1 bab dalam lima menit ☺️🙏🏻🙏🏻
Rasanya, pagi datang sangat lambat. Mungkin karena Liora tahu bahwa hari ini ia akan kembali bertemu dengan Lucca dan Elea dan menyaksikan kebahagiaan di raut wajah Kayden setelah pria itu menggendong bayi kembarnya.Sudah sejak pagi mereka bersiap. Jika biasanya Kayden yang bangun terlebih dahulu dan berolahraga, pagi ini Liora lah yang lebih dulu bangun.Meski Annie sudah mengatakan bahwa mereka bisa membuatkan sarapan sendiri, tapi Liora ingin melakukan sesuatu. Menyajikan kudapan yang sehat untuk Tuan Owen dan hidangan yang semalam dikatakan oleh Kayden. Makanan yang hari itu mereka santap, makanan pertama Liora yang diterima oleh Kayden, jauh di belakang sana.Käsespätzle, makaroni itu dilahap habis oleh Kayden sebelum mereka pergi menuju ke rumah sakit dengan diantar oleh Han.“Apa yang kamu bicarakan dengan Pak Evan tadi malam?” tanya Liora membuka percakapan setelah mobil yang dikemudikan oleh Han meninggalkan lampu merah pertama sekeluarnya mereka dari rumah.“Hari ini dia ak
Meski sudah hampir dua jam berlalu, tetapi itu dirasa Liora sangat sebentar. Ia masih belum puas memeluk bayi-bayinya, membiarkan mereka tidur atau merasakan detak jantung dari tubuh hangat mereka.Tetapi, ia tak boleh egois dengan mementingkan keinginannya sendiri. Bahwa bayi kembarnya, Lucca dan Elea masih belum bisa dilepas sepenuhnya, mereka masih membutuhkan bantuan perawatan hingga usia mereka matang.Liora membiarkan dua makhluk kecil itu diambil perawat yang kemudian membawa mereka kembali ke dalam ruang NICU.Ia pun juga kembali mengenakan pakaiannya, berdiri di luar ruangan, menghadap pada jendela besar yang menunjukkan bayinya yang sedang disusui di dalam sana.“Mereka akan bisa Nona peluk secepatnya,” ucap Annie dari sebelah Liora, sekilas mengusap lengannya seolah memberikan kekuatan dan membesarkan hatinya.“Iya, Bu Annie,” jawabnya. “Tadi perawatnya mengatakan agar besok Kayden yang datang, biar dia juga melakukan hal yang sama.”Liora sudah bisa membayangkan seperti ap
Malam hari saat memasuki rumahnya, Evan melepas sepatu yang ia kenakan dan meletakkannya di rak depan. Ia mendengar suara seseorang yang berlarian mendekat dan wajahnya terlihat menunjukkan senyuman. Leah, gadis itu terlihat manis dengan rambut yang diikat menggunakan pita warna merah. “Sudah pulang?” sapa Leah seraya meraih jas Evan yang ada di lengan sebelah kirinya, dan sebuah paper bag berukuran besar yang ia tenteng. “Baru saja,” jawab Evan. “Aku membawakanmu makanan dari restoran, tadi aku bertemu dengan partner.” “Terima kasih.” “Apa yang kamu lakukan di rumah?” Evan melingkari pinggangnya sekilas dan menjatuhkan bibirnya di puncak kepala Leah selama beberapa detik sebelum mereka melanjutkan langkah. “Hanya membaca bukti tambahan yang didapatkan korban untuk menuntut pelaku.” “Kasus apa yang kamu tangani?” “Penggelapan dana.” “Hm ...” Evan sekilas memiringkan kepalanya, mereka tiba di ruang makan, tempat di mana laptop milik Leah terbuka dengan beberapa lembar kertas di
Seperginya Emrys, Julia hanya bergeming di tempat ia duduk. Jarinya berpindah ke atas meja, membolak-balik lembaran kertas tanpa tujuan, hanya untuk mengendalikan dirinya yang tampak terlalu senang. ‘Aku benar-benar bisa bebas dari utang itu,’ gumamnya dalam hati kala memikirkan kembali ucapan Emrys soal debitur terakhirnya yang tak perlu membayar utang sebab dia mengalami gangguan kejiwaan kronis. Ia sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya menggunakan pisau cutter. Hal itu membantunya, memberinya dukungan bahwa memang mentalnya sedang tidak stabil sehingga ia melukai dirinya sendiri. Maka, akan seperti ini rencana Julia: pertama-tama ia akan kembali melakukan hal yang sama yakni melukai dirinya sendiri. Kedua, saat ia dibawa ke rumah sakit nanti, ia akan mengakui bahwa hal yang membuatnya berusaha bunuh diri itu sebab ia menghadapi tekanan yang besar karena menggunakan DN Construction sebagai jaminan utang. Ia juga akan jujur ke mana larin
Adrian menatap Kayden dengan matanya yang memerah. Jari-jarinya terlihat merapat, mengepal di samping kanan dan kiri tubuhnya. Rahangnya menggertak sebelum ia memalingkan wajah dan pergi dari hadapan Kayden. “Jangan kembali, Brengsek!” Dari tempatnya berdiri, Liora sangat lega karena pemuda itu pergi, yang artinya tidak akan ada pertikaian buruk di teras rumah Kayden. Kayden menoleh, menghadapkan tubuhnya pada Liora yang berdiri di dekat Evan. Manik mereka bersirobok di udara, semakin lama semakin dekat. Liora memejamkan matanya penuh rasa syukur saat Kayden meraih tangannya. “Kamu takut?” tanya Kayden. “Ya,” jawab Liora. “Kamu takut aku menyakiti Adrian?” “Tidak!” bantahnya. “Aku takut kalian bertengkar di sini. Ada Papa di dalam, beliau tidak akan suka kalau anak dan cucunya seperti itu, ‘kan?” Kayden menunjukkan sekilas senyumnya sementara Evan dengan tanpa rasa bersalahnya justru mengatakan, “Padahal saya tadi sudah berharap Tuan Kayden menendang kakinya sampai anak itu ti
‘Memulai ... dari awal?’ Dalam hati, Liora seperti tak sanggup untuk mengatakannya. Itu disampaikan oleh seseorang yang dulu dengan sangat mudahnya berkhianat? Liora menarik tangannya sekali lagi dari Adrian, “Lepas!” pintanya, tak peduli jika nada bicaranya meninggi. Ia hanya tak ingin disentuh oleh pria ini lagi. “Jawab dulu,” desak Adrian. Bukannya melonggarkan cengkeramannya, ia justru menggenggam tangan Liora semakin erat. “Tidak,” jawab Liora. Maniknya mengarah pada Adrian yang sepertinya tak begitu saja menerima jawaban tersebut. “Tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?” “Apa yang harus aku pertimbangkan? Kamu sudah melihatnya dengan jelas, aku memiliki hidupku sendiri, jadi kamu juga hiduplah di jalanmu sendiri, Adrian!” “Tapi bagaimana kalau jalan yang aku pilih ternyata salah dan yang benar itu adalah kamu?” Alis Liora berkerut mendengarnya. Hanya sesaat saja, sebab selanjutnya ia tak ingin mendengarnya. “Aku tidak peduli dengan apa yang akan kamu katakan, lepaskan a