Eros POV
Pria bernama Bambang menghentikan langkahku. Aku baru pindah ke apartemen ini tadi malam dan belum mengetahui siapa saja tetanggaku. Badanku sangat lelah dan aku juga mengantuk karena baru pulang kerja dan tidak menyangka melihat wanita aneh yang keluar dari apartemennya dengan ketakutan berlebih.
Sungguh aku tidak ingin berbicara dengan mereka apalagi wanita histeris yang aneh itu, mengatakan bahwa aku adalah hantu. Mungkinkah dia memiliki gangguan psikologis? Tidak menyangka kalau aku memiliki tentang-tetangga yang cukup aneh. Wanita itu masih beringsut di belakang pria dengan perawakan tinggi serta otot-ototnya sangat kekar dan tidak lupa kepalanya juga botak, penampilan benar-benar mencerminkan seorang bodyguard di mataku.
Kuperhatikan lagi arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bahkan belum mandi apalagi sarapan dan saat ini perutku sudah lapar. Mengelih pada dua orang aneh di depanku aku bertanya, "Jika ada masalah katakan saja, aku harus segera pulang dan memberi makan kucingku."
Aku tidak sedang membuat-buat alasan, memang benar selain perutku yang lapar, Cici saat ini pasti sedang lapar. Cici—kucing betina yang aku temukan di jalan beberapa bulan yang lalu sekarang menjadi kucing peliharaanku. Ah, sudahlah kembali ke topik yang mana dua orang aneh ini masih mencegatku.
"Kamu masih takut Kanya? Dia bukan hantu, kalau tidak percaya coba saja sentuh."
Bukannya menjawabku, pria itu malah berbicara dengan wanita aneh di belakangnya. Bambang meraih tangan wanita itu dan dengan takut-takut tangannya mulai digerakkan oleh Bambang. Pandanganku mengikuti arah dari tangan keduanya dan tidak kusangka tangan wanita itu diletakkan pada tanganku. Spontan aku menampik tangan putih itu dengan cukup keras.
"Akh!"
Benar saja dia merasa kesakitan pada tangannya. Aku tidak sadar telah menggunakan tenagaku dan hal yang lebih buruk ialah dia seorang wanita, aku melupakan hal itu. Dari sudut pandangku wanita bernama Kanya cukup cantik, alisnya cukup tebal dan dia memiliki bibir merah alami. Namun, tetap saja dia bukanlah tipeku.
Aku mengernyitkan dahi ketika melihat tanganku lantaran tidak senang dengan sentuhan dari tangannya. Tangannya memang halus dan tidak ada yang salah dengan itu. Aku hanya tidak senang jika disentuh dengan seenaknya.
"Bukan hantu." Gumamnya menatap lekat ke arahku. Jarak kami semakin dekat ketika Bambang menarik wanita itu guna menyentuh tanganku.
Melihat pada mata hitam itu, kami saling menatap selama beberapa detik dan selama itu pula aku merasa tidak asing dengan matanya. Entah di mana aku pernah melihat kedalam mata yang bagaikan langit malam tanpa hiasan gemerlap bintang.
Perlahan dadaku mulai terasa sesak karena semakin lama mata itu membuat udara dalam paru-paru semakin menyempit. Aneh! Sungguh aneh.
Aku segera menyadarkan diriku dan mengalihkan pandangan ke arah Bambang. Sedang wanita itu dengan bodohnya menatap wajahku.
"Jadi kalian hanya ingin memastikan apakah aku hantu atau bukan?" menghela napas kecil, aku ingin tertawa menyaksikan tingkah aneh mereka. Darimana datangnya pemikiran konyal itu? Mana ada hantu setampan diriku? Mata wanita ini sepertinya sudah agak minus, dia harus membeli kacamata untuk dirinya. Sungguh kasihan karena tidak bisa melihat pria setampan diriku. Aku menggeleng miris. "Sudah jelas bahwa aku bukan hantu. Jadi aku akan pulang sekarang."
Mulai melangkahkan kakiku, akan tetapi berhenti lagi karena badan besar Bambang menghalangi jalanku. Sejenak aku menggaruk dahiku yang tidak gatal. Haruskah aku bersabar menghadapi orang-orang aneh ini untuk berapa lama lagi? Sekali kali aku melirik pada arlojiku sudah menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit. Benar-benar tetangga yang tidak pengertian.
"Ngomong-ngomong apakah kamu orang baru di sini?" setelah memindaiku dengan mata besarnya, Bambang bertanya.
"Iya, aku pindah tadi malam." Praktis saja, aku menjawab apa yang ditanyakannya tanpa perlu bertanya balik karena pertanyaan barusan telah dengan sengaja mereka abaikan. Aku tidak suka akan hal itu. Tatapanku berubah malas dan ekspresi datar terpampang di wajahku. Aku mulai bosan dengan perbincangan ini.
Wanita dengan bibir merah itu masih menatapku dengan intens. Tatapan itu membuatku amat risi. Saat ini sorot matanya mengamatiku dari atas hingga bawah. Dia belum percaya kalau aku adalah manusia. Sebenarnya darimana pemikiran aneh di kepalanya muncul?
"Pindah? Orang baru?" wanita itu membuka mulutnya nanap.
"Dia tetangga kita yang baru!"
"Tetangga? Hantu?" mengernyitkan dahi tidak percaya. Wanita dengan bibir merah itu mulutnya semakin menganga.
Hah, sampai kapan obrolan membosankan ini akan berakhir? Jika mereka bukan tetanggaku, pastinya sudah aku lempar mereka dari atap gedung.
"Aku manusia! Berhentilah berharap kalau aku hantu. Kakiku masih menyentuh lantai."
Spontan wanita itu menoleh ke bawah dan mendapati kakiku menginjak lantai. Apakah dia idiot atau semacamnya?
"Karena kamu tetangga baru kami, silahkan perkenalkan dirimu. Oh, iya, saya Bambang penghuni 304." Bambang mengulurkan tangannya.
Dia mengulurkan tangan agar aku menjabatnya? Orang ini baru saja bangun, dia bahkan tidak mencuci muka sebelum keluar apalagi mencuci tangan. Tanganku tidak dapat digerakkan, karena aku sendiri tidak memiliki keinginan untuk menjabat tangan pria berwajah sangar di hadapanku. Berapa banyak jumlah kuman yang menempel pada tangannya?
"Aku, Eros Darwin." Ucapku sembari melangkah menuju apartemen nomor 303. Sialnya wanita itu tinggal di apartemen nomor 302 dan sangat dekat dengan apartemenku. Semoga saja dia tidak menganggu.
Kulirik dari ekor mataku, tangan Bambang masih di udara dan dia menatap tajam ke arahku. Hidung datarnya berkedut saat tatapan tajamnya terus mengikuti langkahku.
"Dasar orang baru tidak sopan, kalau orang tua mengulurkan tangan, maka jabat tangannya."
Aku tertegun sejenak mendengar ucapan lantangnya memekakan telinga, ingin sekali aku menutup telingaku. Kepalaku hampir pening oleh kedua orang aneh itu.
"Muka saya sangar tapi saya berhati malaikat."
Baru saja aku akan membuka pintu, namun ucapannya saat ini malah membuat perutku terasa mual. Ya, muka sangar dengan hati malaikat. Aku percaya, aku percaya. Bukannya aku sengaja menghindar berjabat tangan dengannya, aku tahu hal itu tidaklah sopan, tapi dia tidak mencuci tangannya dan aku pun terlalu malas ketika tanganku bersentuhan dengan orang lain.
Aku mendengar suara tepuk tangan. "Bagus, Pak Bambang, kasih pelajaran sama dia!"
Apa-apaan? Kenapa dia malah bertepuk tangan? Aku sungguh lelah menghadapi kedua orang itu. Kubuka pintu lantas masuk ke dalam dan sebelum menutup pintu aku mendengar Bambang kembali berucap.
"Kamu juga sama, pagi-pagi sudah teriak-teriak. Teriak hantu segala, mana ada hantu pagi-pagi begini?" Bambang mendengus kesal dan berbalik menuju apartemennya, mulutnya kembali berkedut menatap ke arahku di balik pintu yang setengah menutup, "dasar anak muda jaman sekarang memang tidak sopan."
Bam! Dia menutup pintu apartemennya dengan marah.
Sedangkan wanita itu sempat melirik ke arahku, namun dengan segera dia masuk ke apartemennya.
"Huh," menghela napas, aku menutup pintu apartemen. "Cici ...."
Bersambung
Jika kamu dapat menembus ke dalam pikiranku, maka kamu dapat menumbangkan aku dengan satu kalimat sederhana.— Apple Leaf
Eros POVKanya sudah tertidur lelap setelah aku membacakan dongeng untuknya. Seperti anak kecil saja, tumben sekali dia memintaku membacakan dongeng untuknya.Kuperhatikan wajah Kanya yang tertidur pulas di atas lenganku. Aku tidak bisa membantu, tapi menanamkan beberapa kecupan pada wajahnya.Sangat manis dan sangat indah. Andai saja aku bisa melihat wajahnya yang tertidur pulas setiap hari; maka hari-hariku akan dipenuhi kebahagiaan, ‘kan?Akan tetapi, masih ada beberapa masalah yang belum selesai. Aku yakin kalau ambisi Siska tidak akan berhenti sampai di sini. Memang dia belum berhenti mengejarku, bahkan setelah aku permalukan.Mungkin saja dia akan menjadi lebih berkulit tebal.“Aku harus bangun dan berbicara pada Rudy, juga kedua orang bodoh itu.”Aku mengangkat kepala Kanya perlahan-lahan dengan lembut, agar dia t
Kanya POVIni seperti mimpi yang aku alami ketika menginap di apartemen Eros, tapi sekarang aku menyaksikan pria itu secara nyata. Aku ragu untuk menceritakannya pada Eros. Takut kalau dia tidak akan percaya pada cerita.Orang-orang menganggapku aneh, menyarankan agar aku menemui psikiater secepatnya. Namun, aku baik-baik saja dan tidak ingin merepotkan diri bertemu dengan psikiater. Apalagi sekarang yang aku lihat bukanlah ilusi, melainkan kenyataan.Tanpa aku sadari, telapak tangan Eros menyentuh pipiku, “Tidak apa-apa Kanya. Aku tahu kamu pasti berpikir kalau aku tidak akan mempercayaimu, ‘kan? Kamu hanya perlu menceritakannya padaku, bukankah kamu tahu kalau aku selalu mempercayaimu? Lalu mengapa sekarang kamu ragu?”Aku menempatkan tanganku di atas punggung tangan Eros, “Aku takut kamu nggak percaya dan menganggap aku gila.”Eros menggeleng, &ld
Eros POVPria itu ingin membunuh Kanya?Siapa?Siapa yang berani menyentuh wanitaku?“Tenanglah Kanya. Selama aku ada di sisimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu.”Aku menenangkan Kanya untuk beberapa saat, sambil memeluk dan juga menepuk punggungnya. Tubuhnya yang menggigil ketakutan sudah agak lebih tenang.“Tidak apa-apa, kamu bisa membuka matamu sekarang.”Aku membebaskan diri dari pelukan Kanya, lalu mengamati wajahnya. Matanya masih tertutup dan alisnya yang cantik itu berkerut.Jemari tanganku perlahan menyentuh alis cantik milik Kanya, lalu menekannya dengan lembut dan meluruskannya kembali.Dia tampak ketakutan berlebih. Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kenapa dia mengalami hal-hal tidak terduga yang membuatnya amat ketakutan?“
Kanya POVSamar-samar aku melihat sinar ketika perlahan-lahan membuka kelopak mataku. Namun, masih terasa berat untuk kubuka, aku membiarkan mataku terpejam kembali selama beberapa saat, sebelum aku siap membuka mataku kembali.Aku merasakan kepalaku seolah terbentur keras ke lantai yang menyebabkan kepalaku saat ini menjadi sakit. Ngomong-ngomong, aku masih memejamkan mata, tetapi kesadaranku telah pulih. Tampaknya aku pingsan dan sangat lama, dapat aku rasakan dari badanku yang mati rasa karena tidak bergerak untuk waktu yang lama.Jika aku mengingat kembali, pada saat itu, aku berada di kamar 333 di dalam gedung Sun dan pria berjas hujan merah itu yang merencanakan semua itu. Pria itu benar-benar nyata, bukanlah ilusiku.Kalau aku katakan pada Eros bahwa, pria itu memang nyata dan berniat untuk membunuhku; apakah dia akan percaya padaku? Ataukah dia akan menatapku dengan sorot mata jijik?&
Eros POVHuh!Aku berhasil!Pada akhirnya, aku berhasil meyakinkan kakek. Kalau saja kakek mau mendengarkanku sejak awal, maka aku tidak perlu mengeluarkan usaha untuk menolak dan mempermalukan Siska.Meskipun begitu, aku cukup senang telah memberikan balasan pada wanita ular itu. Setelah aku keluar dari ruangan kakek, aku mendengar Siska menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak peduli, dan membiarkan kakek mengatasinya sendiri.Kakek yang memulainya dan memberikan harapan pada Siska, maka itu bukanlah urusanku lagi.Aku harap kakek tidak akan mengubah pikirannya lagi karena air mata wanita itu. Bahkan air matanya tidaklah keluar dari lubuk hatinya. Maksudku, dia sama sekali tidak tulus dan hanya berpura-pura saja.“Aku harus merayakannya dengan Kanya. Bagaimana kalau mengajaknya makan malam?”
Kanya POV“Sial!”Aku memaki, dan mencoba membuka pintu itu, berusaha dengan sekuat tenaga, tapi melebihi kemampuanku. Sepertinya aku akan terjebak di sini kalau dua bodyguard itu tidak datang untuk menolongku.Rupanya benar semua ini adalah jebakan. Namun sampai sekarang tidak ada yang keluar dan mereka benar-benar menakuti.“Keluar kalian semua! Gue bakal lapor polisi setelah gue keluar dari sini.”“Keluar dari sini?”Jantungku tiba-tiba hampir berhenti berdetak, mendengar pertanyaan dari suara yang begitu dingin. Perlahan tengkuku mulai dingin, keringat dingin juga sudah membasahi dahi, apalagi tubuhku. Layaknya dimandikan oleh keringat akan ketakutan.Aku tidak bisa bohong kalau saat ini, begitu sulit bagiku untuk sekadar menelan saliva. Tubuhku perlahan-lahan menggigil ketika kesadaranku telah kemb
Eros POVAku keluar mengejar Siska untuk melihat aktingnya. Dia berjalan agak lambat sambil menangis tersedu, memperlihatkan pada mereka semua kalau aku telah membuatnya kecewa. Hatinya pasti sakit, seperti ditusuk-tusuk ribuan kali.“Pak Direktur.”“Kayaknya mereka berantem.”“Kita pura-pura nggak tahu saja.”“Tapi, tadi sekretaris Siska bilang; wanita itu. Maksudnya Pak Direktur punya wanita lain?”“Pak Direktur selingkuh?”“Shht! Diam semuanya.”Aku dapat mendengar semua yang mereka bisikkan. Siska juga pasti dengar dengan jelas, dan aku sudah dapat mengira ekspresinya saat ini. Dia pasti senang dan mengira kalau akan menyesal, sehingga aku keluar untuk menyusulnya. Aku mau lihat seberapa bagus aktingnya.Siska berhenti, la
Kanya POVAku bosan diganggu oleh wanita itu, dengan berat hati aku memutuskan untuk pergi ke gedung Sun. Memang tidak jauh dari gedung apartemenku, tapi aku menggunakan taksi juga.Entah apa yang akan aku temukan di sana karena wanita itu mengatakan paket itu penting, dan juga berhubungan dengan sahabatku, tapi aku hanya punya satu sahabat di sini, dan itu adalah Samuel. Dia sedang di luar kota sekarang, dan sakit pula.Kemungkinan ada yang mengirim paket padanya, dan meninggalkannya di gedung Sun, atau mungkin ada yang berniat jahat pada Samuel.Sepertinya aku harus mencari tahu, dan keputusanku untuk datang mungkin bisa benar, bisa juga salah. Serius, aku tidak tahu apa yang menungguku di dalam sana.Aku sudah berada di depan gedung Sun, dan dua bodyguard itu tengah mengawasi aku dari jauh. Jika terjadi sesuatu padaku, mereka bisa menolongku dan juga menelepon Eros kalau aku t
Eros POV“Eros!” Siska menggebrak meja.Amarahnya tampak menggebu-gebu. Tadi dia bersikap layaknya seorang istri yang dibuang oleh suaminya. Benar, tadi dia hanya berakting polos di depan kakek. Wanita ular tetaplah wanita ular, dia tidak akan bisa menjadi manusia seutuhnya.“Heh, sudah selesai berakting?” aku mencibir.Wanita ini penuh akan kepura-puraan. Dia tidak perlu diberikan hati sama sekali. Mereka semua buta setelah melihat wajah polos dan aktingnya. Namun, dia tidak akan bisa membohongiku, mau sekeras apa pun dia berusaha.Sekarang sudah terlihat jelas kalau dia marah setelah aku permalukan di restoran tadi. Dia sendiri tidak menolak ketika kakek mengajaknya, dan malah dengan senang hati menerima. Aku tidak segan untuk mempermalukannya di depan banyak orang.Mungkin lain kali, aku akan mempermalukannya lebih dari ini agar kes