kepalaku hampir saja mau pecah ketika melihat ruang tamu yang sangat berantakan bak kapal pecah. Berbagai botol minuman beralkohol beraneka merk, kulit kacang berserakan, serta beberapa bungkus makanan ringan berserakan di lantai. Membuat kepalaku sangat pening melihatnya.
"Riskaaa!" Teriakku lantang dengan berkacak pinggang.
Riska dan Mas Hafiz menghampiriku yang berteriak dari ruang tamu. Dengan tak tahu malunya Riska menggelendot dilengan suamiku itu.
"Apaaa ...." jawabnya panjang dengan nada bicara manja. Membuatku semakin muak di buatnya.
"Lihat! Itu ulah siapa? Bersihkan!" Perintahku.
"Mas ... Aku kan sedang hamil, masa disuruh bersih-bersih. Dia saja, yaa," rengeknya manja.
Aku memutar bola mata malas lalu beranjak kembali ke dalam kamar. Karena aku lupa bahwa hari ini ada janji dengan Zahra untuk ke rumah Mbah Guno.
"Humaira! Bersihkan. Aku mau pergi ke kantor. Jangan membuat kepalaku semakin pening karena pertengkaran kalian yang tidak ada habisnya," perintah Mas Hafiz membuatku terhenti tepat di samping almari barang-barang antik miliknya.
"Mas, aku ikut, ya. Mau ke rumah Hanifa, aku bosan jika harus berdua di rumah sama dia." Tunjuk Riska ke arahku. Membuatku semakin geram dengan sikap manjanya itu.
Aku sengaja berdiri sedikit mendekat ke lemari itu dan berpura-pura tersandung hingga menggoyangkan lemari itu hingga isi di dalamnya bercecer keluar semua. Guci-guci mahal milik Mas Hafiz jatuh berantakan karena aksiku, membuatku tertawa puas dalam hati.
"Humairaaaa ... Apa yang kamu lakukan!" Teriak Mas Hafiz geram.
"Upzz, aku tidak sengaja, Mas. Maaf," ucapku sembari senyum-senyum sendiri dan berlalu ke dalam kamar.
Terlihat dari jendela kamar, Mas Hafiz pergi bersama Riska dengan wajah yang sangat marah. Aku sungguh tak perduli dengan kekonyolanku itu, bahkan aku bisa membeli dua kali lipat dari apa yang aku pecahkan tadi. Kuambil kantung hitam di bawah ranjangku, lalu membukanya dan mengambil segepok uang untuk aku bawa bertemu dengan Zahra. Bila kutaksir, mungkin uang yang Mak Nining berikan ini sekitar seratus juta, namun aku tak sedikitpun berniat memasukkan di bank karena takut Mas Hafiz akan tahu.
***
"Zahra, kamu di mana?" ucapku ketika aku tengah berada dalam taksi online setelah menyuruh Mbok Inem membersihkan rumahku dengan bayaran yang tak sedikit.
"Aku sedang mengikuti madumu,"
Kedua mataku membulat mendengar penuturannya. Bukankah tadi Riska pergi bersama Mas Hafiz? Kenapa Zahra sampai mengikutinya?
"Aku bertemu dengannya setelah suamimu menurunkannya disebuah perempatan jalan di ujung gang kompleksmu, kini aku tengah mengikutinya hingga ke jalan utama. Dan rasanya aku kenal dengan arah jalan ini," lanjutnya lagi tanpa memberiku kesempatan untuk menimpali omongannya.
"Ke mana?" tanyaku penasaran.
"Ini ... Ini seperti jalan ke rumah Mbah Guno,"
Dadaku seakan berhenti berdetak ketika mendengar Zahra mengucapkan hal itu. Jika benar Riska ke rumah Mbah Guno, sudah bisa dipastikan bahwa Mas Hafiz telah habis diguna-guna olehnya.
Part 9"Sah ...."Suara seluruh orang yang menghadiri acara pernikahanku menggema dalam masjid kecil yang menjadi tempatku mengikat janji sehidup semati dengan Arfan. Seorang lelaki yang bisa menarikku dari kubangan air hitam yang kian menarikku ke dasarnya.Kucium punggung tangan lelaki yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suamiku. Kemudian, ia mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningku. Hatiku berdesir, mengingat bahwa sosok lelaki yang dulu pernah kukagumi ini hari ini menjadi suamiku.Ucapan demi ucapan selamat kudapatkan dari beberapa anggota keluarga yang hadir saat pernikahan kami. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini ketika Arfan meminangku dengan surah Ar-Rahman sebagai maharnya. Begitu banyak gadis yang menatapku iri karena aku bisa bersanding dengan jejaka pandai, alim dan berwibawa yang selalu mereka gandrungi. Apalagi statusku yang hanya sebagai seorang janda.***"Terimakasih, ya. Kamu sudah
Part 8Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empuk di dalam kamar, rasanya tubuhku ringan tak berdaya. Semua sendi-sendiku bagaikan lepas tak berfungsi, ketika aku harus berusaha menerima kenyataan bahwa dua kedaiku mulai mengalami kebangkrutan. Untuk bulan ini pun Anisa tidak tahu harus membayar semua karyawan dengan apa, karena pemasukan lebih sedikit dibandingkan pengeluaran.Kubenamkan kepalaku di atas bantal, lalu berteriak sekencang-kencangnya agar semua rasa dalam hatiku sedikit berkurang. Aku rasa, Tuhan begitu tidak adil kepadaku. Begitu banyak ujian yang Dia berikan, hingga tak jarang membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.Mas Hafidz pergi, dan usahaku bangkrut. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Ini semua tidak adil bagiku, Tuhan begitu jahat."Aarrgghh ...." teriakku kencang dengan melempar kaca riasku dengan ponsel yang tergeletak di samping bantal, hingga menimbulkan sebuah suara pecahan yang sangat nyar
Part 7Hatiku bimbang, ketika beberapa hari yang lalu Bu Santika dan Kak Hany mengabari kalau Mas Hafidz pergi. Ya, pergi ... Dan kami semua tidak tahu kemana.Kutatap foto kami berdua di layar ponselku nanar, senyum mengembang dengan indah di setiap sudut bibir kami masing-masing. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku harus kehilangannya lagi. Entah, kemana ia pergi sekarang, dan karena apa ia pergi. Aku pun tak pernah tau alasannya.Nomor teleponnya pun sama sekali tak bisa kuhubungi. Semua teman kerjanya juga tidak tahu dimana keberadaannya. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Hafidz hilang bak ditelan bumi.Kusandarkan tubuhku di atas kursi teras, satu jam sudah aku duduk termenung disini. Menatap dengan indahnya warna jingga yang terpancar di ufuk barat. Namun tidak dengan hatiku yang kini tengah hampa, dan kembali kosong."Nduk," ucap Ibu mengagetkanku.Aku tersentak, lalu menoleh kearahnya. Kulihat Ibu pun ikut sedih dengan
Part 6Pov HafizSinar mentari semakin meninggi, ketika sudah kuputuskan untuk pergi menjauh dari Humaira. Wanita yang dulu adalah istriku yang kusia-siakan demi wanita lain, dan kini telah memantapkan hatinya untuk rujuk kembali denganku.Bukan karena aku tak cinta, ataupun aku terlalu menggantung perasaannya. Namun, aku rasa akan ada seseorang yang akan lebih bisa membahagiakannya dibanding diriku. Kini aku bangkrut, dan hanya bekerja sebagai cleaning service. Itu semua juga karena ulahku sendiri, terlalu memanjakan gundik dan ibu kandungku sehingga sekarang semua hartaku telah habis.Kuhembuskan nafas perlahan, menatap nanar pada kedai Huma yang ramai pengunjung itu. Dari kejauhan kulihat Ibuku, yang dulu adalah wanita yang menginginkan perpisahanku dengan Huma kini malah bekerja padanya. Juga Kak Hany, yang sekarang sudah benar-benar berubah dan ikut serta mencari uang di kedai Huma.Entah terbuat dari apa hatinya, hingga mampu memaafkanku,
Part 5Nafasku terengah-engah ketika kulihat Arfan berdiri di belakang kerumunan orang-orang yang sedang melihatku berkelahi dengan Riska. Ia tetap dengan tatapannya yang teduh, tak sedikitpun terlihat sorot amarah di dalam manik matanya.Ia datang bak seorang pujangga yang menyejukkan siapapun yang mendengar suaranya. Bahkan Riska pun berhenti berteriak ketika mendengar suara lembutnya. Aku yakin dia pasti juga sangat terkagum dengan sosok Arfan.Kulepaskan cengkeraman tanganku dari tubuh Riska, lalu beranjak berdiri dan menjauhinya. Sedang kulihat Mas Hafiz juga masih sama tercengangnya dengan Riska."A-arfan," ucapku lirih.Terlihat dari ekor mataku Mas Hafiz beralih menatapku, lalu mendekat kearahku. Sedang aku memilih merapikan baju gamis yang sedikit sobek akibat ulah Riska."Hentikan. Tidak baik berkelahi di depan umum, malu dilihat orang. Selain itu memang tidak ada manfaatnya jika harus berkelahi." Arfan menasehati kami dengan
Season 2Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4Suara deru mobilku memecah keheningan di antara aku dan Mas Hafiz yang tengah bersama menuju rumahnya untuk mengunjungi Bu Santika yang belum juga sembuh. Kami bertemu setelah jam kerja Mas Hafiz selesai dengan menjemputnya di tempatnya bekerja.Kutatap awan yang seolah bergerak mengikutiku dan Mas Hafiz, seakan tak rela jika saat ini aku tengah berduaan dengan mantan suamiku ini. Mas Hafiz menekan tombol audio, lalu memutar sebuah lagu yang tak asing di telingaku.Tersadar didalam sepikuSetelah jauh melangkahCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi kesempatan ituTak akan terulang lagiSemua kesalahankuYang pernah menyakitimuTanpamu tiada berartiTak mampu lagi berdiriCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi