1 bab dulu yg bikin darah tinggi 🤣🤣 apakah kalian siap dengan bab selanjutnya? 😌
Raut wajah gadis itu berubah. Senyum di kedua sudut bibir Julia terlihat memudar. Tangan yang semula terulur ke arah Tuan Owen ditariknya pelan-pelan, merapat ke tubuhnya kembali. Sedang Kayden bergeming di sampingnya, tak mengatakan apapun tetapi sorot matanya berisik. Liora memang tak tahu apa yang ada di dalam hatinya, tetapi sepertinya Kayden sedang menyetujui ucapan sang ayah. Bahwa beliau tak sembarang menerima obat mengingat kondisinya yang sedang tidak sehat. Selaras dengan saran Kayden pada Liora tadi, agar sebaiknya ia tak membawakan makanan untuk ayahnya karena ada beberapa pantangan yang Kayden sendiri tak bisa memastikannya dengan jelas. "Tapi Julia bukan orang asing!" sambar Nyonya Rose, matanya menatap sang suami dengan penuh rasa tak suka. "Julia itu keluarga kita, Pa!" "Ya ... aku tahu kita dekat, Rose," tanggap Tuan Owen. "Tapi dengan keadaanku yang seperti ini, aku lebih memilih untuk menerima obat secara langsung dari dokter, tanpa perantara." "Pa—" "Kalau a
“Apakah Anda akan pergi?” tanya Liora, sekilas menoleh ke belakang sebelum kembali memandang ke depan karena Kayden masih belum selesai membilas rambutnya. “Iya,” jawabnya. “Ke mana?” “Tadi sekretarisnya Papa bilang kalau separuh tubuhnya yang pernah mengalami gejala stroke kambuh. Sepertinya sebelum terlambat aku harus membawa Papa berobat ke luar negeri, ke rumah sakit yang dulu menangani kesehatan jantungnya.” Penjelasan Kayden—untuk seorang pria yang terbiasa berbicara sedikit—sudah sangat cukup dimengerti Liora. “apakah dalam waktu dekat?” tanya Liora. “Mungkin lusa. Aku tadinya ingin mengajakmu juga. Tapi pihak imigrasi tidak bisa membuat paspormu secepat itu.” Liora tersenyum, kali ini ia benar-benar menoleh ke belakang. Bukan hanya kepalanya tetapi tubuhnya juga. “Saya tidak keberatan ditinggal,” jawabnya. “Tuan Owen lebih membutuhkan pendampingan Anda sekarang ini, ‘kan? Tapi kalau sudah selesai dan beliau sudah pulih, tolong segeralah pulang.” Kayden memejam
‘Benar itu adalah Julia.’ Liora meyakininya, sekalipun pandangannya dihalangi oleh garis abstrak di jendela yang diakibatkan oleh turunnya gerimis, tetapi laju mobil Han yang lambat tak akan menipu matanya. Bahkan dari sedan yang ada di dekat Julia itu, Liora bisa memastikan bahwa itu adalah miliknya. Baik—mungkin Julia hanya ingin menikmati hidupnya, tapi bukankah itu sedikit ... tidak cocok dengan kondisinya yang sakit? ‘Jangan pedulikan orang lain, Liora,’ ucapnya dalam hati. Han mengemudikan mobilnya membelah jalan raya yang kehilangan cahayanya. Senja sedang tak memberi mereka napas untuk menikmati warnanya yang cantik dan memanjakan mata. Sepertinya sudah lebih dari satu minggu ini hujan—atau setidaknya gerimis terus turun. Tak berapa lama kemudian mereka memasuki gerbang rumah Kayden. Warnanya yang hitam seperti menyatu dengan kelamnya mendung kelam yang menggantung di langit. Liora keluar setelah Han merapatkan sedan itu ke teras, dan Annie menjemputnya. “Selamat malam,
“Maksudnya ... pernikahannya dengan Kayden Baldwin itu karena dia yang merebut?” celetuk sebuah suara dari sebelah kiri Liora. Mereka menjadi tertarik setelah kalimat yang dilontarkan oleh Irina itu adalah konsumsi gosip yang disukai oleh banyak orang. Gosip artis, gosip petinggi perusahaan. “Tapi dia sudah hamil sebesar itu,” imbuh suara yang lainnya. “Kalau tidak saling suka, mana mungkin mereka memutuskan untuk memiliki anak?” “Tapi kamu juga tahu ‘kan siapa dulu tunangannya Kayden Baldwin?” “Anak pemilik DN Construction, ‘kan?” “Tapi kabarnya mereka belum pernah bertunangan.” “Jadi perebut suami orang itu tidak sepenuhnya benar, bukan?” “Tapi tetap saja! Kenapa dia mengambil kebahagiaan orang lain?” Meskipun banyak yang memberi kalimat pembelaan untuk Liora, tetapi sepertinya lebih banyak yang tak menyukainya. Dari sudut pandang wanita-wanita yang pernah disakiti ... Liora juga tak menampik bahwa rasa benci mereka pasti menjadi-jadi tatkala menganggap Liora merebut Kayden
Julia meletakkan ponselnya setelah ia mengirim pesan pada seseorang agar menyelesaikan apa yang ia mau. Napasnya masih sama naik turunnya seperti semula. Ia bangun dan berjalan menuju ke dalam ruang ganti yang ada di dalam kamarnya. Menyeret koper hitam miliknya yang tak membantu sama sekali. Sia-sia ia memasukkan pakaiannya ke sana dengan harapan Kayden akan menerimanya untuk tinggal. ‘Sialan ....’ Lirih umpatannya bertubi-tubi. Saat ia berdiri di depan cermin yang ada di sana, bayangan wajah seorang wanita yang penuh dengan kekalahan. Dirinyalah orang itu. “Aku tidak akan kalah dari Liora, tunggu saja sebentar lagi ... Kamu akan kehilangan semuanya!” Seruan Julia terdengar penuh amarah. Gadis itu meraih sembarang benda tumpul yang kemudian ia lemparkan ke cermin hingga hancur berantakan. Ia duduk dengan lemas di lantai saat mendengar derap lari kaki dari luar yang memanggil namanya tanpa henti. “Julia!” Nyonya May menghambur mendekati dan memeluk anak perempuannya itu. “Apa
“Sudah, bicaranya?” tanya Kayden lalu mendengus kasar. Pria itu akan membuka suara sebelum Liora meraih jas pada bagian pinggangnya, meremasnya, memberi isyarat dengan matanya bahwa ia saja yang kali ini bicara. Liora mengangkat wajahnya, menerpa Julia yang maniknya berkaca-kaca. “Kalau Nona Julia menganggap Tuan Kayden adalah milik Anda yang paling berharga, bukankah Anda harusnya menjaganya sejak dulu?” balas Liora, menegaskan bahwa bukan hanya Julia yang ingin didengar, tapi Liora juga. “Apa maksudmu?” tanya Julia balik. Pupil gadis itu bergerak tidak nyaman, seolah baru saja mendengar sesuatu yang tak sepatutnya dikatakan oleh Liora. “Bukankah benar seperti itu? Bukankah Anda tidak menjaga Tuan Kayden dengan benar? Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi di masa lalu antara kalian berdua, dan saya tidak tertarik untuk itu. Tapi—“ Liora tersenyum, kalimatnya ia ucapkan secara hati-hati tanpa perubahan nada bicara, tapi sepertinya itu telah merenggut rasa percaya diri Julia. “
“Mama gila?!” seruan Kayden seperti tak terelakkan lagi tepat setelah sang Ibu mengatakan bahwa Mulai hari ini Julia akan tinggal dirumah ini bersamanya—dan tentu saja bersama dengan Liora. “Kamu menyebut Mama gila?” “Lalu apa jika tidak gila?” balas Kayden, dagunya terangkat menantang pada Nyonya Rose. “Mama meminta wanita lain tinggal di rumahku sementara aku sudah memiliki istri. Berapa kali harus aku katakan kalau aku tidak akan menikah dengan Julia atau hanya sebatas tinggal dengannya! Jangan gila!” “Baik, katakan Mama gila!” sahut Nyonya Rose. “Mama gila karena harus memiliki menantu seperti Liora di keluarga Baldwin yang terhormat. Dulu kamu hanya mencintai Julia, Kayden! Kenapa sekarang jadi seperti ini?” “Apa Mama tidak bisa membedakan dulu dan sekarang?” Liora menegang di tempatnya. Ia merasa bersalah karena lagi-lagi menjadi penyebab perseteruan di antara ibu dan anak itu. Tapi ... bolehkah ia membela diri sekarang? Kayden sudah memiliki kehidupan sendiri, dan ia berj
Melewati sore saat Liora berjalan meninggalkan lift yang berhenti di lobi Evermore bersama dengan Evan. Evan baru saja menemaninya bertemu dengan orang perwakilan dari Nutrimom yang akan berkerja sama dengannya serta Hazed Magazine juga. Sudah sejak pagi Liora tak bertemu dengan Kayden, pria itu mengatakan lewat pesan bahwa ia harus menemui temannya yang sesama pekerja di industri hiburan ternama sehingga mungkin ia akan kembali saat hampir petang. Karena tak memiliki manajer, Liora dititipkan Kayden pada tangan kanannya itu. Pertemuan berjalan dengan baik, Evan yang memang jam terbangnya tinggi membuat Liora merasa nyaman, mengetahui seluk beluk perjanjian dan apa-apa saja yang harus dilakukannya nanti pada hari pemotretan. Masih cukup lama, masih dua sampai tiga bulan lagi. "Saya antar Nona, sekalian dengan Tuan Kayden," ucap Evan dari samping kanannya saat langkah mereka yang melewati lorong eksekutif sudah lebih dari separuh—Evan lah yang menggiringnya melewati jalan ini pada
Alis Kayden yang tadinya berkerut berubah dengan cepat. Terangkat, teriring kedua matanya yang melebar, tanda ia tak percaya dan mencoba menyadarkan dirinya dalam keterkejutan ini. "Kamu bilang apa?" tanya Kayden. "Kembar," jawab Liora. "Bayinya kembar." Sepasang iris gelap Kayden berpindah dari mengunci manik Liora menjadi lebih rendah, jatuh di perutnya. Ia kembali memandang print USG yang ada di tangannya itu, bibirnya bergerak-gerak tanpa kata, seolah sedang menelaah. Bahwa dua kantong yang ditandai dengan panah di foto itu menunjukkan Liora benar mengandung anak kembar. "B-bagaimana bisa kamu hamil?" tanya Kayden, tanya aneh yang membuat Liora mengerjapkan matanya. "Bagaimana saya bisa hamil, tentu karena Anda—" "Maksudnya bagaimana kamu bisa hamil anak kembar?" ralat Kayden, barangkali sebelum pertanyaannya dianggap memiliki arti lain oleh Liora. Liora menggeleng samar, "Saya juga tidak tahu. Tapi Dokter Sarah bilang kalau mereka sehat. Bukankah itu kabar yang baik?" Kay