Laela yang mendengar suara perempuan dari halaman sedikit berlari mendekati Pak Bagiyo yang tengah berdiri di ambang pintu. "Siapa ... P-- pak?" Suaranya tercekat ketika melihat seorang wanita dengan pakaian modis sambil menenteng tas mahal sedang berdiri di samping mobil mewah."Hai, La," sapa Amira sambil tersenyum sinis. "Semua orang disini belum tau kalau kamu hamil?"Baru redam kasak-kusuk para tetangga, kini kembali riuh ketika seorang wanita asing yang tiba-tiba datang dan mengatakan tentang kehamilan Laela. "B-- bicara apa kamu? Pergi dari rumahku!" usir Laela seraya berteriak. "Aku bahkan gak kenal kamu siapa ....""Oh ya?" sahut Amira begitu tenang. "Yakin kamu gak tau siapa aku? Yakin, kalau kamu gak kenal siapa Bara Hermawan?"Pak Bagiyo menoleh dan menatap tajam putrinya yang saat ini sedang gemetaran hebat. Wajah Laela menegang. Bibirnya ingin menyahut semua perkataan Amira, namun keberani
"Mbak Kanaya?"Suara Kang Dadang yang memanggil dari halaman rumah membuat Akbar dan Emak terperanjat. Tiba-tiba saja percakapan mereka yang sejak tadi menyanjung Dilsah terhenti. Bahkan Emak Lamba berjalan keluar dan ... benar saja, ada sosok perempuan dengan wajah berantakan tengah terduduk di halaman sambil meremas baju yang melekat di dadanya. "Ada apa, Dang?" Emak bertanya, "Kamu yang bawa dia kesini?"Kang Dadang menggeleng. "Sejak pulang dari sawah tadi aku lihat dia sedang berdiri di depan rumah Emak. Tiba-tiba menangis sambil terduduk di tanah, aku panggil dia, Mak, tapi gak ada respon," papar Kang Dadang bingung. Emak beralih fokus pada tubuh Kanaya yang masih terlihat bergetar. Matanya menutup rapat dan tangisannya pun masih berlanjut. Namun aneh, Kanaya seakan tidak mendengar percakapan orang-orang di dekatnya."Coba didekati, Mak. Takutnya nanti ada omongan tidak enak, apalagi dia menangis di depan rumah Emak," saran Kang Dadang iba. "Emak gak usir dia kan tadi?""Emak
Kanaya pulang sambil mengendarai motornya yang sengaja diparkir di depan halaman rumah Akbar. Diusapnya air mata dengan kasar dan sekali lagi dia menoleh ke belakang sambil menyumpah. "Kamu gak akan bahagia, Kang!" Sepanjang perjalanan hati Kanaya dipenuhi dengan kebencian yang semakin menjadi-jadi untuk Dilsah. Sejak duduk di bangku sekolah, dia dan Dilsah adalah rival. Bahkan tak jarang Kanaya menjadi sasaran kemarahan Bu Tarjo karena nilai-nilainya jauh lebih rendah dibanding Dilsah yang mereka anggap tidak pantas menempuh jalur pendidikan.Masih teringat jelas bagaimana dulu Kanaya sering menghina Dilsah yang kerap membawa dagangan ke sekolah demi membantu Sang Ibu. "Kalau gak mampu bayar sekolah, mending jualan aja, Sah. Malu-maluin tau kalau ke sekolah bawa dagangan," cibir Kanaya sinis. "Lagian anak orang miskin mah di rumah aja, itung-itung nunggu jodoh ... itupun kalau ada yang mau. Ha ... ha ... ha ...." Kanaya tertawa lebar bersama teman-teman gengnya sementara Dilsah han
***"Pembicaraan kita sepertinya cukup ya, La," kata Amira mengalihkan pandangan Pak Bagiyo dan Bu Tarjo pada sosok Kanaya yang bertingkah aneh. "Kamu dan Mas Bara boleh menikah, asal aku dia ceraikan lebih dulu."Bara menggeleng cepat. Air muka pria itu berubah panik ketika Amira menginginkan perceraian dengannya."Ra, jangan memutuskan segala sesuatu secara sepihak, Mas gak akan menceraikan kamu. Titik!""Mas pikir, berselingkuh dan menghamili wanita lain bukan keputusan yang sepihak?" tanya Amira begitu tenang. "Ada kamu berdiskusi sama aku kalau berbuat serong?" Sudut bibir Amira terangkat. Hatinya perih, namun pantang baginya menunjukkan kehancuran yang ia terima."Ra, Mas khilaf ....""Enak saja bilang khilaf!" sentak Laela sengit. "Setelah lama bermain-main denganku dan menitipkan benih, Mas bilang itu cuma khilaf? Ringan sekali mulutmu, Mas Bara!"Pak Bagiyo mengusap wajahnya kasar. Belum usai masalah Kanaya, kini dia dihadapkan dengan permasalahan Laela yang cukup pelik."Lag
"Bu Tarjo, gak ikut bantu-bantu di rumah Bu Mela?" tanya Bu Ramli sengaja. "Besok Dilsah menikah, sebagai tetangga yang rumahnya paling dekat, bisa lah kita bantu-bantu disana."Bu Tarjo melengos. Pagi ini dia kurang bersemangat karena Laela yang ketahuan hamil bersama pria yang tidak punya apa-apa. Kecewa. Apalagi ketika tahu bahwa Bara hanyalah sebatang kara yang tidak berharta."Kalau mau bantu-bantu di rumah Mila, ya sana! Gak perlu ajak-ajak!" sahut Bu Tarjo ketus. "Lagian apa sih yang mau dibantu, pernikahan juga sederhana gak pakai tenda, mau bantu-bantu apa disana? Sudah baik Kanaya menolak Akbar, kalau gak ... duh, kasihan sekali menikah cuma di depan penghulu. Amit-amit!"Bu Ramli menarik ujung bibirnya sinis. "Yang penting itu halalnya lebih dulu, Bu. Percuma gelar pesta pernikahan mewah, eh gak taunya mempelai wanita udah bunting duluan. Meskipun mahar yang dikeluarkan gede, tapi tetap saja harga diri murah," sindir Bu Ramli. Lagi-lagi tetangga samping rumah Dilsah itu sen
"Sekali lagi kamu datangi rumah Dilsah, Mamak patahkan kakimu!" ancam Bu Tarjo sarkas. Pak Bagiyo yang baru bangun tidur melangkah mendekati keributan yang terjadi di rumahnya. Sejak beberapa hari terakhir, keluarganya memang sedang dirundung banyak masalah. Jadi tak heran jika suara Bu Tarjo yang memekak telinga sudah terdengar pagi ini. "Kenapa lagi?" tanya Pak Bagiyo malas. Dia duduk di salah satu kursi dan menaikkan dua kakinya ke atas meja. "Bikin masalah dia di rumah Dilsah?" Bu Tarjo menyentak napas kasar. "Bisa gila aku lama-lama lihat kelakuan mereka berdua. Sudah dewasa, tapi dua-duanya bodoh!"Pak Bagiyo memutar bola matanya malas. Sudah hal biasa baginya mendengar Sang Istri yang menggerutu dan menghardik putri-putrinya sedemikian kasar. Pria paruh baya itu tidak peduli. Asal ada yang bisa dimakan hari ini.Matanya tiba-tiba menangkap sosok Laela yang berdiri seraya bersedekap dada. "Gak kerja kamu, La?" Suara Pak Bagiyo terdengar sangat tegas. "Jangan malas-malasan ha
"Pak, buka mata!" pekik Dilsah. Untuk pertama kalinya Akbar melihat istrinya itu berteriak dan sangat panik. Wajahnya menegang, bulir-bulir bening mengalir deras dari kedua matanya yang indah. "Gak, Pak! Bapak gak bisa seperti ini, aku ... aku baru saja menikah, tega sekali Bapak pergi secepat ini." Dilsah berbicara terbata-bata. Dadanya sesak melihat cinta pertamanya pergi di hari yang seharusnya adalah hari bahagia untuk mereka. "Innalilahi wa innailaihi raji'un." Kalimat istirja mengalun rendah dari bibir semua tamu. Banyak dari mereka yang meneteskan air mata melihat betapa pilu tangisan Dilsah dan Bu Mila."Dek, tenang!" bisik Akbar lembut. "Hei, tenang!"Dilsah menoleh. Riasannya yang berantakan tidak lantas membuat wajahnya terlihat buruk. Wanita yang baru saja sah menjadi istri Akbar itu menangis sesenggukan dalam pelukan Sang Suami. Dilsah mencengkeram erat punggung Akbar untuk melampiaskan sesak di dalam dada yang semakin me
"Antar Bapak ke rumah Bara," kata Pak Bagiyo memecah keheningan. Laela mendongak lemah. Rumah Bara? Rumah yang mana yang Pak Bagiyo maksud?"Rumah yang mana, Pak?" tanya Laela. Suaranya bergetar. "Bapak lupa kalau Mas Bara gak punya rumah?"Pak Bagiyo menyentak napas kasar. Refleks, tangannya yang kekar menggebrak meja hingga kacanya terpecah berserakan. Bu Tarjo dan Laela memejamkan mata erat. Kemarahan pria paruh baya itu tidak pernah main-main."Bodoh!" hardik Pak Bagiyo entah untuk yang keberapa kalinya. "Kenapa kamu bodoh sekali, Laela!"Laela sesenggukan. Di atas lantai, dia menangis meluapkan rasa kecewanya karena gagal menikah esok hari. Kemarin lusa, Bara masih bisa dihubungi bahkan semua persiapan pernikahan dari mulai tenda dan back drop sederhana sudah terpasang indah di ruang tamu. Bagaimana jadinya jika esok calon suaminya tidak datang?"Motor dibawa, uang lima