Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya
"Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke
"Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka
"Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu
Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.
"Cuma sepuluh juta?" Kedua mata Bu Tarjo membulat lebar. "Kenapa cuma sepulu juta, Bar? Naya ini perawan, Akbar, apa pantas kamu beri mahar segitu?"Akbar menunduk dalam. Pagi ini dia datang ke rumah Kanaya-- Sang Kekasih untuk merundingkan besaran mahar yang akan dia berikan nanti."Kalau di kampung kita bukannya mahar segitu sudah besar ya, Bu Tar?" Emak Lamba menimpali. "Akbar sudah punya rumah yang bisa ditempati setelah menikah, jadi Bu Tar gak perlu khawatir ....""Ya jelas aku ini khawatir, Mak Lam, bagaimana bisa aku melepaskan Naya hanya dengan uang sepuluh juta?" kata Bu Tarjo dengan suara lantang. "Urusan rumah ya memang urusan Akbar selaku calon suami, tapi kalau mahar, itu urusannya sama kami, Naya dan keluarganya. Jaman sekarang, uang sepuluh juta dapat apa?!"Kanaya menatap kesal ke arah Akbar. "Aku kan sudah bilang, Kang, setidaknya minimal beri aku lima puluh juta sebagai mahar. Kenapa Akang malah bilang sepuluh juta ke Mamak?" ucap Naya sambil melengos geram. "Pasti
"Jangan cengeng, Nay! Tenang saja, aku yang akan mencarikan calon suami buat kamu," celetuk Laela pongah. Akbar yang menangkap dengar hanya bisa tersenyum sinis mendengar penuturan Laela yang terkesan menyombongkan diri. Bukankah dia saja belum menemukan jodohnya, lantas kenapa sibuk mencarikan pria untuk Kanaya? "Buat aku? Mbak Laela gak mendadak lupa kan kalau Mbak itu masih lajang?" suara Kanaya terdengar bergetar. "Mbak bahkan sudah menyandang gelar perawan tua dari para tetangga, lalu Mbak sok-sokan mau mencarikan calon suami buatku?""Kanaya!" bentak Bu Tarjo lantang. "Jaga mulutmu!"Kanaya melengos. Dia berlari masuk ke dalam kamar sementara Akbar sudah berhasil membantu Emak Lamba duduk di atas motor dan perlahan mereka mulai menjauhi pekarangan rumah Bu Tarjo. "Gak tau diri banget! Sudah dibantu malah ngatain," gerutu Laela dengan wajah memanas. "Dia pikir aku gak bisa cari calon suami? Lajang itu pilihan!" imbuhnya masih dengan sisa kekesalan pada Kanaya."Jangan cuma ngom
Menjelang sore, Akbar pulang ke rumah sambil menenteng sawi yang dia ambil dari perkebunan di sebelah sawah miliknya. Kebun yang berukuran luas itu sengaja dia tanami sawi, jagung dan sayuran yang bermacam-macam. Satu-satunya kebun paling lebar peninggalan Bapak Akbar yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh Emak Lamba dan putranya itu."Ambil sawi lagi?" tanya Emak ketika baru saja membuka pintu. "Yang kemarin masih ada, Nak, berikan Pak Ustad Jefri saja!"Akbar mengangguk tanpa membantah. Selama ini, dia sering mengambil sayuran di perkebunan untuk dimasak sehari-hari dan lainnya memang untuk dijual ketika masa panen nanti."Emak sudah masak, makan lah!" pinta Emak Lamba. "Pak Jefri ada?" Akbar mengangguk. "Emak sudah tau ini sebelumnya, iya kan?"Emak duduk di salah satu kursi yang terletak rapi di teras. "Ustad Jefri tadi kesini, beliau bilang mau mengenalkan kamu sama anak dari almarhum temannya. Emak gak bisa memutuskan, Ustad bilang mau bicara sendiri sama kamu. Jadi, baga