guten Morgen 🌄 Thor update 1 dulu di pagi ini, apakah akak semua masih siap Dengan bombardir bab hari ini?
“Tidak apa-apa, Pak ....” ucap Dokter. “Ini sudah sesuai dengan peraturan kesehatan. Baby Lucca juga seperti ini tadi.”“Lucca? Seperti ini?” tanya Kayden, menoleh pada Liora yang berjalan mendekat padanya dengan masih menggendong Lucca.Liora menyentuh bahu Kayden, memberinya usapan yang lembut saat berujar, “Tidak apa-apa, Kayden. Mereka hanya akan menangis sebentar.”“Benarkah?” Masih ragu. Wajahnya yang tertekan membuat Liora tak bisa membendung senyumnya.Ia tahu Kayden sedang cemas karena anak gadisnya yang mungil itu akan ‘disakiti’.Liora mengangguk menjawabnya, kemudian barulah Kayden memposisikan Elea kembali seperti sebelumnya. Ia memejamkan matanya saat jarum suntik yang dibawa oleh dokter menyentuh lengan anak gadisnya itu.Sedetik setelahnya, tangisan Elea mencemari ketenangan yang ada di sekitar mereka. Tak seperti Lucca yang hanya sesaat menangisnya kemudian terdiam saat mendapat susu dari Liora, Elea tidak demikian.Elea menangis tanpa henti bahkan saat Kayden sudah m
“Wah ... benar-benar tidak terpikirkan, Sayang,” ucap Kayden, masih belum lepas dari takjubnya ia atas apa yang dikatakan oleh Liora.“Aku sudah memikirkannya sejak kita membicarakan tentang Pak Evan dan Leah saat itu, Kayden,” tanggap Liora. “Hanya saja ... aku tidak yakin. Tapi tidak ada salahnya mencoba, ‘kan? Siapa tahu ... mungkin benar kalau si penipu itu masih belum tobat.”“Aku akan mencari tahunya nanti. Terima kasih kamu sudah memberi masukan, Sayangku.”“Sama-sama.”Kayden menunduk, menjatuhkan bibirnya di bibir Liora, memberi pagutan yang lebih lama ketimbang biasanya.Saat ia menarik wajahnya, jarinya mengusap pipi Liora, membelai rambutnya. Jika sudah sedekat ini, maka bibir Liora tak bisa untuk tak memberi pujian pada prianya itu.“Apakah nanti kalau Lucca dewasa dia akan setampan kamu?” tanyanya, mengarahkan tangannya ke depan, jari telunjuknya menyentuh pucuk hidung Kayden.“Apakah itu pujian?”“Iya. Apa kamu sudah bosan mendengarnya? Mungkin di sepanjang hidupmu kamu
…. Lagi-lagi Seattle diguyur oleh hujan lebat padahal ini sudah seharusnya berganti musim. Pagi itu, di balkon kamarnya yang ada di lantai dua, Liora menatap gugusan mendung kelabu yang berarak ke arah barat. Membentuk kerumunan yang semakin gelap, sepertinya ... hujan lebat sedang terjadi di sana. “Apa ada orang yang sedang bersedih sampai membuat langit ikut muram seperti ini?” gumamnya seorang diri yang ternyata dapat didengar oleh Kayden. “Evan yang sedang bersedih,” jawab prianya itu dari belakang. Kayden berjalan mendekat pada Liora, memeluk pinggang gadisnya itu dari belakang sebelum menjatuhkan kecupan di lehernya. “Ya … aku tahu itu,” jawab Liora. Mereka memang sama-sama mengetahui kebenaran tentang orang tua Evan yang bunuh diri, dua puluh delapan tahun yang lalu. Meski tidak menjelaskannya secara rinci, tapi Evan memberi mereka poin pentingnya. Bahwa mereka memilih jalan itu sebab terdesak keadaan dan tak memiliki harapan atau jalan keluar. “Dia pasti hancur menget
Joanna tergugu dalam tangis, tangannya meremas dadanya yang rasanya hampir meledak oleh kepedihan yang tak bisa dijelaskan. Bukankah apa yang ia katakan benar? Di dunia yang luas ini, mengapa Evan malah dipertemukan dengan Leah? Ia berprotes pada Tuhan, mengapa justru membuat Evan bertemu dan jatuh cinta dengan anak dari orang yang dulu telah menghancurkan kehidupan kedua orang tuanya. Alasan mengapa Evan tumbuh di panti asuhan dan tak bisa melihat ayah serta ibunya sejak kecil. Saat James dan Emma bisa memulai hidupnya di tempat yang baru dan memiliki keluarga serta karir yang bagus, Evan tidak pernah tahu siapa ayah dan ibunya. Mereka hilang ditelan ombak pantai Mistveil, raganya dipeluk samudera dan tidak pernah kembali. Joanna tidak bergerak. Ia hanya tertunduk, air matanya jatuh bertubi-tubi. Cukup lama ia duduk tak berdaya di lantai gereja yang dingin sebelum hatinya didatangi oleh sebuah pemikiran yang membuatnya sadar, bahwa serapi apapun manusia menyembunyikan,
Karena mendengar suara Joanna, Evan terbangun. Sepasang matanya yang sayu menatap Joanna sebelum sesaat kemudian menangis. "Evan, jangan menangis, Sayang ...." ratap Joanna dengan lirih. Joanna meraihnya, menggendong Evan dan membawanya ke dapur untuk mengambilkan susu. Bocah kecil itu kembali terlelap di bahunya setelah sebotol susunya habis. Sedang Joanna masih berjalan mengelilingi panti asuhan, barangkali menemukan Sophia yang tak ia ketahui ada di mana. Joanna takut temannya itu mengambil keputusan yang menyakitkan untuk menyusul Ethan. Dilihat dari bagaimana matanya yang hancur saat menceritakan kepergian Ethan, Joanna dilanda pikiran yang membuatnya gusar. Malam semakin larut, tapi Joanna masih tak menemukan di mana Sophia. Ia kembali ke dalam kamar, berharap Sophia sudah ada di dalam. Tapi tidak ada seorang pun di dalam sana selain selimut di atas ranjang. Dengan lembut, Joanna membaringkan Evan kembali. Saat ia hendak mengganti lampu tidur, maniknya menjumpai selemba
Tangis Sophia pecah saat itu juga. Ia jatuh terduduk di lantai dengan memeluk Evan. Selembar kertas yang ada di tangannya itu telah menandakan bahwa ia tak akan pernah lagi berjumpa dengan Ethan, selamanya …. Dari pria yang kemudian ia ketahui sebagai pengawas di proyek tempat Ethan bekerja itu, Sophia mengetahui bahwa sebelum Ethan menulis surat itu, seorang laki-laki dan perempuan mendesaknya untuk segera membayar ganti rugi. Yang jika Ethan tidak melakukannya dalam minggu ini, mereka akan mempidanakan Ethan untuk ke dua kali. Dari bagaimana ciri-ciri yang dikatakan oleh pengawas tersebut, Sophia tahu bahwa mereka adalah James serta Emma. Mereka menekan Ethan hingga ke titik paling gelap. Suaminya itu tidak memiliki harapan lain. Ia tak ingin melibatkan Sophia lebih jauh dalam hal ini. Dan cara cepat untuk mendapatkan uang itu adalah melalui asuransi jiwanya. Ethan tidak pernah pulang ke rumah. Tangisan Evan sejak sore itu bukan hanya sebatas tangis tanpa arti, tetapi tangis keh