done 2 bab ya... siap-siap besok mau ngapain 🫣
Kayden bergeming, matanya masih terbuka saat ciuman itu terjadi. Bahkan hingga Liora menarik wajahnya pun, pria itu masih membeku tanpa bergerak sedikit pun.Baru setelah Liora melepaskan tangannya dari leher belakang Kayden, kesadaran pria itu kembali.“A—ekhem—“ Kayden berdeham, memalingkan wajahnya, dengan kedua sisi telinganya yang memerah, lebih merah ketimbang lampu lalu lintas di Madison Street yang mereka saksikan sebelum mobil kembali melaju.“A-apa yang kamu lakukan?” tanya Kayden. Melonggarkan dasi yang menjerat kerah kemejanya.“Menciummu,” jawab Liora. “Menciummu karena sepertinya kamu akan terus berbicara sesuatu yang sedikit ... tidak masuk akal.”“Mana yang tidak masuk akal? Aku mengatakan apa yang aku lihat sebagai sesama pria, Liora,” balas Kayden. “Kalau Edsel itu memang terlihat suka padamu.”“Benarkah?”Kayden mengangguk sebagai pembenaran.“Kalau dipikir-pikir ... sepertinya kamu benar.” Melihat wajah Kayden yang masih tampak kesal, Liora justru sengaja menggodan
Liora tak bisa membendung kebahagiaannya saat ia melihat si kembar di bawa kembali ke dalam ruang NICU oleh para perawat.Selagi menunggu Kayden yang pasti berganti pakaian, ia berdiri di depan jendela, memandangi bayi-bayi mungilnya yang lucu, yang cantik dan tampan.Melihat mereka seperti ini, Liora semakin tidak sabar untuk bisa menggendong mereka lebih lama.‘Cepat sehat sayang-sayangku ....’ gumam Liora dalam hati. ‘Nanti setelah ini kita main setiap hari.’Ia tenggelam dalam lamunannya hingga panggilan seorang pria datang dari sebelah kanannya.“Nona Liora.”Saat ia menoleh, wajah Dokter Edsel yang tersenyum membuatnya membalas, “Selamat pagi, Dokter.”“Selamat pagi.”“Terima kasih untuk dengan sabar merawat mereka. Kapan kiranya mereka bisa saya bawa pulang?”Dokter Edsel sekilas memiringkan kepala sebelum menjawab, “Masih belum boleh, Nona Liora. Mungkin sekitar dua atau tiga minggu lagi.”“Lama ...” Liora tanpa sadar mengatakan itu dengan bibirnya yang sedikit mengerucut sehi
Rasanya, pagi datang sangat lambat. Mungkin karena Liora tahu bahwa hari ini ia akan kembali bertemu dengan Lucca dan Elea dan menyaksikan kebahagiaan di raut wajah Kayden setelah pria itu menggendong bayi kembarnya. Sudah sejak pagi mereka bersiap. Jika biasanya Kayden yang bangun terlebih dahulu dan berolahraga, pagi ini Liora lah yang lebih dulu bangun. Meski Annie sudah mengatakan bahwa mereka bisa membuatkan sarapan sendiri, tapi Liora ingin melakukan sesuatu. Menyajikan kudapan yang sehat untuk Tuan Owen dan hidangan yang semalam dikatakan oleh Kayden. Makanan yang hari itu mereka santap, makanan pertama Liora yang diterima oleh Kayden, jauh di belakang sana. Käsespätzle, makaroni itu dilahap habis oleh Kayden sebelum mereka pergi menuju ke rumah sakit dengan diantar oleh Han. “Apa yang kamu bicarakan dengan Pak Evan tadi malam?” tanya Liora membuka percakapan setelah mobil yang dikemudikan oleh Han meninggalkan lampu merah pertama sekeluarnya mereka dari rumah. “Hari ini di
Meski sudah hampir dua jam berlalu, tetapi itu dirasa Liora sangat sebentar. Ia masih belum puas memeluk bayi-bayinya, membiarkan mereka tidur atau merasakan detak jantung dari tubuh hangat mereka. Tetapi, ia tak boleh egois dengan mementingkan keinginannya sendiri. Bahwa bayi kembarnya, Lucca dan Elea masih belum bisa dilepas sepenuhnya, mereka masih membutuhkan bantuan perawatan hingga usia mereka matang. Liora membiarkan dua makhluk kecil itu diambil perawat yang kemudian membawa mereka kembali ke dalam ruang NICU. Ia pun juga kembali mengenakan pakaiannya, berdiri di luar ruangan, menghadap pada jendela besar yang menunjukkan bayinya yang sedang disusui di dalam sana. “Mereka akan bisa Nona peluk secepatnya,” ucap Annie dari sebelah Liora, sekilas mengusap lengannya seolah memberikan kekuatan dan membesarkan hatinya. “Iya, Bu Annie,” jawabnya. “Tadi perawatnya mengatakan agar besok Kayden yang datang, biar dia juga melakukan hal yang sama.” Liora sudah bisa membayangkan seper
Malam hari saat memasuki rumahnya, Evan melepas sepatu yang ia kenakan dan meletakkannya di rak depan. Ia mendengar suara seseorang yang berlarian mendekat dan wajahnya terlihat menunjukkan senyuman. Leah, gadis itu terlihat manis dengan rambut yang diikat menggunakan pita warna merah. “Sudah pulang?” sapa Leah seraya meraih jas Evan yang ada di lengan sebelah kirinya, dan sebuah paper bag berukuran besar yang ia tenteng. “Baru saja,” jawab Evan. “Aku membawakanmu makanan dari restoran, tadi aku bertemu dengan partner.” “Terima kasih.” “Apa yang kamu lakukan di rumah?” Evan melingkari pinggangnya sekilas dan menjatuhkan bibirnya di puncak kepala Leah selama beberapa detik sebelum mereka melanjutkan langkah. “Hanya membaca bukti tambahan yang didapatkan korban untuk menuntut pelaku.” “Kasus apa yang kamu tangani?” “Penggelapan dana.” “Hm ...” Evan sekilas memiringkan kepalanya, mereka tiba di ruang makan, tempat di mana laptop milik Leah terbuka dengan beberapa lembar kertas di
Seperginya Emrys, Julia hanya bergeming di tempat ia duduk. Jarinya berpindah ke atas meja, membolak-balik lembaran kertas tanpa tujuan, hanya untuk mengendalikan dirinya yang tampak terlalu senang. ‘Aku benar-benar bisa bebas dari utang itu,’ gumamnya dalam hati kala memikirkan kembali ucapan Emrys soal debitur terakhirnya yang tak perlu membayar utang sebab dia mengalami gangguan kejiwaan kronis. Ia sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya menggunakan pisau cutter. Hal itu membantunya, memberinya dukungan bahwa memang mentalnya sedang tidak stabil sehingga ia melukai dirinya sendiri. Maka, akan seperti ini rencana Julia: pertama-tama ia akan kembali melakukan hal yang sama yakni melukai dirinya sendiri. Kedua, saat ia dibawa ke rumah sakit nanti, ia akan mengakui bahwa hal yang membuatnya berusaha bunuh diri itu sebab ia menghadapi tekanan yang besar karena menggunakan DN Construction sebagai jaminan utang. Ia juga akan jujur ke mana larin