Share

49: Kesempatan. Lagi

Penulis: Ana_miauw
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-10 10:21:09
Hari itu takdir berpihak padaku, atau setidaknya memberikan sedikit jeda dari neraka. Axel sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, dan Claudia—yang membenci kesepian dan membenci berada di Mansion tanpa sorotan—pergi berbelanja dan menghadiri janji salon yang memakan waktu seharian penuh.

Jadi hanya ada Alexander Jr. di rumah, bersama nanny-nya, Wina.

Aku sedang membersihkan bunga-bunga dan guci di meja ruangan itu, ketika aku melihat Wina tampak frustrasi. Alexander Jr. adalah anak yang selektif dalam makan. Piringnya yang penuh protein dan sayuran sehat nyaris tak tersentuh.

Wina menghela napas panjang. “Please, Tuan Kecil. Habiskan sayur ini. Nyonya Claudia akan marah jika kamu tidak makan dengan baik.”

Alexander Jr. menggeleng. “Tidak enak. Aku mau roti saja.”

“Roti saja tidak sehat, Tuan Kecil. Kamu harus makan ini supaya tubuhmu seimbang,” bujuk Wina lagi dengan cemas. Kekejaman Claudia tidak hanya berlaku untuk pelayan; dia juga mengontrol pola makan Alexand
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Mainan Baru Tuan Montevista    73: Di mana Daddy?

    Waktu seolah membeku di dalam vila ini. Keheningan yang ditawarkan tempat pengungsian mewah ini justru membuatku gelisah. Aku terus memperhatikan jam dinding, menunggu instruksi, menunggu deru mesin mobil yang menjemputku kembali ke penjara emas di kota, atau setidaknya satu panggilan telepon dari pria arogan itu.Namun, tidak ada. Para pengawal yang berdiri tegap di luar pintu seolah berubah menjadi patung. Aku bingung sampai di mana batas pertemuan kami hari ini. Apakah Axel memberiku waktu hanya beberapa jam? Ataukah aku harus segera pulang sebelum matahari terbenam?Karena tak tahan dengan ketidakpastian ini, aku memutuskan keluar untuk menanyakan kepastian nasibku.“Apa aku harus kembali ke mansion sekarang?” tanyaku pada salah satu pengawal yang tampak paling senior.Anehnya, dia hanya membungkuk sopan. “Terserah Anda, Nyonya. Kami diperintahkan untuk mengikuti keinginan Anda.”Aku tertegun. “Jadi apakah boleh jika aku tidur di sini malam ini bersama putriku?”“Tentu saja,

  • Mainan Baru Tuan Montevista    72: Kebersamaan Dengan Gadis Kecilku

    Pertemuan dengan Ellys adalah penawar dahaga yang luar biasa. Kami menghabiskan waktu di atas karpet bulu, menyusun balok-balok Lego menjadi menara tinggi yang kemudian diruntuhkan oleh tawa renyah putri kecilku ini. Untuk beberapa saat, aku lupa bahwa aku adalah tawanan Axel. Aku lupa pada rasa sakit di hatiku.Namun, bayangan Nenek yang sejak tadi hanya memperhatikanku dari ambang pintu tanpa suara, membuat kegembiraanku perlahan menyusut. Aku tahu, inilah waktunya. Aku tidak bisa terus bersembunyi di balik tawa Ellys.Aku meminta pengasuh untuk menemani Ellys bermain di taman belakang, lalu aku melangkah mendekati Nenek yang kini duduk di kursi rotan menghadap jendela. Aku mengira beliau akan memaki, atau setidaknya menuntut penjelasan mengapa aku kembali pada pria yang telah membuangku. Namun, aku salah sangka. Beliau justru lebih banyak diam dengan tatapan yang keruh.“Nek?” panggilku lirih.Beliau tidak menoleh.“Nek?” sekali lagi aku memanggil. Hingga aku merasa aku tak bu

  • Mainan Baru Tuan Montevista    71: Bayi Kecilku

    Pagi itu, kepalaku terasa berat. Efek wiski semalam masih menyisakan denyut di pelipis, namun kerinduan pada Ellys jauh lebih menyakitkan daripada rasa pening ini. Aku terbangun di sofa ruang kerja Axel, menyadari bahwa pria itu sudah tidak ada di sana.Aku bangkit dengan terhuyung, merapikan baju atasanku yang terlihat berantakan. Mataku menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok jangkung yang semalam menginterogasiku dengan kejam. Namun, kosong.Aku keluar dari ruangan itu, menyusuri koridor dengan langkah terburu-buru. Aku mencari ke ruang makan, ke taman belakang, bahkan memberanikan diri mengetuk pintu kamar pribadinya. Nihil. Axel Montevista menghilang.“Di mana Tuan kalian?” tanyaku pada pelayan yang berpapasan denganku di lorong.“Maaf, Nyonya, kami tidak tahu. Tuan sudah pergi sejak subuh,” jawab pelayan itu sambil menunduk dalam.Rasa sesak mulai menghimpit dadaku. Dia berbohong. Pikiran itu langsung menyergapku. Bukankah semalam dia berjanji? Bukankah dia bilang jika ak

  • Mainan Baru Tuan Montevista    70: Memanfaatkan Ketidakpercayaannya

    Lampu di ruang kerjaku sudah temaram. Hanya menyisakan bayangan yang menari-nari di dinding mahoni. Di hadapanku, sudah ada Keisha yang baru saja masuk, meminta waktuku sejenak untuk bicara. Kini Aku menunggu dia mengatakannya, sudah paham kedatangannya, meski aku paham, maksud dan tujuannya itu yang tak lain adalah memintaku untuk melepaskan Ellys. Tidak, Keisha. Urusanku belum selesai sebelum tes DNA yang sedang diproses itu keluar hasilnya, dan benar-benar pasti menyatakan bahwa dia memang anakku. Tenang, Keisha. Aku tidak akan melukainya, aku menghargai kesabaranmu. “Kau sembunyikan di mana mereka, Axel? Aku tidak bisa tidur, aku terus memikirkan Ellys. Aku sangat merindukan Ellys. Tolong, biarkan aku mendengarnya sekarang,” rintihnya. Aku terdiam cukup lama, memandangi wajahnya yang kini bersih dari segala penyamaran. Ada sesuatu yang berdenyut menyakitkan di dadaku saat melihat air matanya terus mengalir tanpa henti. Egoku, yang selama tiga tahun ini kubangun setinggi gun

  • Mainan Baru Tuan Montevista    69: Penyelidikan Kembali Dibuka

    Aku segera kembali ke ruang kerja setelah itu. Aku meraih ponsel satelitku, menekan deretan angka yang hanya kuhubungi untuk urusan hidup dan mati.“Rendy, cari aku detektif swasta terbaik. Aku tidak mau yang bernaung di bawah firma hukum biasa. Aku mau seseorang yang bisa menggali kuburan yang sudah tertutup rapat selama tiga tahun. Bayar berapa pun yang dia minta. Aku mau dia di hadapanku malam ini juga.”Suaraku tidak menerima bantahan. Rendy, asisten pribadiku yang paling cekatan, hanya menjawab singkat, “Baik, Tuan. Saya akan segera mengaturnya.”Setelah menutup telepon, aku menyandarkan tubuhku di kursi kebesaran yang kini terasa sangat keras dan tidak nyaman. Mataku tertuju pada bingkai foto kecil di sudut meja—foto Alexander Jr. Saat bayi.Aku juga masih ingat waktu itu, malam di mana aku memberikan surat cerai pada Keisha. Aku ingat wajahnya yang hancur serta permohonannya, mengemis padaku untuk melihat Alexander untuk yang terakhir kalinya, namun tidak kukabulkan.Dia pergi

  • Mainan Baru Tuan Montevista    68: Aku Bukan J*Lang!

    Langkah kakiku menggema di koridor mansion yang tenang dan sunyi, tak seberisik kecamuk di dalam kepalaku. Perjalanan pulang dari vila itu terasa seperti perjalanan menuju penghakiman. Kata-kata Nenek Ria terus berputar, menghantam logikaku yang selama ini kubangun di atas pondasi kebencian dan kecurigaan.Aku membuka pintu kamar utama. Aku mengharapkan teriakan, kemarahan, atau setidaknya tatapan benci yang menusuk setelah aku menemui Ellys tanpa sepengetahuannya. Namun, yang kudapati justru pemandangan yang lebih menyakitkan.Keisha berdiri mematung di depan jendela besar kamar itu. Sinar matahari sore menyirami baju yang dipakainya, namun dia tampak seperti patung lilin yang dingin. Menatap ke arah taman dengan pandangannya kosong.“Keisha,” panggilku rendah.Tak ada jawaban. Jangankan menjawab panggilanku, menoleh pun dia enggan. Seolah kehadiranku di ruangan itu hanyalah hembusan angin yang tak berarti. Pengabaian ini lebih menyiksa daripada makiannya.“Keisha!” Lagi, namu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status